Phobia 4 Desember

oleh
Fauzan Azima (jongkok, tengah)

Oleh : Fauzan Azima*

Menjelang milad GAM pada tahun 2004, Bambang Darmono selaku Wadanops TNI menyindir dengan pertanyaan, “Ada apa dengan 4 Desember?”

Sesungguhnya beliau sangat tahu bahwa pada tanggal 4 Desember 2004 adalah Milad GAM yang ke 28. Kemeriahan Milad GAM mencapai puncak pada tahun 1999-2002.

Sedangkan pada tahun 2003-2004 warna peringatan deklarasi GAM semakin memudar seiring dengan pemberlakuan Darurat Militer pada awal tahun 2003 oleh Pemerintah Indonesia yang disertai operasi TNI/Polri besar-besaran ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh GAM.

Memang diakui perlawanan GAM “total gerilya” ketika Bambang Darmono mengeluarkan sindiran seolah-olah GAM sudah lumpuh total, bahkan untuk memperingati hari yang bersejarah bagi GAM saja sudah tidak mampu.

Meski demikian pernyataan petinggi TNI, sampai saat ini, setiap tanggal 4 Desember selalu saja intensitas kewaspadaan Pemerintah Indonesia meningkat dengan mengirimkan intelijen untuk mengetahui masih adakah anasir GAM yang memperingatinya.

Implikasi perdamaian antara Pemerintah RI-GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 adalah demiliterisasi kedua belah pihak. TNI/Polri ditarik dari Aceh, dan senjata GAM dimusnahkan.

Saling percaya kedua belah pihak mulai terjalin, meski ada riak-riak kecil yang ingin membangkitkan kembali konflik Aceh. Seperti gempa, hal yang biasa, setelah guncangan besar disusul oleh gempa yang skala richternya mulai rendah dan kemudian hilang.

Sayangnya, tiga belas tahun damai Aceh, phobia 4 Desember masih terasa. Tidak adapun upacara dan pengibaran bendera bintang bulan, tetapi sebagian kalangan justru merekayasa agar ada pembenaran bahwa mantan pejuang GAM akan bangkit kembali.

Dengan begitu perhatian Pemerintah pusat selalu dalam keadaan awas terhadap Aceh dan menurunkan operasi intelijen untuk memecah belah GAM. Lantas apa yang terjadi? Gerakan-gerakan sporadis mulai terjadi yang lebih berbahaya jika tidak ada kanalisasi.

Operasi intelijen seharusnya merubah paradigmanya, dari operasi memecah belah GAM, menjadi operasi menyatukan GAM dengan tujuan satu saluran di bawah bendera Partai Aceh (PA), Komite Peralihan Aceh (KPA) serta Lembaga Wali Nanggroe.

Pasca damai seharusnya tidak ada gerilya di antara kita. Sebagai tanda saling percaya dan menghormati, tidak ada salahnya Pemerintah Indonesia yang memfasilitasi Milad GAM sehingga kalau ada “upacara” selain itu adalah illegal.

Harga perdamaian memang mahal, tetapi mempertahankannya jauh lebih mahal. Berilah ruang pada Aceh untuk memperingati Milad GAM agar kita bersatu dari Sabang sampai Merauke selamanya.

*Mantan jubir GAM Wilayah Linge)

(Mendale, 4 Desember 2018)

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.