Bagian Kedua
“Keiblisan Bahasa Studi Eksoterisme Gayologi”
(Joni MN)
Pendahuluan

KITA tidak tahu kapan kita bisa keluar dari situasi yang mencekam saat ini. Krisis relasi sosial yang secara langsung atau tidak sudah menciderai kerukunan dan prinsip hidup antar umat berbagai agama dan etnis. Hal tersebut sudah dirusak oleh keiblisan berbahasa yang cenderung lepas dari kefitrahan manusia dan yang telah merusak akal baik sipenuturnya sebagaimana yang kita alami akhir-akhir ini. Keresahan umat saat ini para cendikiawan agama sedang dihadapkan pada tantangan yang sebagian besar bukan diranah mereka. Masyarakat kita telah ternodai dalam kehidupan yang diliputi oleh suasana saling curiga dan saling menjatuhkan satu sama lain. Faktor tersebut dipicu oleh ketidak pedulian terhadap eksistensial hakikat manusia yang diwujudkan dengan bahasa dan nilai-nilai sosial kemanusiaan, yang mana mereka hanya terfokus aspek esoterisme yang lepas dari aspek eksoterisme kemanusiannya.
Mempelajari bahasa tujuannya adalah untuk digunakan, bahasa yang digunakan tidak bisa menapikan aspek eksoterisme kebahasaannya guna menjaga eksistensial pelakunya. Bahasa yang baik datang dan timbul dari si hati yang baik (orang yang baik). Bahasa yang kasar, keras dan kotor itu pertanda hati yang kotor. Kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi akan menimbulkan kesan dalam hidup berumah tangga, berteman, bermasyarakat, dan bernegara. Dengan bahasa yang baik dan intonasi lunak dan diiringi dengan prilaku (sikap) yang sopan kemudian tuturan yang santun intinya tindakan yang beradab akan dapat menciptakan keharmonian, kasih sayang, dan kedamaian kepada masing-masing pelakunya.
Pemilihan kata-kata yang kasar dan intonasi yang keras akan ditolak secara terang-terangan atau secara diam-diam oleh mitra tutur (audiences) walaupun isi dari pesan yang dikomunikasikan tentang kebenaran dan kebaikan. Berbicara semaunya tampa mempertimbangkan perasaan dan harga diri si pendengar (mitra tutur) akan menggagalkan pesan yang disampaikan dan membuat kondisi kumuh serta situasi menjadi gersang.
Bahasa yang hanya terfokus pada keteraturan dari sintaksisnya saja dan menisbikan konteks eksternal kebahasaannya dapat berdampak tidak santun, yang lebih penting dalam berbahasa adalah mempertimbangkan perasaan dan selalu menjaga harga diri mitranya. Hal ini sering terabaikan oleh penutur walaupun mereka sudah memiliki jenjang pendidikan tertinggi. Tindakan menjaga perasaan dan menjaga harga diri peserta tutur dalam berkomunikasi merupakan tindakan eksternal kebahasaan yang melibatkan kaidah-kaidah dan prinsip dari studi agama, etika, moral, dan kefitrahan manusia.
Menggunakan bahasa dengan tidak memperdulikan perasaan dan tidak melindungi harga diri si penerima (mitra tutur) adalah suatu bentuk bahasa yang buruk (keibilisan berbahasa), tetapi sebaliknya bahasa yang mengutamakan/ yang memprioritaskan harga diri dan perasaan mitra tuturnya adalah bentuk penggunaan bahasa yang baik (keberadaban berbahasa). Struktur bahasa yang benar tidak menjamin kebaikan atas tuturnya jika tidak diiringi dengan aspek-aspek dan kaedah-kaedah yang diluar dunia kebahasaan (konteks eksternal kebahasaan). Faktor-faktor ini adalah penentu strategi bertutur, yakni menentukan bagaimana si penutur itu menggunakan bahasa dengan mitra tutur mereka dengan baik.
Kodrati Manusia dalam Berbahasa
Bahasa yang digunakan tidak terlepas dari kondisi kewajarannya, yakni apa, siapa kepada siapa, bagaimana, kapan dan dimana bahasa tersebut digunakan. Sebelum penutur menggunakan bahasa dalam komunikasi, ada baiknya penutur (pengguna bahasa) mempertimbangkan; (1) kemungkinan dari tindakan bahasa yang digunakan, (2) kemampuan mitra tutur dalam memahami tuturannya, (3) ketulusan penutur dalam bertindak tutur, (4) keyakinan penutur terhadap mitra tutur bahwa bahasa yang digunakannya tidak merusak citra dan harga diri mitra tuturnya (Joni, November 2016). Alasan dari perealisasian teori tersebut ditilik berdasarkan kefitrahan manusia, bahwa semua mahluk yang ada di atas bumi ini menginginkan untuk diperlakukan dengan baik. Kodrati semua mansuia adalah ingin dihargai atau diperlakukan dengan hormat yang caranya sesuai dengan streotipe yang mereka miliki dan yakini masing-masing, apa pun agama dan etnisnya.
