[Cerpen] Sehelai Rambut

oleh

Oleh: Muhammad Syukri

Ingin kutitip resah gelisah kepada burung pipit yang menemaniku menyongsong sore.

Matahari sudah condong ke barat, tetapi sinarnya masih tetap terik. Kumandang azan ashar belum terdengar meskipun waktu semakin sore. Angin barat menghempas permukaan air, gelombang datang silih berganti. Perahu kami terombang ambing diterjang gelombang. Seandainya pelayaran dari Tanjung Pedemun lebih sore lagi, alamat kami akan berhadapan dengan gelombang ini, terutama sejak melintasi Teluk One-one.

Pelayaran dari Tanjung Pedemun menuju Kala Kebayakan sengaja tidak memintas jalur lurus, tetapi mengitari bukit di Ujung Baro, Lukup Penalam, terus ke hulu Sungai Pesangan. Metode ini untuk menghindari angin dan gelombang besar lantaran angin bertiup dari barat. Itulah pengalaman berlayar yang dipelajari Adi dari bapaknya.

Sejak melintasi hulu Sungai Pesangan, aku pun ikut memegang dayung. Laju perahu makin cepat karena dihela oleh dua tenaga manusia. Perahu melaju menyusuri tepi danau yang ditumbuhi tanaman pelu dan permukaan air dipenuhi oleh eceng gondok. Diujung sana sudah terlihat pohon dedap, tempat nelayan menambat perahu. Beberapa menit lagi perahu kami akan menepi di Kala Kebayakan.

Suasana pelabuhan pendaratan ikan di Kala Kebayakan lebih ramai dibandingkan hari-hari  lain. Selain nelayan yang pergi berlayar, para pemancing amatir ikut meramaikan tempat itu pada hari Minggu. Mereka umumnya pegawai dan anak sekolah. Mereka memanfaatkan waktu libur untuk memancing di Danau Laut Tawar.

Perahu kami masuk ke celah kosong diantara perahu nelayan yang sedang parkir. Posisinya tepat dibawah pohon dedap besar, kulitnya penuh duri. Aku melompat turun dari perahu, lalu menarik tambang yang terikat di ujung perahu. Kutarik tambang itu, dan kuikatkan pada paku 4 inci yang tertancap di batang pohon itu.

Adi turun dari perahu sambil memanggul galah bambu, disana tergantung jaring dari benang nilon. Tangan kanannya menenteng dua buah dayung yang terbuat dari kayu medang jempa. Dia kelihatan sedikit kesulitan memanggul dan menenteng dua benda sekaligus, untuk meringankan bebannya, kuraih sepasang dayung dari tangannya. Kemudian, kami pun pulang sambil berjalan beriringan menyelusuri bantaran sungai Wih Kul Kebayakan.

“Mampir dulu Win,” ajak Adi setiba di depan rumahnya.

“Sudah sore. Aku harus secepatnya tiba di rumah,” kilahku.

“Ngopi dulu kita,” tawar Adi sekali lagi sedikit memaksa.

“Terima kasih, badan ini capek kali,” aku menolak ajakan Adi dengan alasan kelelahan. Dia memaklumi, karena aku tidak pernah istirahat sejak berangkat dari Kala Kebayakan.

“Baiklah, hati-hati dijalan,” katanya.

“Terima kasih,” jawabku.

Aku pun berlalu dari depan rumah kayu berlantai dua itu, menapaki jalan tanah Kampung Jongok. Suasana sore itu cukup ramai, beberapa perempuan sedang bekutu –cari kutu, duduk berjejer ditangga depan rumah. Sementara anak-anak dan remaja berkerumun menonton teman-temannya bermain gencong dan lompat tali diatas badan jalan itu.

Menjelang tiba di titi kecil penghubung Kebayakan dengan perkuburan Blok, ada mersah Kampung Jongok. Aku mampir menunaikan shalat ashar. Beberapa  jamaah sedang keluar dari  salah satu mushala tertua disana. Rupanya, mereka baru selesai menyelenggarakan shalat berjamaah.

