Isu Penculikan Anak, Hilangnya Akal Sehat dan Perilaku Sadis Akibat Histeria Massa

oleh

Oleh : Win Wan Nur

Win Wan Nur

KEMARIN, pulang kerja dari luar kota, seperti biasa saya dijemput istri. Tapi tidak seperti biasanya, istri saya hanya ditemani Nami anak saya yang paling bontot. Kali ini, semua anak diangkut, saya lihat si kembar sudah tertidur di kursi belakang. Tapi karena masih capek, saya tidak menanyakan alasannya.

Baru keesokan paginya istri saya cerita, kalau alasannya membawa semua anak-anak waktu menjemput saya karena aksi penculikan anak sedang merajalela di Bali. Di kompleks kami tinggal katanya sudah dua orang anak yang jadi korban penculikan.

“Anak siapa yang diculik?”, tanya saya.
“Aku dapat beritanya dari WA Group, wali murid”, kata istri saya.

Bukan kebetulan, sebelumnya soal penculikan anak ini pula yang sedang menjadi perbincangan panas di laman facebook milik teman-teman di kampung halaman saya, di Gayo yang berjarak 5 jam penerbangan dari tempat kami tinggal. Sama seperti cerita istri saya, di sana pun gencar beredar kabar tentang ganasnya penculikan anak ini.

Meski terpisah jarak ribuan kilometer dan harus melintasi jarak dua di antara 5 pulau besar Indonesia. Cerita dan pola penculikan yang diceritakan istri saya di Bali dengan teman-teman di Gayo, sama persis. Pelakunya pura-pura gila, anak-anak yang diculik dibunuh untuk diambil organ tubuhnya. Dan satu kesamaan lain, baik di Bali maupun di Gayo, sama sekali tidak ada satu orangpun yang bisa menunjukkan anak atau keluarga yang anaknya menjadi korban penculikan itu. Paling banter hanya “Hampir diculik, tapi berhasil digagalkan”.

“Jadi kekmana ceritanya soal dua anak yang diculik di kompleks ini?”, tanya saya lagi.
“Itu ibu temannya Mattane Lao bilang ada anak tetangganya yang jadi korban penculikan”, kata istri saya.

Lah kalau ada dua anak yang hilang diculik, kok bisa kompleks ini sedemikian adem ayemnya, tidak ada rumah yang ramai dikunjungi orang untuk menunjukkan bela sungkawa. Ini aneh.

Sejak beberapa minggu sebelumnya, WA dan laman facebook saya sendiripun kerap dibombardir berita tentang kejadian penculikan anak di berbagai tempat, ada yang katanya di Banyuwangi, ada yang katanya di Makassar yang katanya infonya langsung dari polisi dan diakhiri dengan ucapkan amin, ajakan waspada dan mohon disebarkan. Tapi tak ada satupun dari berita itu yang dilengkapi dengan link berita dari media yang terverifikasi di dewan pers. Sebagai pelengkap, beredar pula sebuah informasi berisi daftar harga organ-organ tubuh yang diperdagangkan di pasar gelap. Masing-masing organ dihargai dengan hitungan Dollar, yang kalau dirupiahkan nilainya berada di kisaran ratusan juta sampai sekian milyar.

Komentar-komentar yang menanggapi info yang tersebar di WA dan Facebook itu cukup sadis dan mengerikan. Bakar saja pelakunya, cincang pelakunya, jangan percaya dia pura-pura gila, bunuh saja dan sejenisnya.

“Coba kamu tanya yang jelas, rumah tetangganya itu tepatnya, saya mau ke sana buat liputan”, kata saya. Lalu istri sayapun segera mengetik di iPhone miliknya untuk menanyakan detail yang saya minta.

Setelah beberapa lama “ Dia juga nggak tau, katanya dia cuma meneruskan info dari Group WA”, ujar istri saya, setelah mendapat jawaban dari wali murid yang menyebarkan berita.

Malamnya, Nailul Authar, adik angkatan saya di UKM PA Leuser Unsyiah mengirimkan foto seorang pemuda dengan tangan terikat dengan wajah babak belur habis dihajar massa. Dalam teks foto yang dia sebarkan, adik angkatan saya yang akrab kami panggil Roy ini menjelaskan, kalau pemuda di dalam foto itu bernama Midi, warga kampungnya yang mengalami keterbelakangan mental. Roy mengenal sosok Midi sejak dia masih kecil. Roy mengenal siapa keluarganya. Kondisi babak belur yang dialami Midi sebagaimana terlihat di foto itu terjadi karena pemuda yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata ini dicurigai warga sebagai penculik anak yang berpura-pura gila.

Di malam yang sama, saya mendapat kiriman berita yang dibagikan dari status seorang perempuan berjilbab yang di facebook memakai nama Husnul Khatimah yang menampilkan foto seorang pemuda yang wajahnya berdarah-darah dikerubuti massa.

Dalam teks fotonya Husnul Khatimah menulis “Inilah baru aja tadi ter tangkapnya lagi penculik anak di kabupaten Sampang..desa rebesen..maka dri itu kalian semua hrus waspada..Yg melihat luangkan waktu 1 detik komen aamiin semoga kita, keluarga kita dijauhkan dari segala kejahatan penculikan anak anak aamiin..#Bantu share agar yang lain juga ketangkap”

Membaca share berita ini, muncul kesan adanya penculikan anak yang terjadi secara Massif, Sistematis dan Terstruktur di seluruh Indonesia Raya.

