[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 9

oleh

[Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 9

Diceritakan kembali oleh:
Aman Renggali

Matahari sangat terik. Seisi hutan dan sekelilingnya sangat sepi, hampir tidak ada suara hewan atau suara seekor burung pun yang terdengar berkicau. Gelingang Raya membuka bekal dari tas tentengannya, haus dan lapar menghampir ketika bayangan matahari sejajar dengan kepala. Pepohonan hanya membayang pada seluas dedaunan dan perdunya saja. Tengah hari yang gerah.

Seperti pada siang-siang sebelumnya dimana langit tidak berawan, tidak ada yang menghalangi terik matahari selain rerimbunan daun. Pada kemarau seperti ini biasanya angin pun jarang berhembus, walau hanya sehembus. Ia berteduh di tempat yang biasa ayahnya beristirahat dari perjalanan menuju dan sepulang dari ibu kota kerajaan.

Tempatnya sangat teduh dengan tanah rata dan lapang di sekeliling perdu besar. Dari tempat ini hampir seluruh petak persawahan masyarakat terlihat dengan jelas. Pemandangan alam yang alami, bukan saja memanjakan mata dari letih dan peluh keringat sepanjang perjalanan, tetapi juga ayat-ayat Tuhan yang sangat nyata betapa manusia hanya sebutir debu dalam hamparan alam ciptaan-Nya.

Setiap kali Gelingang Raya tiba di tempat ini ia selalu dihantarkan kepada dua ingatan yang melekat. Tentang kegigihan Basyar ayahnya dalam menghidupi keluarga meski terasing dari keramaian masyarakat kampung, yang kedua tentang nasehat-nasehat sederhana ayahnya yang terngiang setiap ia tiba di tempat yang sama.

“Win, kita adalah debu dalam hembusan angin besar. Dan sebaik-baik debu adalah yang dapat bermanfaat bagi sesama dan alam. Tuhan akan memuliakan siapa saja yang berbuat baik”.

Kalimat Basyar yang mengiang di telinga Gelingang Raya ketika ia duduk persis di tempat yang biasa ayahnya duduk sambil memandang ke arah hamparan persawahan.

Seketika tak terasa pipi Gelingang Raya basah dengan tetesan air mata. Ia menoleh ke sebelah kanan dari tempat duduknya seolah ia tengah menyaksikan sang ayah tengah duduk bersila dengan senyum sahaja sambil menyeruput kopi dari tutup termos kecil yang sudah dingin.

“Ama !”

Desah Gelingang Raya dalam hati mengenang ayahnya yang sudah almarhum.

Matahari bergulir pelan dengan teriknya, bayangan rerimbunan pohon besar itu kini agak memanjang ke arah timur. Gelingang Raya masih berbetah diri dalam kesendiriannya memandang alam sekitar. Perlahan ia membuka ikatan bekal dari tas tentengannya yang tergeletak begitu saja di sampingnya.

Mengeluarkan sebungkus nasi dalam balutan daun pisang serta sebuah botol berisi air putih yang ia persiapkan sejak tadi pagi. Rasa lapar dan gerahnya telah mengarahkannya untuk segera bersantap siang.

Ketika hendak makan dan menyuap nasi ke mulutnya samar-samar Gelingang Raya mendengar sebuah suara bercampur desau angin di telinganya. Suara itu seperti jerit kesakitan. Beberapa saat ia terdiam mengamati arah suara berasal, namun tidak ada pertanda apa-apa selain desau angin yang berhembus menerpa rimbun dedaunan.

Mungkin itu suara desau angin saja pikir Gelingang Raya sambil melanjutkan santapan makan siangnya.

Dari ketinggian bukit tempat ia berteduh angin memang behembus agak kencang dari tampat dataran rendah lainnya. Hembusannya terkadang mengandung kabut sehingga terasa sangat sejuk dan menenangkan. Namun terkadang angin berhembus kencang menerpa ilalang-ilalang kering di sepanjang punggung bukit, menerpa dedaunan rimbun dan melahirkan suara gemuruh. Tidak jarang pula terkadang melahirkan suara seperti tiupan seruling dan seperti suara manusia tengah berbincang-bincang.

