Menuju Kesadaran Sufistik

oleh

Oleh : Johansyah*

Kata sadar adalah kata sederhana, tapi menyimpan makna mendalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, kesadaran adalah bentuk keinsafan, keadaan mengerti dan hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang.

Kesadaran juga bisa diartikan sebagai kondisi di mana seorang individu memiliki kendali penuh terhadap simulasi internal maupun simulasi eksternal.

Dalam konseling dikenal istilah eksistensi humanistik. Teori ini dikembangkan oleh Carl Rogers yang mengedepankan kesadaran dan tanggung jawab. Menurut teori ini manusia memiliki kemampuan untuk memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri.

Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, semakin kuat kebebasan yang ada pada orang itu. Konsep ini juga menegaskan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasipnya.

Menurut Nazirman (Tesis, 2012), ada beberapa indikator kesadaran; 1) tahu dan mengerti dengan apa yang diucapkan dan dilakukan; 2) bertanggung jawab; 3) sanggup menerima amanah; 4) mengenal dan memahami serta menerima diri dengan berbagai kelebihan dan kekurangan; 5) memiliki kesiapan dalan menjalani kehidupan serta memahami resiko yang dihadapi sebagai konsekuensi logis dalam menjalani kehidupan.

Adapun dalam Islam, kesadaran paling dasar yang harus dimiliki manusia adalah kesadaran eksistensial-insaniyah-ilahiyah untuk apa dia diciptakan oleh Tuhan, yakni pengabdian dengan setulus hati (lihat QS. Ad-dzariyat: 56; QS. al-An’am ayat: 162; dan QS. al-Bayyinah ayat 5).

Banyak orang yang lupa

Meski demikian, pada kenyataannya banyak orang yang lupa akan eksistensinya di dunia. Bahkan keberadaan dan aktivitasnya tidak pernah dikaitkan dengan kreasi Tuhan.

Seolah-olah dia terlahir sendiri, tumbuh besar sendiri, berkehendak sendiri, dan semua ihwal kehidupannya lepas dari kendali Tuhan. Sikap seperti ini diperingatkan dalam sebuah firman-Nya: ‘dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah pun membuat mereka lupa pada diri sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik’ (QS. al-Hasyar; 19).

Artinya kesadaran dalam al-Qur’an adalah upaya menemukan jati diri. Apa jati diri manusia itu? Diri yang menuankan Tuhan dalam segala aspek kehidupannya. Bagi siapa yang menuankan tuan, yakni dunia dan segala pernak-perniknya; uang, jabatan, perempuan dan sebagainnya, berarti dia memperbudak diri dan dikekang oleh hawa nafsunya.

Tanpa aturan dan arahan Tuhan, itu semua potensial menimpa manusia. Bahkan dengan petunjuk yang sudah nyata pun, toh masih banyak yang tidak mampu menuankan Tuan yang sesungguhnya, yaitu Tuhan.

Ada tiga hierarki kesadaran manusia, yaitu kesadaran al-hayah, wujudiyah, dan kesadaran ad-diniyah ilahiyah. Pertama, adalah kesadaran bahwa dia adalah manusia yang hidup. Dalam tingkatan ini, tujuan seseorang untuk hidup tidak lebih dari sekedar makan.

Dia menyadari bahwa dia hidup dan untuk mempertahankannya, dia harus makan. jadi, puncak dari tujuan hidup bagi kelompok ini adalah sekedar bertahan hidup dan pemenuhan kebutuhan biologis.

Kedua, kesadaran wujudiyah. Pada tingkatan ini, orang tidak hanya menyadari dirinya hidup dan harus bertahan hidup melalui pemenuhan kebutuhan fisik-biologis, tapi juga adanya kesadaran diri bahwa dia harus berinteraksi, berkomunikasi, dan harus mengembangkan diri.

Pada kategori ini, ilmu diyakini sebagai penopang dan solusi bagi berbagai persoalan hidup. Tidak mengherankan kemudian, atas dasar kesadaran wujudy perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Hanya saja, pada tahap kesadaran ini, potensi memanipulasi kebenaran dengan pengetahuan sangat besar.

