Phuket dan Potensi Wisata Gayo (Bag II)

oleh
Pantai Phatong

Oleh : Win Wan Nur

Ten, Guide Kami

Kami di Phuket

Sebelum turun ke Phuket, ada berbagai jenis tur yang ditawarkan oleh  manajemen kapal kepada para penumpang, di antaranya tur snorkeling ke Kho Phi Phi (Pulau Phi phi) yang merupakan pulau tempat syuting film “The Beach” yang dibintangi oleh Leonardo di Caprio  dan juga ke pulau James Bond (pulau yang pernah muncul di film James Bond).  Selain itu ada juga tur untuk kunjungan budaya dan alam di daratan pulau Phuket.

Karena kami tinggal di Bali dan sudah biasa dengan pantai dan snorkeling, kami tidak begitu tertarik dengan tur ke pulau-pulau kecil itu, kami lebih memilih untuk mengikuti tur di daratan pulau Phuket.

Dengan ukurannya yang raksasa, Kapal “Mariner of The Seas” tidak bisa merapat ke pantai. Kapal melepas jangkar di tengah laut. Dari tempat ini, kami para penumpang kapal dijemput oleh kapal-kapal kecil yang mampu memuat sekitar seratusan orang sekali jalan dengan menempuh perjalanan laut sekitar 15 menit untuk mencapai pantai Pathong yang terkenal itu. Tak ada pemeriksaan imigrasi di sana, karena semua sudah dilakukan di kapal dan semua penumpang sudah membuat aplikasi visa ketika masih di Singapura. Turunpun kami tidak membawa paspor yang ditinggalkan di kapal.

Tiba di pantai, saya tidak merasa seperti  berada di negeri asing. Suasana pantai, pertokoan dan keramaian di sekitarnya rasanya begitu familiar.

Pantai Pathong tidak lebih menarik dibandingkan Lampuuk dan Lhoknga, hingar-bingar suasana objek wisata pantai di Pathong,  jauh kurang glamor dibandingkan Kuta. Di pantai ini seperti umumnya pantai wisata, ada banyak turis berjemur dan di sana ada banyak yang menjajakan aktivitas olah raga air, seperti Jet Ski dan Parasailing. Tapi aktivitas tersebut tidak seramai di Tanjung Benoa yang letaknya cuma 1,5 kilometer dari rumah saya. Secara umum, bagi kita yang sudah biasa berkunjung ke pantai-pantai di Aceh, Banyuwangi, Bali atau Lombok. Pantai Pathong sama sekali tidak istimewa. Mungkin satu-satunya hal yang membuatnya menarik adalah tulisan-tulisan penunjuk jalan yang ditulis menggunakan huruf Thai yang membuat kita merasa, kita memang bukan sedang berada di Indonesia.

Berbeda dengan Bali yang memiliki aturan yang melarang siapapun untuk mendirikan bangunan yang lebih tinggi dari pohon kelapa. Di Phuket larangan itu tidak ada, sehingga di pantainya terdapat beberapa hotel yang tinggi menjulang yang agak mengganggu pemandangan.

Tapi yang menarik dari Phuket yang kontur alamnya berbukit-bukit seperti  Sabang, di sini tak ada bangunan di perbukitan. Pemerintah di sini mengeluarkan larangan untuk mendirikan bangunan di tanah yang terletak sekian ratus meter dari permukaan laut, kecuali yang dibangun adalah bangunan terkait agama. Kebijakan ini membuat pulau Phuket yang sebenarnya gersang tampak hijau.

Melihat keadaan alam Phuket, larangan ini sangat bisa dimaklumi. Karena kalau bukit-bukit hijau ini habis ditebangi jadi pemukiman. Bisa dipastikan, Phuket akan dilanda banjir bandang setiap musim hujan. Kalau larangan ini tidak ada, tidak diragukan, dalam waktu tidak berapa lama, hutan ala kadarnya di perbukitan ini akan habis tandas berubah menjadi pemukiman. Sebab sebagaimana Bali, Phuket juga sangat diminati oleh warga asing sebagai tempat tinggal. Sebagaimana yang terjadi di tempat-tempat indah di dunia, mulai dari Perancis selatan sampai Bali, orang asing berduit dari seluruh dunia, sama sekali tidak keberatan untuk membayar harga yang tidak masuk akal untuk sepetak tanah yang akan dijadikan sebagai tempat buat membangun rumah yang memiliki pemandangan alam menawan.

Tiba di pantai, kami disambut oleh guide yang akan membawa kami berkeliling pulau ini menunjukkan keindahannya. Guide yang menyambut kami, seorang laki-laki berusia sekitar pertengahan 40-an, memiliki nama khas Thailand yang sangat sulit diingat, tapi sebagaimana khasnya orang Thai dia punya nama panggilan.  Namanya Ten, orang Thailand asli yang beragama Islam.

Awalnya, saya, istri dan Mattane Lao anak tertua saya berbicara dengan Ten menggunakan bahasa Inggris. Bahasa Inggrisnya cukup bagus, tidak seperti bahasa Inggris orang-orang Thai yang dulu saya kenal di Bangkok, Chiang Mai dan Chiang Rai. Tapi setelah tahu kalau kami berasal dari Indonesia, Ten mengaku kalau dia juga bisa berbahasa Indonesia. Pas sekali, karena si kembar tidak bisa berbahasa Inggris. Selanjutnya sepanjang perjalanan, Ten melayani kami dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Ditemani seorang sopir, Ten membawa kami berkeliling di Phuket dengan menggunakan mobil Toyota Hi Ace yang bagian dalamnya sudah dimodifikasi menjadi lebih mewah.  Tujuan pertama kami adalah restoran untuk makan siang yang berjarak setengah jam perjalanan dari Pathong.

