oleh Arfianyah*

SORE itu, saya duduk-duduk dengan berapa teman lama di Asa Coffee Takengon. Tidak ada rencana berjumpa mereka, hanya nimbrung diskusi karena janji pertemuan dengan seorang teman tertunda.
Sembari mengangkat sebuah kursi untuk duduk bersama mereka, saya mendengar diskusi yang sangat serius. Diskusi di warung kopi di Gayo dan Aceh pada umumnya memang bisa lebih serius daripada berdiskusi di ruang formal seperti kantor.
Projek pun bisa dimenangkan dengan bernegosiasi di warung kopi daripada di ruang kerja. Konon, perdamaian Aceh-RI pun dicapai di sebuah caffee setelah mentok di ruang meja bundar.
Saya mendapati diskusi serius teman-teman ternyata tentang penggelolaan parkir. Nilai parkir yang mereka diskusikan awalnya hanya Rp.1000-2000 sekali parkir. Tapi setelah dikali-kali, bila dalam satu hari ada 2000 mobil dan 3000 sepeda motor yang bayar parkir di seluruh Aceh Tengah, nilai totalnya menjadi 7 juta perhari. Kemudian dikalikan 30 hari, nilainya menjadi 210 juta/perbulan.
Bagaimana kalau dalam satu tahun? Angkanya bisa mencapai 2 milyar lebih. Karena angkanya yang besar tersebut teman-teman berdiskusi dengan sangat serius. Apalagi isunya, dari satu tempat wisata saja, petugas parkir bisa mengumpulkan hingga 1,5 juta/hari.
Tapi yang teman-teman diskusikan bukanlah tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari pengelolaan parkir, karena kabarnya dinas perhubungan hanya dapat setoran 20 ribu/hari dari satu lahan parkir atau 600 ribu perbulan atau 7,2/pertahun dari pengelola satu lahan parkir.
Ada banyak lahan parkir di Aceh Tengah, jadi PAD nya lumayan besar. Tapi teman-teman tetap yakin kalau pengelola parkir dalam bagian yang lebih besar. Yang mereka diskusikan hingga mengeluarkan minyak muka yang serius adalah jaminan terhadap kendaraan yang hilang.
Menurut rekaman dari kepolisian, pada tahun 2017 saja, kepolisian sudah menangani 13 kasus curanmor. Selama ini, selain di rumah sakit umum kebanggaan warga Aceh Tengah, semua kasus curanmor kebanyakan hilang di tempat parkir tanpa ada jaminan ganti rugi. Teman-teman pun mengindentifikasi tempat-tempat rawan curanmor.
Melihat kenyataan ini, seorang teman, yang juga mantan juru parkir, menjadi sangat kesal. “Makanya saya gak mau bayar parkir, kecuali karena kasihan ama tukang parkirnya.” katanya.
Teman lainnya menyalip pernyataannya dan berkata “ya, tukang parkirnya cuma mau uangnya. Ketika hilang mereka lepas tangan.” ujarnya menimpali.
Tidak adanya jaminan akan kendaraan yang hilang di tempat parkir, menurut teman mantan tukang parkir tersebut menjadi penyebab utama kesemberautan parkir dan kemacetan. “ngapain patuh karena karena gk ada jaminan. Parkir teratur dan tidak teratur, sama saja. Honda hilang gk diganti. Idealnya memang seperti jaminan yang diberikan oleh rumah sakit umum. Itu baru kita mau bayar dan patuh.”
Parkir dan Premanisme
Sudah menjadi rahasia umum kalau pengolaan parkir tidak pernah melalui prosedur yang baik dan bisa dipertangungjawabkan. Parkir selalu dikaitkan dengan premanisme karena pengelolanya adalah preman-preman di lokasi “lapak.” Entah bagaimana prosedurnya, mereka mendapatkan hak kelola parkir dan mengambil keuntungan paling besar daripada pemerintah.