Membalikkan fakta pada kategori kesadaran ini paling mudah karena manusia lebih mengedepankan logika dari pada rasa.
Ketiga, kesadaran ad-diniyah ilahiyah. Ini bisa dikata sebagai puncak kesadaran.

Pada tingkatan ini, orang tidak saja sadar diri bahwa dia hidup dan harus bertahan hidup, tidak juga sekedar bereksistensi dalam panggung sosial, tapi lebih dari itu dia menyadari dengan kesadaran tinggi, bahwa hidup itu memiliki tujuan akhir, di mana pertanggung jawaban sesungguhnya itu bukan pada manusia tetapi pada Zat yang maha tinggi dan agung, yaitu Tuhan.

Kesadaran fase ini mampu mengontrol sikap dan perilaku seseorang menjadi sosok yang aktif, kreatif, kontributif, dan senantiasa menebarkan manfaat bagi orang dan lingkungan sekitarnya.

Di situs Islamquest net, ada yang menyebut kategori kesadaran semacam ini sebagai kesadaran irfany (sufistik). Yaitu kesadaran terhadap diri sendiri dalam hubungannya dengan Tuhan. Di mana hubungan ini tidak bersifat sejajar atau horizontal, melaikan ibarat cabang dan pohon, majazy dengan hakikat tunggal Tuhan, atau antara muqayyad (ketergantungan/relative) dengan mutlaq (absolute).

Pada tahapan ini seorang meyakin bahwa ruh dan jiwa, bukan ‘saya’ yang hakiki, bukan pula kesadaran diri, akan tetapi ruh dan jiwa itu merupakan manifestasi dan pengejawantahan dari ‘diri’ dan ‘saya’ dan ‘saya’ yang hakiki itu adalah Allah Swt. Ketika manusia tenggelam dalam dirinya (fana’) dan ia tidak lagi menyaksikan kejelasan-kejelasan (ta’ayyunat), tidak ada lagi pengaruh ruh dan jiwa, manusia telah sampai pada kesadaran diri yang hakiki (Majmu’ el atsar: 320, Islamquest net).

Diperlukan kejernihan hati

Untuk mencapai kesadaran ad-diniyah ilahiyah atau bahkan kesadaran sufistik, diperlukan kejernihan hati dan kemapanan iman. Lalu bagaimana langkah yang ditempuh oleh seseorang agar dapat sampai pada maqam ini?

Dalam Islam kita diajarkan untuk tazkiyatunnafs (menyucikan diri). Bisa jadi dengan metode takhalli, tahalli, dan tajalli. Selain itu ada juga yang namanya muhasabah (introspeksi), bagaimana manusia sesering mungkin menyadari kesalahan dan dosa yang dia lakukan kemudian diiringi dengan ibadah seperti dzikrullah dan melakukan berbagai amal kebaikan.

Selain itu, taubat juga merupakan suatu jalan untuk mencapai kesadaran sufistik. Taubat adalah kondisi jiwa yang ingin kembali pada jalan Tuhan setelah seseorang melakukan berbagai kesalahan dan dosa. Dia berusaha memperbaiki dan mengubah diri serta berusaha tidak jatuh pada lobang yang sama.

Taubat bisa jadi didahului oleh peristiwa tertentu; musibah bencana, melihat orang lain lalu dia mengambil pelajaran, dan berbagai bentuk peristiwa yang dialaminya.

Terakhir, untuk mencapai kesadaran sufistik ini, ada program khusus yang dinamakan dengan shaum (puasa). Barangkali dengan keseriusan, tanpa harus melalui jalan tarekat ataupun tahapan-tahapan sufistik yang dicontohkan ulama terdahulu, semua orang berpotensi untuk sampai pada maqam kedasaran sufistik melalui ibadah puasa.

Saya menilai, inilah bentuk tarikah Islamiyah yang tidak satu kelompok pun dalam Islam membantahnya. Tentu tidak mungkin ada yang komplin dengan ibadah ini, karena kewajiban dari Allah dengan aturan seragam. Oleh sebab itu, mari maksimalkan ramadhan ini untuk memperbaiki diri menuju kesadaran sufistik.

Wallahu a’lam bishawab!

*Pemerhati Sosial Keagamaan.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.