Di saat yang sama, Anissullah M.Ridha, adik angkatan saya yang lain dari UKM PA Leuser Unsyiah, yang saat ini dipercaya oleh negara untuk menjadi Kapolres di Kabupaten Bangkalan, Madura, menulis himbauan di laman FB-nya agar masyarakat jangan mudah terprovokasi apalagi main hakim sendiri dalam menyikapi isu-isu yang belum tentu kebenarannya.

Dalam himbauannya ini, terkait maraknya isu penculik anak ini, Anis, begitu dia kerap kami sapa, mengingatkan tentang maraknya isu ninja tahun 1998 yang membuat banyak korban berjatuhan karena dicurigai ninja, tapi ternyata diketahui bukan ninja setelah terbunuh. Saat itu, banyak kucing yang dibunuh karena isunya ninja-nya jadi kucing. Lalu banyak pula pohon ditebang karena isunya ninja naik pohon lalu menghilang.

Setelah mengetahui jawaban dari wali murid yang menyebarkan informasi tentang penculikan,yang ternyata hanya meneruskan pesan, bukan anak tetangganya sendiri yang menjadi korban. Istri saya jadi tenang.

Lalu sayapun menceritakan kalau isu seperti ini memang sering muncul di suatu masa. Saya bercerita tentang isu hantu kojek yang dulu merebak di Takengen, tempat kelahiran saya. Dan isu seperti ini juga bukan hanya menjadi monopoli Indonesia. Pada abad ke-17, dalam kurun waktu lebih dari setahun, mulai dari Februari 1692 sampai Mei 1693, di Kota Salem, Massachusetts, Amerika, masyarakat di sana dihebohkan oleh isu adanya serangan ilmu sihir. Seperti merebaknya isu penculikan anak ini, masyarakat di sana dilanda histeria.

Masyarakat yang resah dan ketakutan menjadi waspada dan mulai memburu orang-orang yang dicurigai sebagai penyihir. Hasilnya, dalam kurun waktu itu 20 orang dibantai. Empat belas di antaranya adalah perempuan yang semuanya mati dengan cara digantung.  Terdapat 5 orang anak yang juga dicurigai sebagai penyihir, kelimanya mati di dalam penjara. Dan sama seperti di isu penculikan anak ini, orang-orang yang dituduh sebagai penyihir itu, semuanya adalah orang gila dan gelandangan, kelompok masyarakat yang berada dalam posisi sosial paling lemah dan tidak memiliki kemampuan membela diri.

Istri saya kemudian mem-browsing sendiri berita tentang penculikan anak ini. Dan benar saja tak satupun dia menemukan berita tentang sudah adanya anak yang diculik dan dipanen organ tubuhnya untuk dijual dengan harga yang tidak masuk akal.  Yang didapati oleh istri saya justru banyaknya link berita yang menginformasikan tentang sadisnya amuk massa terhadap orang – orang yang dicurigai sebagai penculik anak. Ya, ketakutan memang menghilangkan akal sehat.  Ketakutan bisa membuat manusia lebih sadis dari binatang yang paling sadis.

Mengetahui fakta ini, istri saya akhirnya menjadi tenang, tidak lagi khawatir berlebihan.

Dengan berbekal informasi yang baru dia dapatkan, istri saya kemudian menyampaikan pendapatnya di group WA wali murid sekolah anak saya. Tapi tidak seperti yang dia harapkan, apa yang dia sampaikan ternyata tidak diterima dengan baik oleh ibu yang menyebarkan berita tentang dua orang anak telah diculik di kompleks kami. Si Ibu menganggap apa yang disampaikan oleh istri saya, memojokkan dirinya.

“Biarpun misalnya itu hoax, tapi kan nggak ada salahnya kita waspada, daripada anak kita beneran diculik”, katanya. Ibu itu sama sekali tidak peduli bahwa “kewaspadaan” itu telah banyak memakan korban nyawa dari orang yang tidak tahu apa-apa.

Siangnya, kami makan di sebuah Restoran Padang di jalan Danau Tamblingan, Sanur. Lembaran koran Jawa Pos tergeletak di atas meja. Saat sedang menyuap nasi, mata saya tertumbuk pada sebuah artikel yang di koran milik Dahlan Iskan yang terbit di Surabaya ini, beritanya masih tentang isu penculikan anak. Di situ diberitakan, seorang Paman, babak belur hampir mati dihajar massa karena keponakan yang digendongnya ke pasar, menangis di tengah keramaian. Orang mengira sang paman yang malang adalah seorang penculik anak, karena si keponakan sama sekali tidak mirip dengan dirinya. Ketika saya baca beritanya sampai habis, ternyata kejadian yang diberitakan ini terjadi di Gayo, kampung halaman saya sendiri.

Membaca berita itu, istri saya kembali ketakutan. Tapi kali ini dengan alasan sebaliknya.

Keempat anak kami yang sering dia ajak belanja ke pasar, semuanya mirip saya, tak ada satupun yang mirip dirinya.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.