Setelah memastikan tidak ada suara apa-apa selain desau angin Gelingang Raya kembali melanjutkan makannya.

Namun beberapa saat kemudian ia kembali mendengar suara yang sama. kali ini ia mencoba bangkit dari tempat duduknya dan memastikan arah suara itu berasal. Berjalan selangkah ke arah barat kemudian memutar kembali ke tempat duduknya semula, tetapi tidak ada pertanda apa-apa. Apakah ada orang lain yang tengah melintas atau makhluk lain selain dirinya.

Setelah memastikan tidak ada yang aneh dengan pendengaran dan keadaan di sekelilingnya ia kembali untuk kesekian kalinya ke tempat dimana bekal dan bawaannya ia letakkan di atas tanah.

Belum lama ia merapatkan duduk dan mencoba meraih makanan dari kejauhan kembali terdengar suara seperti meminta tolong. Kali ini terdengar tidak jauh dari tempat ia duduk. Suara itu seperti suara manusia. Suara manusia yang sedang kesakitan dan membutuhkan pertolongan.

Seperti kejadian yang pertama mula-mula ia tidak menghiraukannya. Gelingang Raya menganggap itu adalah suara gesekan dedaunan dan ranting pohon yang ditiup angin. Tetapi lama kelamaan suara itu terdengar kembali, ia bangkit dan mencoba melihat ke arah kanan dan ke arah kiri, ke depan dan ke arah belakang. Lagi-lagi tidak menemukan apa-apa dan siapa-siapa. Ia sempat memastikan hal tersebut beberapa kali dan membuatnya lelah sendiri.

Ketika kembali duduk dan hendak melahap nasi, ia kembali mendengar suara yang sama, kali ini bahkan terdengar semakin jelas. Bulu kuduknya sempat meremang, jangan-jangan pohon ini ada penunggunya, pikir Gelingang Raya. Dalam hati ia membaca doa dan surat-surat pendek yang ia hafal agar dijauhkan dari marabahaya, sementara tangannya siaga menggenggam parang yang terselip di pinggang.

“Kalau manusia keluarlah, kalau makhluk halus atau dedemit menyingkirlah. Jangan ganggu aku, karena aku juga tidak mengganggu kalian!”, kata Gelingang Raya setengah berteriak sambil berdiri.

Tidak lama kemudian suara itu terdengar lagi. Suara meminta pertolongan dengan berulang-ulang yang semakin jelas terdengar.

“Tolong..,.tolong, tolong!”
“Tolong..,.tolong, tolong!”
“Tolong..,.tolong, tolong!”

Bulu kuduk Gelingang Raya meremang, kaki dan tangannya gemetar, matanya liar menyisir sekeliling perdu besar itu. Ia menganggap di tempat itu hanya ada dirinya sendiri, namun kali ini adala suara lain seperti manusia yang minta pertolongan.

Matanya awas mengamati dan mencari sumber suara. Di tangannya sebilah parang tergenggam erat, bersiaga dari segala kemungkinan yang mungkin terjadi. Dalam rasa ketakutan dan rasa penasaran Gelingang Raya yang memuncak itu kembali terdengar suara meminta pertolongan.

“Tolong..,.tolong, tolong!”
“Tolong..,.tolong, tolong!”
“Tolong bantu aku wahai manusia!”

Sekujur badan Gelingang Raya merinding, matanya semakin awas. Antara perasaan takut dan penasaran yang memuncak. Ia berjalan beberapa meter, tetapi tetap tidak melihat dan tidak menemukan apapun di sekelilingnya kecuali rerumputan hutan yang bergoyang ditiup angin. Ketika suara itu kembali terdengar Gelingang Raya bergegas mencari asal suara. Memeriksa sejumlah bongkahan batang kayu tua yang rebah dan tumpukan batu cadas. Memeriksa dan mengibas rumpun rerumputan, ilalang-ilalang serta pohon-pohon di sekitarnya. [SY] Bersambung…

Baca Juga : [Kisah] Putri Burung Mergah Dan Gelingang Raya Bagian. 8

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.