Bapak selalu mengingatkanku, apabila waktu shalat tiba jangan ditunda-tunda. Apakah sedang berada diatas pematang sawah, di kebun, di perahu, di pinggir jalan, ibadah shalat harus tetap dilaksanakan. Kalau tidak ada air, boleh tayamum dengan debu disekitar kita. Itulah kemudahan beribadah, makanya tidak ada alasan tinggal shalat.

“Dari mana Win,” tanya Aman Sari sambil keluar dari mushala.

“Baru pulang mejik di Pedemun, Pakcik,” jawabku sambil berjalan disamping Aman Sari menuju ke ruas jalan utama.

Sore itu, ruas jalan Kebayakan – Paya Reje lebih ramai dari biasanya. Aku mengenal beberapa orang yang melintas disana, diantaranya Aman Sari, tetangga dekat rumah. Lelaki itu baru pulang dari Pasar Takengon membeli kebutuhan rumah tangga, sekarung barang dipanggulnya dibahu kiri.

“Jauh kali acara mejiknya,” komentar Aman Sari.

“Itulah Pakcik, tapi kesana naik perahu,” jelasku.

Dia mengangguk-angguk memaklumi apa yang kusampaikan. Beban dibahu Aman Sari cukup berat, langkahnya sedikit melambat. Padahal aku ingin cepat tiba di rumah. Energi tanda mata disakuku, penyebab tidak sabaran. Namun, serasa kurang beradat apabila orang setua Aman Sari kutinggalkan sendiri ditengah jalan.

Memasuki tikungan didepan perkuburan Blok, seorang lelaki paruh baya sedang beristirahat dibawah pohon beringin. Lelaki itu penduduk Paya Reje, tetapi aku kurang akrab dengannya. Aman Sari berhenti disana, berbincang-bincang dengan lelaki itu. Lalu dia istirahat dibawah pohon itu sambil menurunkan beban dari bahu kirinya.

“Cik, permisi, aku duluan,” mohonku.

“Baiklah, hati-hati di jalan,” kata Aman Sari.

Setengah berlari, kutinggalkan lelaki paruh baya itu dibawah pohon beringin. Seperti anak panah lepas dari busur, langkahku begitu ringan dan bergerak cepat. Berbeda jauh dengan tempo perjalanan subuh tadi, aku terengah-engah, selalu keteteran ditinggal langkah cepat perempuan berjangkat.

Riang gembira, itulah suasana hatiku, seperti orang menang lotere. Semua yang kulihat seperti tersenyum kepadaku. Bunga dahlia liar disepanjang jalan itu serasa “menyapaku,” dan terlihat sangat cantik dibadingkan tadi pagi. Ilalang dan sekelompok pipit menari-nari, serasa “mengiringi” perjalananku. Matahari begitu lama tenggelam, seolah-olah sengaja menungguku tiba dirumah. Langkahku bukan milikku, tetapi milik energi asmara yang berasal dari amplop kerusung pemberian gadis cantik bernama Rani.

“Bagaimana cerita mejiknya,” tanya ibu begitu aku menjejakkan kaki di pintu rumah.

“Seru,” jawabku singkat.

“Nanti cerita seru, sekarang mandi dulu supaya segar,” kata ibuku.

“Baik Ine,” jawabku sambil menuju ke pancuran, tempat pemandian keluarga.

Saat air pancuran mengguyur kepalaku, seakan jiwa terlompat dari raga. Sangat dingin, pori-poriku nyaris tak mampu menyerap air alami itu. Debu dan kerak garam penutup pori-pori terkelupas, lalu dihanyutkan oleh air pancuran yang bercampur busa-busa sabun. Aroma bunga dari sabun cap rose, masih tersisa dilubang pori-pori ketika sedang kukenakan pakaian bersetrika.

Ditemani semangkok kopi kertop panas, aku duduk diatas bangku kayu, dibawah bougenville merah. Kemilau kuning dari hamparan bulir padi bernas, kuharap akan menjadi penawar kegalauan hati. Ingin rasanya kutitip resah gelora hati ini  kepada burung pipit berkepala putih, dan menyampaikannya kepada Rani, gadis tercantik di Tanjung Pedemun.

