Kota Takengon; Antara LGBT dan Rawan Bencana (Bag. 2)

oleh
Kota Takengon dari Bur Telege

Oleh : Fauzan Azima*

Kami lahir dan tumbuh sebagai remaja serta menjalani hidup dan kehidupan di Kota Takengon. Kami mencintai negeri ini dengan menjauhkan diri dan mengajak kita semua untuk tidak berprilaku amoral dan bejat, termasuk mengantisipasi menyebarluasan penyakit Lesbi, Gay, Bisexual dan Transgender (LGBT) sebagai wujud “Hubbul wathon” pada negeri Gayo, sekeping tanah surga ini.

Sesungguhnya kami bukan idealis, apalagi hendak membangun kebencian, bukan pula berprilaku sombong dan anti kasih sayang, tetapi sekarang kita bicara hakikat, bahwa kami percaya, ada korelasi antara prilaku amoral atau penyimpangan seksual dengan bencana alam. Lalu apakah kita rela menjadi korban bencana alam akibat membiarkan berkembangnya LGBT di Kota Takengon?

LGBT di Kota Takengon terdiri atas dua kelompok; pertama komunitas yang berada di salon-salon atau rumah kecantikan. Sekarang tidak saja “bermain” sesama mereka tetapi sudah mencari mangsa, khususnya anak-anak SMU atau sederajat. Keberadaan kelompok ini mempunyai forum tersendiri yang bereaksi pada tengah malam pada suatu tempat, biasanya kolam pemandian umum wih pesam, Kampung Simpang Balik, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah.

Pada tahun 2015-2016, kelompok ini diakomodir pada Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga melalui Kegiatan Gebyar Seni dan Fashion Show.

Syukurlah pada tahun 2017-2018 program tersebut ditiadakan. Kelompok ini, jelas tampak keberadaannya dari tingkah laku, cara berpakaian dan gaya berbicara.

Kelompok yang kedua, hampir tidak terendus dan bersembunyi di balik gelar akademik, tampil di forum-forum pengajian, serta menjadi narasumber menentukan arah kebijakan Pemda Aceh Tengah melalui studi akademiknya.

Kelompok ini lebih berbahaya dari kelompok pertama karena mangsa dan korbannya kebanyakan dari kalangan terpelajar.

Kelompok kedua ini juga sangat rapi pergerakannya, nyaris tidak terlihat. Apalagi sadar atau tidak Ir. Tagore sebagai salah seorang pendiri dan Ketua Dewan Adat Gayo (DAG) mempercayakan beberapa dari mereka masuk dalam struktur kepengurusan. Mungkin karena keterlibatan “Kaum Sodom” itu pula yang membuat DAG sampai saat ini mengalami mati suri.

LGBT atau penyimpangan seksual inilah hakikat yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, “Lelaki haram memakai emas” atau istilahnya “jeruk makan jeruk” atau bahasa gamblangnya, “lelaki menggauli lelaki,” yang merupakan penyakit kejiwaan, yang apabila dibiarkan seperti wabah virus yang menyerang masyarakat luas.

Kembali kepada Hadits Nabi Muhammad SAW “Tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya.” Oleh karena itu, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah; Pertama, disamping sejak dini mencengah, juga seluruh kalangan masyarakat harus pro aktif berkampanye dan mensosialisasikan agar tidak ada ruang bagi kaum LGBT Kota Takengon.

Kedua, khusus kepada Pemerintah Aceh Tengah agar tidak mempercayakan atau tidak melibatkan tokoh yang terlibat LGBT dalam menentukan arah kebijakan pembangunan sebab itu akan menjadikan mereka “naik daun” sehingga anak-anak muda terjebak dengan pesona tokoh tersebut, yang dianggap serba bisa.

Ketiga, penegakan hukum yang tegas kepada pelaku LGBT tanpa pandang bulu dan siapapun mereka karena beberapa waktu lalu beredar kabar tertangkap tangan pelaku LGBT berbuat mesum di dalam mobil, tetapi kasusnya “di-86-kan.”

(Mendale, Januari 2019)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.