Catatan: Muhammad Syukri

Sejumlah truk berisi ribuan batang tebu setiap hari melintasi ruas jalan Takengon-Bireuen. Truk-truk itu berangkat sore, ada juga malam hari. Bila diikuti sampai ke Simpang Empat Bireuen, ada truk yang berbelok ke arah Banda Aceh dan ada pula ke arah Medan. Kemana gerangan tujuan truk-truk tersebut, dan siapa yang akan mengolah bahan baku brown sugar (gula merah) itu?
Berbagai pertanyaan pasti menyeruak dari benak orang-orang yang pernah melihat deru truk pengangkut tebu tersebut. Seperti pertanyaan yang muncul dibenak saya, apakah disepanjang ruas jalan negara itu sudah berdiri usaha pengolahan brown sugar? Setahu saya, salah satu pusat pengolahan brown sugar berada di Blang Mancung Kecamatan Ketol, Aceh Tengah.
Bila demikian halnya, siapa sesungguhnya pemanfaat batangan tebu tersebut? Saat mengemudi dalam perjalanan ke Banda Aceh, Selasa malam [6/9/2016] lalu, saya melihat truk pembawa tebu itu berhenti di depan bedeng beratap rumbia, sekitar 5 Km menjelang Seulimum Aceh Besar.
Penasaran, saya hentikan mobil sekitar 500 meter didepan truk tersebut. Lewat kaca spion, saya mengamati aktifitas mereka. Sesaat kemudian, terlihat kernek dan sopir turun secara bersamaan dari kokpit truk. Si sopir naik ke atas bak, sementara si kernek menunggu dibelakang truk.
Si sopir menurunkan seikat tebu dari bak truk, lalu si kernek memanggul tebu itu ke dalam bedeng beratap rumbia. Disana, si kernek berbicara dengan si pemilik bedeng. Entah apa yang mereka bincangkan, pastinya si kernek mengambil dua ikat tebu lagi. Setelah itu, si kernek memanggul empat ikat tebu ke bedeng lain diseberang jalan.
Sejak itu, saya mulai memahami ujung bisnis tebu-tebu Blang Mancung. Ternyata, tanaman penghasil gula itu digunakan sebagai bahan baku minuman air tebu. Namun, masih ada pertanyaan yang mengganjal benak saya. Kenapa para penjual air tebu di kaki Seulawah ini memilih bahan baku tebu Blang Mancung? Seingat saya, bahu gunung dekat Saree banyak ditanami tebu? Pertanyaan berikutnya, berapa harga sebatang tebu yang harus dibayar oleh para pemilik bedeng tersebut?
Itulah dua pertanyaan yang terus mengganjal benak saya saat mengemudi mobil dari Seulimum ke Banda Aceh. Kapankah jawabannya akan diperoleh? Saya benar-benar dibuat penasaran selama berada di Banda Aceh. Saya harus temukan jawabannya. Dan, dalam perjalanan pulang ke Takengon, Jumat lalu, saya mampir ke sebuah bedeng tempat tebu-tebu Blang Mancung diturunkan pada Selasa malam yang lalu.
Sambil menikmati air kelapa muda, saya beranikan diri berbincang-bincang dengan si pemilik bedeng. Dia seorang perempuan paruh baya, namanya Neti, penduduk Lampisang Aceh Besar. Dari ceritanya, dia pernah bekerja sebagai kasir pada sebuah cafe di Banda Aceh. Gajinya sebagai kasir lumayan besar, Rp 2 juta per bulan. Setiap hari dia berkutat dengan angka-angka, akhirnya jenuh. Kemudian, perempuan itu memutuskan hubungan kerja, lalu membuka usaha warung air tebu dan kelapa muda di pinggir jalan negara Banda Aceh-Medan.
Memadaikah penghasilannya? Tentu, rata-rata omset warung air tebu yang dikelolanya mencapai Rp 300 ribu per hari. Dari omset sebesar itu, dia meraup pendapatan bersih sekitar Rp 100 ribu sehari. Pada hari raya idul fitri lalu, omsetnya mencapai Rp 1,5 juta sehari. Wah, usahanya “makin manis” berkat air tebu Blang Mancung.
Saya coba telisik asal pasokan tebu-tebu itu. “Dari Takengon,” kata Neti blak-blakan. Sanggah saya, “di Aceh Besar banyak tanaman tebu, kenapa harus dipasok dari Takengon?” Menurut Neti, tebu Aceh Besar terlalu manis lagi pula air perasannya berwarna merah kehitam-hitaman. Orang yang mampir ke warungnya kurang suka air tebu yang terlalu manis, apalagi warnanya kurang menarik. “Seolah-olah air tebu itu sudah lama,” ungkap Neti.
“Air tebu dari Takengon berwarna hijau, itu warna yang disukai orang,” tambah Neti.
Berapa harga sebatang tebu yang harus dibayar Neti? Murah, kata perempuan itu, berkilah. Meskipun akhirnya dia mengakui bahwa harga tebu Blang Mancung adalah Rp 2.800 per batang. Satu ikat itu sebanyak 10 batang, harganya Rp 28 ribu.
Kapan harga tebu tersebut dibayar? Menurut Neti, sore nanti ketika sopir truk pulang dari Banda Aceh. Mereka mampir ke warungnya dan bedeng-bedeng lain untuk menagih uang penjualan tebu. Sederhana bukan? Begitulah kisah minuman manis berwarna hijau yang kini makin diminati para musafir. Itulah air perasan tebu Blang Mancung.