Pantai Phatong

Sepanjang perjalanan menuju restoran, Ten bercerita kepada kami kalau warga Phuket hidup nyaris sepenuhnya dari pariwisata. Karena itulah ketika pada tahun 2004 Phuket dilanda tsunami dengan tingkat kerusakan cukup parah, pemerintah Thailand langsung  bertindak cepat membangun Phuket kembali. Proses pembangunan itu dari awal sampai selesai hanya membutuhkan waktu 7 bulan saja.

Parahnya Phuket dihantam tsunami bisa dimaklumi, karena kalau kita lihat di peta, letak Phuket sejajar dengan Banda Aceh, kota yang mengalami kerusakan paling parah terkena hantaman tsunami. Jarak Phuket – Banda Aceh, kira-kira sama dengan jarak Banda Aceh – Langsa.

Kepada kami Ten berpromosi kalau Phuket sangat aman, di sini sama sekali tidak ada pencopet dan garong. Turis seperti kami katanya, diperlakukan layaknya raja, sebab kalau sampai Phuket punya nama jelek, turis tidak datang, apa yang bisa mereka jadikan sebagai sandaran untuk mendapatkan penghasilan. Nama jelek Phuket berarti kiamat bagi penduduk pulau ini. Keadaan ini mengingatkan saya pada Bali.

Sepanjang jalan Ten bercerita kalau Pulau Phuket ditemukan oleh orang Melayu dari Malaysia. Pulau ini aslinya bernama Buket, karena pulau ini memang berbukit-bukit. Tapi karena orang Thailand yang merasa sebagai satu-satunya bangsa yang tak pernah dijajah di Asia Tenggara tidak mau bahasanya dijajah oleh bahasa Melayu, nama Buket ini mereka ganti dengan  “Phuket” yang berarti air yang sebening kristal.

Melihat banyaknya mobil-mobil seperti Toyota Fortuner atau Pajero Sport yang di Indonesia tergolong mewah tapi malah dijadikan taksi, saya lalu bertanya pada Ten, tentang harga mobil di sini. Ternyata dibandingkan di Indonesia harga mobil di Thailand terbilang murah. Menurut Ten, itu karena mobil-mobil itu memang diproduksi di negeri mereka.

Sebagai gambaran harga mobil di Thailand. Contohnya mobil Toyota Hi Ace yang kami tumpangi. Di Thailand, setelah dimodifikasi dan ditambahi berbagai fasilitas harganya hanya 900.000 Baht (315 juta kalau dirupiahkan), ini harga yang sama dengan Toyota Fortuner terbaru. Harga ini separuh harga di Indonesia.  Masalahnya, meski harga mobil di Thailand terbilang murah, harga BBM di Thailand, tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan di Indonesia.

Ketika saya menyinggung tentang final Piala AFF, Ten mengakui kehebatan timnas Indonesia. Menurutnya meski di rangking FIFA, Filipina merupakan negara Asia Tenggara yang memiliki rangking FIFA tertinggi. Tapi di Asia Tenggara ini Indonesia dan Vietnam sebenarnya jauh lebih bagus daripada Filipina, cuma nomer satu tentu saja Thailand yang menurutnya sebenarnya saat ini sudah mulai malas berkompetisi dengan negara Asia Tenggara lain yang mereka pandang levelnya sudah jauh di bawah mereka. Menurut Ten, saat ini Thailand lebih tertarik bersaing dengan negara-negara kuat asia seperti Korea, Australia dan negara-negara Arab.

Selain sepakbola, menurut guide kami ini, warga Thailand sangat tertarik mengikuti perkembangan sosial dan politik di Indonesia, selain juga Malaysia dan Singapura. Alasannya, pasang surut politik dan ekonomi di tiga negara ini sangat mempengaruhi perekonomian Thailand juga dan Phuket tentu saja, sebab menurut Ten ada cukup banyak turis Indonesia yang berkunjung ke Phuket, karena alasan itulah ketika dia masih kuliah di Universitas Mahidol di Bangkok, di sela-sela kuliahnya dia mengambil kursus Bahasa Indonesia.

Ten juga mengaku, sebagaimana banyak warga Thailand mengaku iri dengan demokrasi dan kebebasan berpendapat di Indonesia karena demokrasi di negeri mereka menurutnya bermasalah karena perdana menteri yang didapat dari proses Pemilu selalu korupsi, karena itulah mereka lebih menyukai pemerintahan militer seperti sekarang ini. Menurut Ten, pemerintahan militer lebih serius memerang korupsi.

Apa yang dikatakan Ten tentang Indonesia, sepertinya memang bukan isapan jempol saja. Terbukti dari fasihnya Ten membahas tentang segala perkembangan politik di Indonesia, mulai dari presiden Jokowi sampai dengan Pilkada Jakarta.

Bahkan menurut Ten, dia sudah suka bahasa Indonesia sejak kecil. Rasa sukanya pada bahasa Indonesia dimulai dari kesukaannya mendengarkan lagu “Madu dan Racun” nya Ari Bowo dan “Si Jantung Hati” yang dinyanyikan oleh Ade Putra. Ten bahkan tahu kalau Ari Bowo sudah berpulang beberapa waktu yang lalu.  Ketika saya tanyakan darimana dia mendapatkan semua pengetahuannya tentang Indonesia kontemporer, Ten menjawab kalau dia berlangganan TV berbayar yang ada saluran Trans TV. Pantas saja dia seringkali memanggil saya dengan bahasa gaul “Bro”.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.