Eksoterisme Berbahasa Studi Gayologi
Bahasa yang difungsikan memiliki 4 tradisi atau kecendrungan, yakni (1) kecendrungan filsafat, (2) kecendrungan antisintaksis, (3) kecendrungan sosial kritis, dan (4) kecendrungan etnometodelogi (Mey, 2009). Untuk hal tersebut pengggunaan bahasa dalam komunikasi harus melibatkan aspek-aspek eksternal bahasa, yakni nilai-nilai; (1) dogmatis, (2) ritual, (3) etika, dan moral suatu agama. Bahasa tidak sanggup berdiri sendiri tampa berintegrasi dengan prinsip-prinsip eksternal kebahasaan itu sendiri. Bahasa yang baik adalah bahasa yang dapat membangun dan menjaga hubungan antara penutur dan mitra tuturnya yang damai, nyaman, dan tidak saling membenci prinsip berbahasa masyarakat Gayo “cerak bebulang peri bepingang” maksudnya adalah berbicara harus halus, beradab, sopan dan santun tidak boleh blak-blakan sehingga dapat merusak citra dan harga diri orang lain. Bahasa yang benar adalah bahasa yang teratur, rapi, dalam studi kegayo-an disebut dengan“tertip bermajelis umet bermulie” atau rapi, teratur dan tidak sedang bermain peran (tidak diada-ada) tegasnya adalah berbicara tidak berbohong dan tidak menjilat, tindakan semacam ini akan menciptakan kemulian bagi si peserta tutur. Bahasa yang tulus tidaklah harus terang-terangan atau blak-blakan, tetapi bahasa yang mampu menjaga kebersihan hati, yakni tidak merusak hubungan antar sesama.
Bahasa yang blak-blakan akan berdampak merusak perasaan mitra tutur dan harga diri si penutur juga mitra tuturnya. Bahasa yang tulus adalah jenis bahasa yang tidak dibuat-buat dengan tujuan menjilat. Tentu untuk mencapai kondisi berbahasa semacam ini harus didasari oleh kondisi hati yang baik, dalam budaya Gayo tindakan semacam ini masuk kedalam prinsip “berdelah paseh berate suci”, yakni memiliki lidah yang fasih (pesan yang jelas dan tidak menyakiti perasaan orang) dan bertutur kata yang tulus merupakan tindakan bertutur yang jauh dari keberpura-puraan (tidak bermain peran peran). Untuk merealisasikan prinsip-prinsip tersebut penutur dan mitra tutur harus memiliki dan memahami nilai utama dari prinsip tersebut, yakni prinsip “mukemel” (Melalatoa, 2007).
Nilai utama ini artinya ‘malu’ dan bermakna memiliki ‘harga diri’, maksudnya adalah malu jika tidak berbuat baik. Di sinilah keterkaitan eksoterisme berbahasa yang distudi melalui nilai-nilai budaya Gayo, yang mana nilai buidaya Gayo tidak terlepas dari konsef agama (Islam), hal ini dibuktikan dengan landasan prinsip budaya mereka, yakni “edet bersendiken saraq, saraq bersendiken kitabullah” maksudnya adat yang merupakan aturan-aturan dan petunjuk bagi masyarakatnya ditegakan oleh unsur-unsur kepemerintahan di tempat tersebut, yakni terdiri dari; (1. Reje [raja/ kepala kampung], 2. Imem [Imam], 3.Petue [yang ditokohkan/yang dituakan], dan 4. Rayat [rakyat]) tindakan mereka ini harus berlandaskan kitab Allah (Al-Qur’an). Inilah yang dimaksud dengan nilai-nilai eksoterisme kebahasaan yang harus dijaga.
