Karya; Eni Penalamni
BIRU lebam di tubuh ku masih jelas bekas tali pinggang ayah yang memukulku semalam begitupun luka yang ada di pipi ku masih menyisakan cap tangan abang yang menampar. Ya, kekerasan selalu menjadi teman tidur sepanjang malam dan sahabat bergurau sepanjang siang. Ibu tak mengizinkan keluar walau hanya ke halaman saja, rambutku yang keluar dari jendela karena tiupan angin pun akan mengundang beribu cacian orang yang melihat. Apalagi kalau aku yang keluar rumah mungkin bukan hanya di caci bisa saja ada orang yang akan melempar tomat busuk tepat di kepalaku.
Begitupun Rio, dia juga terus diteror dengan memaksa memutuskanku dan menyudahi hubungan ini. Berkali kami mencoba untuk berpisah, namun kami tak lagi mampu untuk bisa bertahan. Air mataku mengalir menyesali mengapa aku terlanjur mencintainya, aku tak lagi bisa untuk berpisah darinya. Aku tak lagi diberikan fasilitas untuk bisa berkomunikasi dengannya, Rio pun mengalami hal yang sama. Hanya saja cinta yang menguatkan yang membuat kami mampu menghadapinya.
Keluargaku telah mencari seorang pria untuk menikahiku, aku tak bisa menerima sementara aku tak menginginkan yang lain hanya Rio yang ku mau. Begitu juga dengan Rio keluarganya telah mencarikan wanita untuknya, namun dia juga tak mau dia hanya ingin menikah denganku.
Saat hari laki-laki pilihan orang tuaku melamar hal konyol kulakukan aku meletakkan pisau di atas urat nadi, aku telah menggoreskan luka yang membuat darah tumpah. Namun aku juga tidak berani melakukan hal yang lebih bodoh dari ini aku hanya melakukan hal gila ini sebagai ancaman tidak bermaksud untuk melukai diriku sendiri, hanya saja kakakku mencoba mengambil pisau itu dari tangan. Namun aku terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba dari belakangku yang membuat pisau itu dengan bebas menyayat lengan. Aku ter jatuh pingsan dan untuk menghindari hal buruk lainnya aku pun segera di bawa ke RSU.
Berita yang tersebar di masyarakat bukan seperti fakta yang sebenarnya, semua memvonisku sebagai wanita gila yang ingin melakukan bunuh diri karena cinta. Alangkah sia-sia hidupku jika aku melakukan hal itu sendiri jika ingin kulakukan, aku ingin lari dengan Rio dan menenggelamkan diri di danau agar bisa mati bersama.
Berita ini juga sampai terdengar ke keluarga Rio, wajar saja hanya berjarak beberapa meter saja bahkan mungkin gema dari suara keras amarah ayahku akan terdengung ke rumahnya. Hari dimana aku keluar dari rumah sakit setelah dilakukan perundingan antara orang tuaku dan orang tuanya mereka sepakat merestui kami walau tak sedikitpun hati mereka ikhlas bukan karna ibu Rio yang tak menyukaiku bukan juga karna ayahku yang membenci Rio, caci maki orang di luar sana yang membuat kedua belah pihak sulit mengambil keputusan ini.
Hukum adat akan berlaku untuk kami, hari ini aku menyempurnakan iman dengan imam yang kudambakan. Setelah berbulan tak berjumpa ada rasa rindu yang tak bisa di jelaskan ada senyum bahagia yang melekat di bibir kami yang sempat menghilang terganti wajah murung karna tak sedikitpun ada peluang untuk kami bisa bertemu bahkan untuk mengintip mentari pun aku hanya bisa melihat cahaya dari jendela kamar.