Pernah satu kejadian, menurut cerita salah satu teman yang berdiskusi dengan panas di Asa Coffee, bahwa pembangunan toko di Paya Ilang pernah terhambat karena seorang preman melarang pembangunan toko hanya karena lokasi pembangunan tersebut adalah lapak parkir mereka. “aneh, ada orang parkir kan karena adanya toko. Bukan karena ada parkir maka ada toko. Mereka membalikan logika aliran uang parkir.”
Di Jakarta, parkir adalah lahan pertarungan keras antar preman. Para preman-preman berusaha keras mendapatkan dan mempertahankan lapak parkir dengan berbagai cara. Banyak preman yang tewas karena rebutan lahan parkir. Bayangkan dengan hitung-hitungan di atas, berapa rupiah yang mereka dapat perhari.
Walau demikian, parkir juga merupakan lapangan kerja bagi orang-orang putus sekolah dan pendapatan tambahan bagi para backing di pemerintahan. Sehingga, parkir tidak lah sederhana membayar uang parkir lalu pergi atau melapor polisi ketika kendaraan hilang. Pada lahan parkir tersimpan kisah premanisme, kemiskinan, politik dan kekejaman hidup.
Semua kisah tersebut bercerita tentang hubungan kekuasaan para aktor negara, preman dan masyarakat jelata.
Jaminan Hukum
“Kalau demikian dan tidak kita tahu mamfaatnya, kenapa pengelolaan parkir tidak diberikan saja ke desa.” seorang teman ahli stastistik nyeletuk. Dengan dikelola desa, dia perpandangan bahwa desa bisa mendapatkan tambahan dana esktra. Minimal WC masjid bisa bersih.
“Tidak bisa.” pungkas salah seorang teman lainnya. Menurutnya, parkir itu sudah diatur oleh undang-undang negara. Sehingga tidak mungkin pemda atau desa membuat aturan tentang parkir yang sudah pasti bertentangan aturan yang lebih tinggi.
“kalau gitu, apa mamfaatnya parkir dikelola dan ada petugas parkir? Kendaraan hilang tak diganti, dan ke masyarakat (desa) pun uangnya gk nyampe.” Sambut teman lainnya.
Sepertinya, teman-teman lupa bahwa banyak tempat parkir di lokasi wisata dikelola oleh Desa dengan tarif yang tinggi. Apakah ini legal? Sepertinya, menurut diskusi warung kopi ini, parkir ini tidak legal. Tapi entahlah. Karena kami semua berlagak menjadi pengamat dan kritikus hukum.
Salah seorang kemudian berusaha mencari informasi tentang parkir di internet. Hasil pencariannya menyejuk hati bahwa pada tahun 2010, Mahkamah Agung telah memutuskan bahwa semua materi yang hilang di lahan parkir, baik itu seperti sepeda motor, helm dan kaca spion harus diganti oleh pengelola parkir.
Dengan keputusan tersebut pengelola parkir tidak bisa bersembunyi dibalik klausal sepihak yang sering kita temukan seperti “segala kehilangan dan kerugikan menjadi tangungjawab pemilik kendaraan.” Namun, pertanyaan dari satu orang teman lainnya kembali memanaskan situasi, “itu kalau di mall atau tempat-tempat parkir di gedung yang jelas pengelolanya, ni kalau kayak di Takengon ni, kayak di pasar misalnya, siapa pengelolanya, preman, kampong, atau dinas perhubungan, siapa yang kita tuntut? Kalau tempat wisata yang dikelola desa atau pemuda kampong, siapa yang kita tuntut?” seorang teman menjawab ketus “bawa aja ke polisi, itu kan tugas polisi dan jaksa nanti nyari hukumnya?”
Parkir dan budaya Pemerintahan
Pada tahun-tahun terakhir pemerintah Ahok, Pemerintah Jakarta memperkenalkan parkir meteran. Meski ada petugas parkir, mereka hanya mengatur parkir. Mereka diperkerjakan oleh pemerintah Jakarta dan mendapatkan gaji bulanan.