Pembahasan
Bahasa yang dapat membangun dan menciptakan keharmonisasian, kedamaian, dan kenyaman para peserta tutur adalah bahasa yang selalu merealisasikan konsef-konsef budaya di mana bahasa tersebut digunakan (streotipe etnik). Setiap etnik memiliki konsef kebudayaan mereka masing-masing yang melekat dalam bahasa yang mereka gunakan dan bentuk bahasanya cendrung bergaya metaforis. Gaya berbahasa metaforis ini sangat efektif melindungi citra dan harga diri masing-masing peserta tutur, karena memiliki strategi tidak langsung dan teknik yang melekat dengan nilai dan norma budaya mereka. Penggunaan bahasa di dalam komunikasi tidak hanya cukup memperhatikan keajegkan tatanan tata bahasanya saja, tetapi yang sangat penting adalah bagaimana si penutur menggunakan bahasa tersebut dan kepada siapa serta di mana bahasa terebut digunakan. Bahasa yang baik adalah bahasa yang selalu mempertimabngkan nilai-nilai diri manusianya melalui nilai atas keyakinan-keyakinan yang mereka miliki dan realisasikan dalam kebiasaan sehari-hari.
Bahasa yang baik adalah bahasa yang“tertip”, yakni bahasa yang dapat menunjang nilai utama manusia “mukemel” atau harga diri yang melahirkan kerja sama yang baik. Kerjasama yang baik akan menciptakan keharmonisasian bagi masing-masing peserta tutur dan akan selalu dapat menjaga harga diri mereka masing-masing. Penggunaan bahasa yang bersifat menjatuhkan harga diri atau merusak muka orang lain atau mitra tutur adalah bentuk bahasa yang bersifat ‘egoisme’ penutur dan bentuk bahasa semacam ini adalah masuk kedalam kategori ‘keiblisan bahasa’, yang mana penutur hanya ingin dia saja yang didengarkan, diperhatikan dan diikuti, bahasa ini adalah jenis bahasa yang buruk.
Kebiasaan-kebiasaan berbahasa yang bernilai buruk, seperti merusak hubungan sesama, merugikan orang lain, merendahkan pendapat orang (tidak mengindahkan pendapat), menang sendiri, tidak menghargai hasil kerja orang lain, menyakiti hati orang, dan lain sebagainya adalah suatu tindakan yang sangat disenangi oleh iblis. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan ketika berbahasa atau menggunakan bahasa dalam berinteraksi baik dengan anggota keluarga, teman, anggota masyarakat, siswa/mahasiswa, dan lainnya, maka harus melibatkan aspek-aspek yang diluar dunia kebahasaan itu sendiri agar komunikasi dan pesan yang disampaikan berjalan dengan sukses.
Simpulan
Bahasa yang baik dan benar adalah bahasa yang digunakan dengan tidak menisbikan aspek-aspek dan prinsip-prinsip eksternal kebahasaan tersebut. Nilai-nilai dan norma suatu budaya merupakan petunjuk, aturan-aturan dan tatacara bagaimana penutur menggunakan bahasa dengan baik dan benar. Penggunaan bahasa tidak hanya terfokus pada perlindungan diri sendiri (si penutur) saja, tetapi tindakan berbahasa ini harus berlaku balans (seimbang), yakni harus dapat menjaga harga diri semua peserta tuturnya. Internalisasi nilai-nilai adat, agama, etika, moral, dan ritual ke dalam tindakan berbahasa merupakan faktor penentu baik tidaknya prilaku sipenutur. Intinya adalah jika si penutur mampu melindungi citra dan harga diri mitranya, maka si penutur juga akan dapat dihargai oleh mitra tutur mereka.
Hargailah orang lain (mitra tutur) jika ingin dihargai, hormati orang lain (mitra tutur) jika ingin dihormati, besarkan orang lain (mitra tutur) jika ingin dibesarkan, dan sayangi orang lain (mitra tutur) jika ingin disayangi dan seterusnya. Tindakan semacam ini tentu tindakan yang selalu dibenci oleh iblis atau pun setan yang mana mereka selalu menginginkan manusia itu dalam keadaan sesat, celaka dan saling membenci antar satu sama lain. Intinya bahasa yang mengandung kebencian dan bersifat merusak umumnya terlahir dari si pentur yang hatinya sudah dikuasai oleh iblis, yang memiliki hati yang kotor dan sakit atau berkemungkinan hatinya sudah mati. Bahasa yang dituturkan oleh orang sejenis ini adalah bentuk bahasa yang sudah terlepas dari eksoterisme kebahasaan.
================================
“Remalan Bertungket Peri Berabun”
(Berbicara yang beradab, yakni sopan dan santun)
===========================
Baca juga : Suatu Kajian Filsafat Manusia dan Pendidikan (Bagian 1)