Begitupun ketika merayu rembulan aku hanya bergurau pada malam melalui jendela. Hari dimana pernikahan ku dengannya adalah hari pertama aku menginjakkan kaki keluar dari rumah kulit ku pucat karna terkurung, setelah melangsungkan akad aku ingin kembali mengambil pakaian di kamar ku, namun ternyata adat telah berlaku untuk kami berdua. Parak, lima tahun kami tak di izinkan kembali ke kampung itu kami terusir dari kampung sendiri inilah resiko yang harus kami emban dari keputusan kami yang mengiginkan jalan seperti ini.
Tiga tahun kami terombang ambing tak tau arah tujuan terkadang makan hanya sekali sehari, itupun sepiring berdua. Bahkan hanya seorang sesuap nasi. Tak ada usaha yang bisa kami lakukan selain berkebun kopi, aku memiliki ijazah dia juga memiliki ijazah namun kenangan lalu memaksa kami untuk terpuruk mengingat betapa sakitnya terusir dari kampung sendiri.
Kami hanya pasrah dengan takdir Tuhan, Tuhan kami tidak melanggar syari’atMu aku dan dia tidak ada hubungan nasab sedikitpun. Tetapi haruskah sesulit ini hukumanMu Rabb. Aku sering berputus asa setiap aku merasa derita ini seperti tiada habisnya. Saat ini kami hanya menebus dosa kami yang membuat luka hati orangtua dengan mencoba mendekatkan diri pada Tuhan.
Ditahun kelima yang seharusnya kami telah bisa kembali ke kampung halaman, kami termenung andai saat ini kami telah memiliki rizki untuk memotong kerbau dan mengundang masyarakat makan di surau mungkin penderitaan kami akan berakhir. Hanya saja Tuhan berkata lain kami belum bisa kembali karena belum ada kerbau yang menjadi penebus kesalahan kami yang telah melanggar adat, kami memperpanjang jangka derita kami dengan terus berpatokan pada sepetak kebun kopi.
Di sebuah kedai kopi aku melihat sebuah koran yang menginformasikan test CPNS akan di buka aku mencatat semua yang perlu ku catat, sesampainya di rumah aku memberitahukan hal ini kepada Rio. Kami berdua berinisiatif untuk mengikuti test CPNS ini di kota tetangga. Saat hari test kami pergi dengan meminjam uang kepada salah seorang tetangga yang sudah menjadi saudara di kampung orang ini. Hasil kelulusan diumumkan juga melalui koran, ada namaku dan ada juga nama Rio, Tuhaan telah menyudahi derita ini.
Kami pun pindah ke kota tetangga untuk melaksanakan kewajiban sebagai PNS di kota orang, tak terlalu sulit untuk beradaptasi di tempat baru karna kami telah memiliki pengalaman hidup di kampung orang. Setelah rizki kami cukup, kerbau pun kami beli dan hukum adat yang menimpa kami tak lagi ada hanya hukum sosial yang takkan pernah usang dari ingatan.
Aku tak ingin ada lagi yang menjalani hidup seperti ini, cukup kami yang merasakan karna begitu sakit harus terusir dari kampung sendiri begitu pedih ketika rindu tak bisa bertemu. Kami takkan lagi kembali ke kampung itu karna rasa malu di masa lalu tak pernah bisa pudar. Cinta ini terhalang adat, biarlah cukup sampai kami yang kan melanggar adat, biarlah kami yang merasakan derita di Parak. Cukup kami. [SY]. TAMAT.
Eni Penalamni adalah nama yang diberikan ketika gadis manis ini di aqiqahkan pada bulan April 1996. Anak bungsu dari tiga bersaudara buah cinta dari Ine (ibu) Busyira dan Ama (ayah) Enam. Masa kanak hingga Sekolah Menengah Atas-nya ia lalui di bawah gugusan bukit dekat aliran sungai Pesangen, hilir Danau Lut Tawar. Dalam dunia kepenulisan Eni Penalamni mengaku dibimbing oleh seorang putra Gayo, serta terinspirasi dari karya-karya Terelie. Gadis yang bercita-cita menjadi penulis dan peneliti Islam ini sedang menimba ilmu di Fakultas MIPA Unsyiah Banda Aceh.