Catatan Win Wan Nur
Setelah penolakan terhadap Hymne Aceh membahana di dunia nyata maupun di media sosial. Para pengambil kebijakan, baik di legislatif yang tadinya tak memandang sebelah mata terhadap gejolak penolakan ini, mulai memandang aksi penolakan ini dengan lebih serius.
Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA, Abdullah Saleh, motor utama dari rencana pembuatan Hymne Aceh yang menggunakan bahasa suku mayoritas di provinsi ini yang awalnya menyebut bahwa yang menolak Hymne yang liriknya menggunakan bahasa suku mayoritas ini hanya kelompok kecil yang terdiri dari orang yang itu-itu saja dari suku yang itu-itu saja terpaksa harus menelan kata-katanya sendiri ketika penolakan yang lebih kuat dan sistematis datang dari Gerakan Perempuan Aceh yang tidak berafiliasi pada suku tertentu.
Tanggal 25 Desember 2017, Penolakan yang disampaikan oleh Gerakan Perempuan Aceh ini kemudian diperkuat oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh sebagai mana disampaikan oleh Ketua Presidiumnya Khairani Arifin SH M Hum. Ada berbagai alasan yang disampaikan oleh Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh ini sebagai alasan penolakan, salah satunya adalah karena sayembara himne Aceh yang dilakukan oleh DPRA ini dinilainya sebagai cacat hukum.
Membesarnya penolakan terhadap Hymne yang mewajibkan liriknya menggunakan bahasa suku mayoritas ini tak pelak, akhirnya membuat Abdullah Saleh yang tadinya begitu percaya diri, goyang. Malam hari pasca keluarnya pernyataan Balai Syura Inong Aceh. Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRA ini bergerilya mendatangi akun-akun media sosial pribadi-pribadi penolak Hymne yang menggunakan bahasa suku mayoritas ini dengan maksud untuk mempengaruhi opini yang berkembang. Sayangnya karena argumen yang disampaikan Abdullah Saleh memang tidak kuat, usahanya seolah membentur tembok tebal.
Tak mendapat dukungan, pagi harinya tanggal 26 Desember 2017, bertepatan dengan peringatan 13 tahun bencana Tsunami, Abdullah Saleh mengeluarkan pernyataan kontroversial bernada putus asa yang menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh ini bukanlah suara yang mewakili perempuan Aceh.
Dalam pernyataannya Abdullah Saleh mempertanyakan, apakah pernyataan itu sudah didahului survey terhadap semua perempuan Aceh. Sebuah pernyataan yang langsung kontradiktif dan berstandar ganda sejak kalimat awal, sebab Abdullah Saleh sendiri ketika menyatakan itu sama sekali tidak didahului survey, lebih parah lagi dia juga sama sekali bukan anggota Balai Syura Ureung Inong Aceh.
Lalu dengan asumsi tersebut, Abdullah Saleh pun langsung membuat kesimpulan yang sebagaimana biasa, dasarnya adalah imajinasinya sendiri yang dilatari sifat suud’zon dan paranoid mengatakan bahwa itu semua adalah negative thinking. Pola oposan. Pokoknya harus berbeda. Inti permasalahan penolakan ini, diskriminasi, rasisme dan anti kesetaraan absen dari argumen Ketua Banleg Aceh ini.
Sementara itu, keriuhan di dunia maya yang diakibatkan oleh rencana penetapan Hymne yang menggunakan bahasa suku mayoritas ini ternyata juga tak luput dari pantauan Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh. Bagaimana tidak, rencana pembuatan Qanun Hymne yang sudah selesai dibuat lagunya ini telah membuat suku Gayo menerima berbagai hujatan sadis yang sebenarnya tak layak beredar di dunia manusia beradab. Iwan Bahagia, salah seorang penolak Hymne Aceh ini mencatat ada lebih dari 2000 kata makian yang diterima Gayo di dunia maya terkait Hymne Aceh ini.
Karena itulah tak mengherankan, ketika menghadiri acara pelantikan bupati Aceh Tengah, Irwandi mengatakan dirinya khawatir melihat perkembangan yang terjadi. Hymne yang seharusnya menjadi pemersatu, malah berpotensi menimbulkan perpecahan, gesekan bahkan tidak mungkin, konflik horizontal.
Dalam kesempatan ini Irwandi Yusuf, bertolak belakang dengan Abdullah Saleh yang ngotot menggunakan bahasa suku mayoritas sebagai bahasa Hymne, Irwandi mengatakan lebih suka kalau Hymne itu menggunakan bahasa Melayu yang memiliki landasan historis yang kuat dan dipahami oleh semua suku di Aceh.
Pernyataan Irwandi ini tak pelak mendapat sambutan hangat dan tepuk tangan membahana di dalam ruangan. Masyarakat Gayo yang seolah kehilangan harapan dengan sikap kepala batu yang ditunjukkan oleh Abdullah Saleh, kembali bangkit optimismenya dengan adanya pernyataan Irwandi.
Karena itulah, tak heran kalau saat ini masyarakat Gayo dan masyarakat Aceh lain yang melihat Hymne yang menggunakan bahasa suku mayoritas ini sebagai sesuatu yang zalim dan semena-mena menunggu dengan penuh harap bahwa Irwandi Yusuf sang Gubernur benar-benar mampu menghentikan manuver Abdullah Saleh yang dengan sikap kepala batunya tetap memaksakan aksi yang berpotensi memecah belah masyarakat Aceh ini.
Sementara Irwandi melakukan aksinya, kita hanya bisa menunggu dan berdoa. Semoga apa yang disampaikan Irwandi Yusuf di acara pelantikan Bupati Aceh Tengah bukan semata lip service karena resikonya sangat besar.
Lip service memang benar, sesaat bisa menenangkan emosi masyarakat penolak Hymne, tapi di balik itu sebenarnya justru memperbesar peluang terjadinya konflik karena bagaimanapun, ledakan emosi orang yang sudah diberi harapan tentu lebih besar daripada orang tanpa harapan.
Akhirul kalam, semoga Irwandi bersungguh-sungguh dalam menggagalkan pegesahan Hymne yang menggunakan bahasa suku mayoritas ini. Jangan sampai masyarakat Gayo yang sudah mulai sedikit memiliki kepercayaan kepada pemerintah Aceh ini kembali kecewa karena merasa ditipu untuk kesekian kalinya.[]
*Pengamat sosial politik