Oleh : Fauzan Azima*
“SEUROE peut go luhu”. Demikian ungkapan segelintir orang yang ingin mencitrakan Tengku Muzakir Manaf alias Mualem. Ungkapan itu menuding omongan Mualem tak bisa dipegang.
Saya sendiri sangat memahami situasi Mualem. Pada saat konflik melawan Pemerintah Indonesia, Mualem adalah panglima Gerakan Aceh Merdeka. Secara teritorial, dia bertanggung jawab atas pergerakan pasukan di seluruh Aceh.
Ketika Aceh damai, masyarakat berharap kepada Mualem dari hal besar sampai hal yang remeh temeh. Sebagai lelaki yang berakhlak, siapapun yang datang dilayani dengan baik, walaupun diantaranya ada yang berkhianat dan menjadi rivalnya pada Pilkada lalu. Orang menyebutnya “Om Bus”.
Sedangkan tanggung jawab saya lebih kecil. Hanya di dua kabupaten, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Namun itu tak berarti tanggung jawab saya sebagai Panglima Wilayah Linge pekerjaan mudah. Saya juga kewalahan menghadapi tuntutan dan curahan hati masyarakat di dua daerah itu.
Bahkan hingga saat ini, saat anggota masyarakat datang, dan kita tidak lagi berkuasa atau memiliki uang, maka harus putar otak untuk memberitahukan “tamu” itu bahwa saya bukan solusi masalah mereka.
Syahdan, datang sekelompok anggota masyarakat ke rumah saya. Mereka meminta uang. Saya hanya bisa berkata, “bohmi kase (iya nanti).”
Tapi alih-alih pulang, mereka semakin memantapkan posisi duduk di kursi tamu. Saya terpaksa putar otak dan mengarang cerita. Saya bercerita tentang rencana mengundang investor dari Australia.
“Kita punya lahan 10 ribu hektare. Di setiap satu hektare kita isi 25 ekor sapi. Berarti kita punya sapi 250 ribu ekor sapi. Kalau program ini sukses, kita akan kaya raya tanpa harus berharap dari proyek pemerintah.”
Para tamu menyimak perkataan itu. Raut wajah saya tak berubah, tetap serius.
Setelah melontarkan kata-kata itu, saya merasakan semangat terpancar dari wajah mereka. Satu per satu dari mereka semakin merasa nyaman. Mereka seperti mencari-cari kebenaran di wajah saya. Saya terus berbicara.
Beberapa orang mengeluarkan rokok dan menyulut ujungnya dengan mancis sebelum menghisap rokok itu dalam-dalam dan mengempaskan asapnya ke langit-langit ruang tamu. Ruangan sepetak itu mulai penuh asap. Mata saya mulai perih, dada saya sesak dan sesekali batuk.
Gerombolan perokok tidak henti-henti menyulut rokoknya. Saya yang tidak tahan lagi dengan perihnya mata akibat asap rokok sehingga harus keluar, mencari udara segar.
Tak lama mereka mengikuti saya keluar dari ruang tamu. Wajah mereka masih memancarkan semangat. Mereka saling berbisik. Saya bisa mendengar pembicaraan kecil itu. Mereka bertekad akan mendiskusikan soal lahan dan sapi itu dengan bupati.
Terserahlah. Yang penting saya bisa lolos dari desakan mereka. Soal kemungkinan berjumpa kembali dengan mereka, itu tidak terlalu saya pikirkan.
Cerita sapi itu menyelamatkan saya yang memang benar-benar bokek. Tapi saya berjaji kepada diri sendiri untuk tidak lagi mengarang cerita kalau tidak mau asap rokok membunuh saya. Beberapa hari berikutnya sayapun sakit amandel dan sesak nafas.
Setiap kali orang meminta uang, saya selalu teringat pada pengalaman bersama Mualem. Pada Juli 2004, saat Mualem berbicara dengan anaknya via handphone di Puncak Gunung Geuredong, Bener Meriah, Mualem mengatakan kepada lawan bicaranya bahwa dia telah mengirimkan uang.
Namun uang yang dikirimkan itu masih kurang. Lantas Mualem memintanya untuk bersabar. Dia akan mencarikan kekurangan uang dan mengirimkannya. Tapi namanya anak, dia terus merengek, mendesak sang ayah.
Lantas Mualem berkata, “Supaya dapat tambahan sikit lagi, pandai-pandailah merayu emak engkau, Zasy,” kata Mualem.
Saya dan pasukan pengawal Mualem yang mendengarkan perkataan Mualem itu hanya bisa saling pandang dan tersenyum. Dan ucapan Mualem itu selalu kami ulang-ulang sebagai bahan bercanda.
Di saat hanya ada sedikit makanan yang tersedia, dan ada yang membutuhkan makanan lebih, kami berujar, “pandai-pandailah merayu emak kau.”
(Mendale, Pebruari 14, 2025)