“Pipit, katakan padanya, temani aku menyongsong sore di Buntul Dedecer,” gumamku kepada burung pipit yang menari-nari diantara langit kuning sore itu.

Gelora asmara dari Tanjung Pedemun bakal tak kunjung sirna, “siaran ulang” senyum manis dari bibir bersampat itu, datang silih berganti bersama binar mata gadis cantik itu. Memori dibenakku terlanjur merekam tahi lalat diatas bibir kiri Rani, ingin kuhapus, tetapi alam bawah sadarku terus mereplay. Seakan matahari sore dibalik bukit sana, tiba-tiba menjelma menjadi bola mata Rani, penuh energi asmara.

Kucoba menghalau energi asmara dengan seteguk kopi kertop, sesaat terlupakan tetapi efeknya semu. Memori terindah bersama gadis cantik itu muncul kembali dari sisi yang lain. Seperti inikah derita jatuh cinta? Bukankah cinta memberi rasa bahagia, lalu kenapa gelisah yang kurasa? Detik-detik ketika konsentrasi makin terpecah, timbul pertanyaan: haruskah tanda mata itu urung kubuka?

Rasa gelisah itu bermuasal dari “energi asmara” tanda mata itu. Hal itu sangat kusadari. Hatiku mengatakan, bukalah supaya terang benderang, apa isinya. Dari saku celana, kuambil benda persegi empat berbentuk amplop. Masih kuingat kata-kata Rani: “ini tanda mata.” Tetapi, kenapa energi asmaranya begitu kuat, apa gerangan misteri dalam amplop daun kerusung ini?

Kerusung, daun pisang kering yang dianggap limbah di ladang pisang. Sampah yang harus dibuang agar kebun pisang tidak bersemak. Berbeda dengan amplop daun kerusung,  benda ini memiliki “energi” sangat kuat, sebuah tanda mata dari seorang gadis tercantik yang pernah kukenal, bagaikan “bidadari” penghuni Tanjung Pedemun.

Tidak serta merta tanda mata itu dapat dibuka, lantaran ada seutas tali dari serat pelepah pisang yang menyegel amplop kerusung itu. Tali itu didesain dengan motif kupu-kupu. “Sebuah maha karya seni,” bisik hatiku. Tiba-tiba muncul rasa bimbang, membuka amplop itu atau tidak. Hatiku berperang, dan ada sebuah bisikan: “kamu ingin menghargai karya seni, atau ingin mengobati rasa gelisah.”  Hidup memang untuk memilih, maka kutarik ujung tali ikatan itu.  Motif kupu-kupu kembali ke aslinya, seutas tali serat pelepah pisang.

“Rani, maafkan aku yang sudah merusak karya seni ini,” gumamkui. Seandainya, gadis cantik itu memintaku untuk mendesain ulang motif kupu-kupu tersebut, aku pasti menyerah dan angkat tangan. Desain itu hanya bisa dikerjakan oleh seniman bertalenta tinggi yang mampu mengubah limbah menjadi benda seni. Begitulah bentuk produk seniman kreatif, halus dan apik, karena dikerjakan dengan penuh cinta, ketelitian dan kesabaran.

Desain bermotif kupu-kupu sudah rusak, amplop itu sudah bisa dibuka. Tetapi, kenapa detak jantungku makin cepat? Gendang telingaku tiba-tiba bisa mendengar bunyi denyut nadi, ada apa? Malah, aku makin gelisah, dingin dan menggigil ketika sinar matahari masih menghantar rasa hangat. Kenapa sore ini aku “takluk” didepan amplop kerusung?

“Bukalah,” perintah suara hatiku berulang-ulang.

“Baiklah,” gumamku sambil membuka helai demi helai, dan akhirnya kutemukan sehelai gulungan rambut berwarna hitam pekat disana. Rambut itu tergelung dalam format huruf O. Dari rambut itu menebar aroma jeruk purut, dan rongga hidungku memastikannya sebagai rambut Rani.

“Ini rambut Rani,” dipertegas kembali oleh suara hatiku.