Tidak ada lagi parkir manual. Transaksi parkir mengunakan kartu kredit atau alat bayar non tunai lainnya yang dimasukan ke dalam sebuah mesin di sekitar lokasi parkir. Uang parkir langsung masuk ke kas daerah. Pengelolanya semakin jelas, Pemerintah Jakarta. Bila ada kendaraan yang hilang, maka pemerintah Jakarta yang dituntut.
Dengan system parkir meteran tersebut, para preman terpaksa kehilangan salah satu lahan pendapatan besar. Namun tidak dengan penjaga parkir. Mereka dipekerjakan oleh pemerintah Jakarta dengan seragam yang lebih bagus. Mengurangi sumber pendapatan preman, secara langsung dan tak langsung mengurangi lokasi kekerasan, memutuskan hubungan kekuasaan pemerintah/para backing dan preman.
Preman, meski mereka juga kerap digunakan negara untuk suatu tujuan tertentu, akhirnya menjadi rakyat biasa tanpa kuasa, minimalnya di lahan parkir.
Pergantian pimpinan di Jakarta, parkir meteran pun diwacanakan untuk dikembalikan ke system manual. Alasannya sederhana, karena parkir meteran tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Sayangnya, wakil gubernur terpilih, yang berwacana waktu itu, tidak menjelaskan bagaimana hubungan budaya Indonesia dan lahan parkir.
Wacana pengembalian system parkir di Jakarta barangkali memberikan gambaran bahwa selama ini hubungan preman dan pemerintah itu sangat dekat.
Preman adalah alat terror, penjamin stabilitas keadaan tertentu, dan manipulator situasi tertentu. Mereka adalah alat. Karenanya mereka juga sering jadi korban dan kambing hitam. Mereka sering dibuang setelah dipakai. Karena itu mereka tetap penting dan harus dijaga.
Semakin banyak preman disatu daerah, maka semakin rumit hubungan dan perebutan kekuasaan antar aktor politik. Tentu saja, yang dimaksud preman disini tidak sebatas preman bergaya menakutkan bagi masyarakat jelata.
Hubungan mereka seperti hubungan penjaga parkir dengan pemilik kendaraan. Mereka saling membutuhkan. Saling mengisi dan menolong. Petugas parkir merapikan posisi sepeda motor. Menarik sepeda motor mundur atau memberi aba-aba parkir atau keluar parkir untuk mobil. Ketika pembayaran, mereka saling menyapa dan sekali-kali tersenyum. Kemudian tukang parkir dengan sopan mengucapkan “terimakasih.” Tukang parkir kemudian ditinggalkan. Yang untung adalah pengelola atau “pemilik lapak.” Dia tidak pernah diketahui dan telihat. Tapi dia ada dan memberikan dampak. Dia kerap menjadi sosok yang dicurigai tapi tak terbukti.
Barangkali begitulah hubungan budaya dan parkir di Indonesia yang dimaksud oleh wakil gubernur terpilih. dimana budaya premanisme mencengkram kuat.
Hubungan mutualisme kekuasaan antara preman dan aktor negara dibangun untuk keuntungan sepihak. Masyarakat diam dan tak berani menuntut karena “kehilangan dan segala kerugian ditangung oleh pemilik kendaraan.” Bukan tanggung pengelola parkir atau pemerintah. Tugas mereka hanya mengumpulkan uang dari pemilik kendaraan. Dan itu wajib dibayar.
Masyarakat sebagai pengunaan lahan parkir tidak pernah menjadi perhatian aktor negara, apalagi menjadi perhatian preman. Tapi masyarakat selalu ada dalam bahasa politik mereka, “demi keamanaan kendaraan, mohon diparkirkan di tempat yang tersedia.” Masyarakat pun patuh tanpa pernah bertanya “kalau kendaraan hilang, tanggungjawab siapa?”
Jaminan hukum terhadap kendaraan yang hilang sudah ada. Beberapa orang di luar daerah berhasil mendapatkan ganti rugi melalui pengadilan. Di Aceh Tengah, apakah ada yang ingin mencoba?. []
*Pengamat seni budaya, mahasiswa S3 Antropologi Hukum di Universitas Leiden Belanda