Oleh : Arfiansyah*
Dapat dikatakan bahwa kelompok orang Gayo Aceh tengah adalah kelompok orang Gayo yang maju dan sejahtera di bandingkan dengan kelompok saudara-saudara mereka di kabupaten lain; Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tengara dan Aceh Timur.
Indikatornya kemajuannya sederhana. Kita dapat melihat dan membandingkan perkembangan masyarakat, pembangunan infrastruktur kota dan geliat bisnis antara kelompok-kelompok masyarakat Gayo ini.
Lalu, apa sebenarnya penopang ekonomi masyarakat Gayo Aceh Tengah? Penulis melihat hanya satu, yaitu hutan. hutan ini melahirkan sumber utama kedua, yaitu danau Lot Tawar.
Hutan
Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Aceh Gayo Aceh Tengah, apalagi Bener Meriah bergantung sepenuhnya pada hutan. Hutan telah menjadi penopang utama kehidupan sejak nenek moyang mereka berada di sana.
Sebelum hingga awal-awal setelah kemerdekaan Indonesia, mereka menyebut aktivitas ke hutan dengan “mebunge” atau memetik/mengambil secukupnya kebutuhan hidup dari hutan untuk keperluan 1-2 hari. Membunge menunjukan orang gayo dahulu hanya mengambil hasil (buah atau apapun yang dihasilkan dari pohon) di hutan.
Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Gayo mulai mengelola hutan untuk peningkatan pendapatan mereka untuk jangka panjang dengan menaman kopi dan palawija.
Menurut beberapa catatan dan juga informasi dari sesepuh lokal, pemanfaatan untuk sektor perkebunan ini pertama sekali diperkenalkan oleh Belanda. Kebun kopi dan teh, yang awalnya dimiliki oleh perusahaan asing yang mendapatkan izin Belanda kemudian berubah menjadi perkebunan rakyat.
Meskipun jenis pekerjaan lainnya terus bermunculan dan berkembang seperti bekerja untuk pemerintah (PNS), berdagang dan bisnis, tapi pendapatan utama masyarakat Gayo tetaplah dari perkebunan kopi yang bergantung sepenuhnya pada hutan.
Pekerjaan lainnya, apalagi PNS sebenarnya hanya dianggap sebagai pekerjaan sampingan atau tambahan yang sangat menjanjikan. Untuk bekerja di sektor pemerintahan, misalnya, mereka rela harus menyogok dan kemudian digaji sangat kecil. Meskipun bila dihitung dengan cermat, hutan/atau kebun kopi memberikan pemasukan yang jauh lebih besar, meski tidak bulanan seperti bekerja untuk pemerintah.
Dari dulu, masyarakat Gayo telah melihat bahwa orang tua dan kakek-nenek mereka mampu naik haji berkat pengelolaan hutan yang baik. Mereka bekerja dengan teratur dan mengatur dengan baik pemasukan yang tidak rutin tapi berlimpah. Dengan itu, mereka menyekolahkan anak-anak mereka, membangun rumah, membeli kendaraan, dan naik haji.
Kemudian hari, karena pertambahan jumlah penduduk, hutan yang memberi keseimbangan terhadap pertumbuhan kopi dan palawija semakin merambah ke rimba dalam. Masyarakat Gayo, baik di Aceh Tengah dan Bener Meriah mulai mengubah fungsi hutan menjadi lahan perkebunan kopi, meskipun hutan itu sudah ditetapkan sebagai hutan lindung.
Tentu saja, pohon kopi memiliki daun yang hijau dan berakar tunggal. Persis seperti pohon-pohon besar. Tetapi orang Gayo lupa akan perbedaan signifikan yang bisa diamati secara sederhana bahwa ukuran pohon, jumlah daun yang dihasilkan, dan kedalaman akar pohon besar berbeda jauh sekali dari pohon kopi yang mereka tanam; berakar pendek, tidak menghasilkan daun sebanyak pohon besar, dan tidak bisa mengikat/menopang tanah.
Akibat dari perlakukan yang tidak baik terhadap hutan ini, masyarakat Gayo kemudian menghadapi beragam bencana, terutama banjir dan longsor.
Longsor bisa diakibatkan oleh kikisan air hujan yang terlalu deras, yang sering terjadi di jalan-jalan, atau akibat dari gempa bumi, seperti yang terjadi Bah di mana lereng bukit yang telah digunduli sudah tidak memiliki penopang atau pengikat tanah ketika terjadi pergerakan tanah.
Perilaku yang tidak berterima kasih atau bersyukur pada limpahan rezeki Tuhan melalui hutan ini, menurut beberapa warga, tidak hanya dilakukan oleh warga desa tetapi lebih sering dilakukan oleh orang-orang dari kota atau dari desa lain.
Pendatang menganggap bahwa hutan lebat adalah milik Tuhan, yang berarti bisa digarap dan disyukuri dengan hanya shalat yang rajin. Mereka lupa kalau shalat saja tidak bisa mencegah puluhan bahkan ratusan orang kampong yang tinggal di bawah gunung dan sekitar sungai terbebas dari bencana banjir akibat ulah mereka.
Dampaknya bisa dilihat misalnya dari perubahan fungsi hutan di Isak, Bah dan Simpang tiga Redelong.
Di Isak, banjir semakin rutin terjadi dan tidak dapat diprediksi karena daerah hulu, yang dulu dilarang untuk dimasuki, kini sudah menjadi kebun kopi.
Di Bah, orang tua mereka yakin bahwa bukan gempa yang mengakibatkan longsor dan air bah. Tetapi penebangan pohon di lereng bukit.