Bagiku, rambut ini bukan hanya sekedar tanda mata, tetapi sebuah tanda fisik, menyatakan gadis cantik itu selalu berada disisiku. Aku yakin, Rani pun pasti berharap seperti itu, agar aku tidak pernah melupakannya. Makanya nilai sehelai  rambut ini tanpa tara, tidak dapat disetarakan dengan benda lain. Apalagi rambut itu sangat bersejarah, bagian dari rambut beraroma jeruk purut yang pernah menutupi wajahku.

Jeruk purut, bahan keramas rambut seorang perempuan, sering dicampur dengan kembang setaman. Orang sering menyebutnya dengan mandi kembang, meskipun mengguyur kepala dan badan dengan campuran itu bukan ritual, lebih sebagai penghilang bau badan. Buktinya, rambut Rani tetap menebarkan aroma jeruk purut meskipun keringat mengucur deras dari kulit kepalanya.

“Apa sesungguhnya makna sehelai rambut ini?” tiba-tiba muncul pertanyaan itu dalam hatiku.

Adakah sehelai rambut ini murni sebagai tanda mata, atau bagian dari operasi black magic? Belum sempat kujawab pertanyaan itu, lantunan azan magrib sudah bergema dari Masjid Nurul Yaqin. Secepatnya kugulung rambut itu, kumasukkan kembali kedalam amplop kerusung. Kuikat amplop itu seadanya, lalu kusimpan kedalam saku celana. Aku bergegas menuju ke pancuran, berwudhu untuk menunaikan kewajiban sebagai penganut agama Islam.

“Aroma ayam sengeral ini bikin lapar,” komentarku melihat gulai ayam masak kari yang sudah terhidang di bale-bale. Aroma itu nyaris mengganggu konsentrasiku saat melaksanakan shalat magrib tadi.

“Khusus Ine buat untuk yang baru pulang mejik,” canda ibu.

“Berijin Ine,” jawabku mengucapkan terima kasih sebagai wujud penghargaan kepada ibu.

“Kata Win, mejik hari ini seru, ceritain ya,” pinta ibu berkelakar sambil meletakkan menu sayur pakis tumis di atas tikar. Disekitar rumahku, terutama di kaki Buntul Dedecer, banyak tumbuh tanaman pakis, itulah salah satu sumber sayuran bagi keluargaku. Kebetulan, ibu cukup ahli mengolah daun pakis menjadi sayur tumis, salah satu menu favoritku.

“Seru karena banyak orang datang,” jawabku singkat.

“Siapa saja,” kejar ibu.

“Ada beberu dan bebujang, juga keluarga Adi,” jelasku.

“Perempuan mujes, banyak nggak? Siapa aja orangnya?” giring ibuku.

“Paling banyak, mereka paling seru!” jawabku.

“Kenapa?” tanya ibu penasaran.

“Mereka bermulawi, nggak habis-habis meneriakkan ahoiii wiw,” kataku.

Ine juga dulu begitu, meneriakkan Ama dengan ahoiii wiw,” jelas ibu sambil melirik ke arah bapak.

Bapak hanya senyum-senyum, tidak merespon pancingan ibu. Dia mengisi piring kaleng dengan nasi, lalu dituangnya sayur pakis tumis. Disuapnya nasi dengan cukup lahap, sedangkan ibu terus memancingku dengan mengajukan sejumlah pertanyaan.

“Apakah Ine kenalan dengan Ama pada acara mejik?” tanyaku memancing.

“Iya, mejik itu sebenarnya acara muda-mudi,” jawab ibu.

“Memang meriah dan seru,” tambahku sambil mengambil piring.

“Siapa saja yang sudah Win kenal?” tanya ibu sambil membubuh nasi ke piring adikku Gufran.

Aku pura-pura tidak mendengar pertanyaan itu, kusibukkan diri dengan mengambil menu makan malam. Hatiku berharap, ibu tidak melanjutkan pertanyaannya. Dua pertanyaan lagi diajukan ibu, bukan mustahil akan “menjebakku.” Sosok gadis cantik berkebaya lembayung akan terkuak, termasuk  sehelai rambut hitam sebagai tanda mata dari Rani.

