Oleh : Aryanto*
Uang dalam konsep ilmu ekonomi tradisional merupakan alat tukar yang dapat diterima secara universal dan sah. Uang yang kita kenal saat ini telah mengalami proses perkembangan yang cukup panjang, dimulai dari era barter sampai dengan sekarang menjadi uang kertas dan salah satu fungsi dari uang tersebut ialah untuk mendorong kegiatan ekonomi.
Maraknya prilaku deskriminasi jual beli yang dilakukan oleh beberapa minimarket yang ada di kota Takengon Kabupaten Aceh Tengah menjadikan pembeli (konsumen) bingung.
Sebagai contoh, seorang konsumen membeli salah satu produk susu dengan harga Rp.44.500 (empat puluh empat ribu lima ratus rupiah), pembeli tersebut memberikan uang dengan Rp.50.000. Dalam teori keuangan pembeli tersebut masih memiliki hak atas uang kembalian senilai Rp.500, akan tetapi pihak minimarket menggatikan uang Rp.500 tersebut dengan permen dan dengan alasan tidak ada uang recehan, sedangkan permen tersebut sama sekali tidak dibutuhkan oleh si pembeli.
Prilaku menggantikan uang kembalian dengan permen atau sejenisnya merupakan salah satu prilaku yang melanggar hukum yaitu UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa sekecil apapun nilai kembalian dalam setiap transaksi tetap harus dikembalikan dengan alat pembayaran yang sah.
Kemudian pemerintah juga mengeluarkan sanksi tegas yang dituangkan dalam UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa pengusaha atau pedagang yang mengganti uang kembalian dengan alat pembayaran tidak sah, akan dijerat ancaman sanksi maksimal 2 tahun penjara dan denda maksimal Rp.5 Miliar.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan dan sanksi tegas terkait penggunaan uang kembalian, akan tetapi fungsi pengawasanya belum terlihat sehingga berakibat masyarakat Kabupaten Aceh Tengah menjadi korban ekonomi Kapitalis tersebut.
Melalui tulisan ini, penulis menyarankan kepada pihak terkait untuk menertibkan hal-hal yang mengganggu kenyamanan konsumen.
*Aryanto merupakan Mahasiswa STAIN GP Aceh Tengah,Jurusan Syariah,Prodi Ekonomi Syariah.