Di Simpang Tiga Redelong, angin Puting Beliung semakin sering terjadi akibat perubahan hutan pinus menjadi kota. Kota itu pun semakin panas.
Kontrakdiktif sekali, rajin shalat dan bersedeqah tetapi juga suka merusak hutan yang mengakibatkan kerugian materi dan jiwa orang-orang yang terkena bencana akibat ulah serakah mereka.
Danau
Hutan di Aceh Tengah membentuk danau yang memberikan sumber pendapatan utama lainnya bagi, khususnya, warga Takengon. Semakin hari, danau ini semakin memberikan daya tarik ekonomi bagi warga sekitarnya.
Dahulu, danau ini hanya sebagai sumber protein (ikan) masyarakat sekitarnya. Tidak ada nilai lebih yang diambil sekain ikan-ikan yang disediakan oleh danau kepada mereka.
Setelah konflik berakhir dan semakin banyak orang menyadari fungsi ekonomi tambahan dari danau ini, orang-orang mengembangkan beragam aktivitas ekonomi yang semua bersumber utama dari danau ini.
Karena danau ini, dan hutannya, Takengon sudah menjadi daerah kunjungan favorit untuk wisata dan menjadi penyaing utama Pulau Weh/Sabang. Pegawai dan LSM di Banda Aceh semakin sering memilih Takengon sebagai daerah kerja bahkan hanya untuk sekedar rapat kerja 2-4 hari saja.
Potensi ekonomi ini mendorong orang di Takengon, bahkan orang Gayo perantauan, untuk memaksimal nilai ekonomi dari danau dengan mendirikan ragam bentuk penginapan, café, dan ragam aktivitas wisata lainnya. Kegiatan ekonomi mereka bahkan kemudian mengubah bentuk danau dengan menimbun pantainya untuk penginapan dan café.
Para nelayan juga peningkatan aktivitas mereka di danau. Dengan pertumbuhan penduduk dan pengunjung, mereka kemudian menjaring ikan tanpa memilah ukuran/usia ikan. Sehingga, banyak sekali ikan di danau yang mulai langka. Depik misalnya, yang dulu mudah sekali di dapat, saat ini semakin susah untuk dilihat di pasar.
Akibat dari penangkapan ikan yang berlebihan, semua ikan berukuran kecil dan berbentuk sama sering dikatakan sebagai Ikan Depik. Padahal mereka jenis yang berbeda. Ada Relo, yang suka berenang di bawah WC umum di bibir danau, ada Ngas yang ukuran lebih besar dari depik dan bertulang dan hidup di tengah danau dan, Bontok, ikan kecil yang hidup di bibir danau dan di sungai serta jenis lainnya. Untuk menarik pelanggan, semua ikan kecil ini dikatakan sebagai Depik, karena ketenaran ikan itu di Propinsi Aceh.
Sama seperti hutan, masyarakat Gayo di Aceh Tengah semakin tidak bersyukur atas nikmat Tuhan melalui danau ini. Mereka cenderung hanya mengambil manfaat dari danau untuk saat ini tetapi tidak memikirkan kebutuhan generasi berikutnya. Harapan ini sangat sulit, karena anak-anak muda juga mulai mengeksploitasi danau secara serampangan.
Tentu, ada sekelompok orang yang sangat peduli terhadap keadaan danau yang tercemar sampah dan limbah serta ikan-ikannya yang mulai langka. Mereka mendiskusikan keprihatinan mereka melalui wadah organisasi.
Disayangkan orgahnisasi tersebut belum memberikan dampak yang berarti bagi danau.
Seharusnya mereka berdiri di garda terdepan dan menjadi andalan pemerintah untuk perlindungan danau. Melindungi danau, tentu mereka harus bergerak melindung hutan yang menjadi penyuplai utama air ke danau dan menjadi sumber kehidupan semua makhluk hidup di Gayo.
Penutup
Sering, perhatian terhadap danau melupakan perhatian terhadap penopang utama danau, yaitu hutan. Mereka sering dipisahkan satu dari lainnya. Hutan di sekitar danau secara berlahan terus berubah fungsi. Pohon besar, yang menjadi penyangga dan penyuplai air ke danau, diganti dengan pohon kecil (kopi) yang tidak bisa menyediakan air dan tidak bisa menjadi penyangga tanah.
Debit air danau yang terus menurun dan semakin dangkal seharusnya menjadi peringatan bagi masyarakat Gayo bahwa mereka harus bisa menjaga hutan dengan baik.
Hutan memberikan kehidupan bagi nenek moyang mereka, mereka yang hidup saat ini dan terus menjadi penyangga utama kehidupan generasi berikutnya.
Orang Gayo bisa saja menjadi Bupati, anggota dewan, menjadi PNS, kontraktor, berdagang dan berbisnis kreatif yang secara kasat mata barangkali tidak berhubungan dengan hutan. Tetapi hutan adalah sumber pendapatan dan menjadi penopang utama kehidupan mereka. Hutanlah sumber kehidupan paling berharga bagi orang Gayo, bukan kopi. Apalagi tambang emas.
Karenanya, hutan haruslah menjadi perhatian pemerintah dari dulu hingga yang akan datang. Membabatnya secara membabi buta sama dengan membabat kehidupan mereka dan masa depan secara membabi buta juga. Bencana telah berdatangan silih berganti, itu adalah takdir/ketetapan bila mengeksploitasi hutan terlalu berlebih maka takdirnya/ketetapannya adalah bencana yang silih berganti.
*Arfiansyah adalah Dosen di Prodi Sosiologi Agama, UIN Ar-Raniry dan peneliti yang berafiliasi dengan ICAIOS (International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies) dan Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden, Belanda. Dia juga anggota Akademi Ilmuan Muda Indonesia.