Ibu memang ahli menggiring pertanyaan, aku sering gagal menyimpan rahasia. Ibu lebih terbuka dan bicara ceplas-ceplos, dibandingkan bapak yang lebih pendiam. Aku jarang bercanda dengan bapak, paling-paling mengobrol tentang cara membersihkan gulma dan merawat tanaman.

Usai santap malam, buru-buru kusiapkan buku dan perlengkapan sekolah. Secepat gerakan ahli sulap, kuselipkan amplop kerusung dalam sampul buku pedagogi. Alasanku kepada ibu, aku ingin tidur lebih cepat, dan bisa bangun lebih pagi. Padahal, rasa kantukku belum datang, cuma khawatir akan pertanyaan ibu berikutnya.

Kurebahkan kepala diatas bantal kusam beralaskan tikar, lalu kutimpa tubuhku dengan selimut kain perca. Bara diatas songkoten masih menyala, dari sana terhantar udara hangat ke seluruh ruangan. Namun, mata ini sulit sekali dipejamkan, gelisah, pikiranku melayang-layang ke Tanjung Pedemun.

Udara dingin merambat pelan kedalam selimut, malam pun makin larut. Posisi tidur berulangkali kuganti, tak kunjung sampai ke alam mimpi. Wajah Rani dengan kebaya lembayung, terus hadir di kelopak mataku. Sesekali, bisikan “rambutmu harum” terngiang-ngiang kembali ditelingaku.

Di depan pondok seladang, gadis cantik itu sempat terpaku menatapku, matanya membelalak, kala kubisikkan “rambutmu harum.” Energi asmara bergelora dari dua bola mata hitamnya, voltase energi terpancar sangat kuat. Jangan-jangan dia menafsirkan bahwa aku meminta sehelai rambutnya. Bisikanku hanya teknik rayuan, kata lain dari “engkau rajin keramas.”

Aku makin gelisah, benarkah pujian itu ditafsirnya sebagai permintaan  sehelai rambut? Otakku berputar menganalisis berbagai kemungkinan, sementara kusimpulkan, rambut itu murni tanda mata. Teman-teman sekelas pernah bercerita, tanda mata dari seorang perempuan biasanya sehelai sapu tangan atau selendang. Kenapa Rani memberiku sehelai rambut, bukan selendang?

Aku sempat berprasangka, rambut itu bagian dari guna-guna atau operasi black magic. Seperti  jarum dan  benang,  benda itu memang sering dijadikan media untuk ritual mistik. Efeknya, target akan bingung dan galau. Sulit melupakan wajah si pemberi guna-guna, bahkan menuruti semua kemauannya, seperti kerbau dicucuk hidung.

Kondisiku persis seperti efek terkena guna-guna, bingung dan galau, lelah dan ngantuk, tetapi mata tak terpejam. Pikiranku terus tertuju kepada Rani, perasaan ini menggiringku untuk menatap mata itu. Ah..kutatap saja mata itu sepuasku,  matanya sangat teduh. Lagi pula, dia sangat cantik bagai bidadari, rugi apabila tidak menatapnya. Dan,  mataku langsung terpejam, mimpi berhasil mengantarku tertidur lelap sampai pagi.

“Win, bangun…bangun…bangun!” suara Ibu memanggilku.

“Bisa terlambat sekolah nih!” pekikku sambil melompat dari bale-bale.

“Nggak, masih eber-eber, ayo cepat bangun!” kata Ibu.

“Alhamdulillah….” kataku sambil menuju ke pancuran.

Aku merasa mata ini belum sedetik pun terpejam, badanku masih lelah, paha dan betisku pegal. Meski air pancuran itu sangat dingin, kupaksakan untuk mandi. Guyuran air pegunungan seperti membekukan seluruh otot dan persendian. Untungnya, pikiranku kembali fokus. Untuk sementara, aku dapat melupakan sweet memory Tanjung Pedemun. “Semoga seterusnya seperti ini,” gumamku.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.