Satu Tambah Satu Sama Dengan Cinta

oleh
ilustrasi. (sumber google.com)

[Cerpen ] Satu Tambah Satu Sama Dengan Cinta
Eni Penalamni

Bulan akhiran ber-ber sudah menjadi bulan persiapan banyak ember. Musim penghujan sebab angin muson barat yang bergerak dari Benua Asia ke Benua Australia , demikian kata guru Geografi ku dulu. Sejak pagi tadi, mentari malu-malu menyapa bumi, dibalik kabut cerahnya tersembunyi. Sudah bersiap-siap memenuhi janji menemani Murabbi-ku mengabdi.

“Dek, hari ini apakah ada kegiatan?”, tanya beliau via gawai
“Belum ada kegiatan kak, ada apa kak?” tanyaku,
“Temani kakak ke Panti asuhan yuk?”
“Ayo Kak”
“Ba’da jum’at kita pergi ya. Kakak tunggu di depan kampus ya”

Bersiap-siap, mengenakan sunscreen, padahal tidak ada matahari. Tapi gelombang UV akan tetap sampai ke bumi bukan? Melewati lapisan atmosfer.

Aku menggumam, yah! Sudah rapi begini tapi hujan turun dan sepertinya setia bercanda pada semesta.

“Allahumma shayiban nafi’an, yaAllah aku rindu Adik-adik di panti. Semoga Engkau beri izin untuk bertemu mereka”, sepertinya daripada menggumam lebih baik mengarahkan hati untuk bersyukur .

Hujan berhenti, aku bergegas.
Alhamdulillah, Allah izinkan memerdekakan perjumpaan.

Ini kali ke sekian, kaki melangkah di sini. Sebelumnya, Komunitas Sahabat Safar yang membawa arah kaki berdiri di sini. Berbagi, melihat tawa canda, tangis luka, peluk pisah, senyum sapa.

Sungguh, keadaan teraduknya emosi dalam satu rasa, seringnya menumpahkan airmata. Kalian begitu kuat melewati hari. Begitu tabah menghadapi hati. Entahlah, safar yang tak henti membuat ku jatuh hati. Perjalanan berbagi di panti.

“Assalamu’alaikum” sapa kami pada Ibu yayasan.
“Wa‘alaikumsalam, mau ngajar ya?” jawab ibu dengan penuh ramah dalam menyambut kehadiran kami yang datang jarang jarang.

“Masuk nak, masuk” sambil mengarahkan kami masuk ke dalam kamar anak-anak.
Sering hatiku bergejolak, YaAllah.

Kukira pemandangan seperti ini hanya kudapati dari sinetron di Televisi, ternyata tidak. Kehidupan demikian nyata dan dekat di kehidupan sehari-hari. Latar hidup mereka yang seringnya hadirkan pertanyaan, Kenapa? Tapi, apapun alasannya, bersyukur memang menjadi keharusan.
Syifa,

Anak yang ditelantarkan orangtuanya. Perihal apa tak kutanya. Takut batinnya kembali gulana, setelah dapati bahagia di tempat ini.
Juli lalu, pertama kali ia diantarkan keluarganya ke tempat ini. Bersama nenek, paman dan abang kandungnya yang masih SD kelas lima.

Tepat, ia diantar saat kami dari Komunitas Sahabat Safar mengadakan kegiatan di tempat ini. Masih jelas kuingat, tas ransel bewarna merah diantarkan oleh abangnya sembari memeluk dan mencium adiknya yang saat itu baru tamat dari TK. Tahun ajaran baru ini ia duduk di kelas satu.

“Bu, ini pesantren kan?” dia bertanya kepadaku yang saat itu memegang spidol. Meyakinkan sekali untuk disapa dengan sebutan Ibu.
“Ha? Oh, iya. Nanti kakak belajar yang rajin ya disini” pintak

“Oke bu” sembari dia mengacungkan jempolnya menyetujui permintaanku.
Hari ini aku bertemu lagi, dan dia sudah menyadari aku bukan guru di pesantrennya.

“Masih ingat dengan kakak?” tanyaku?
Dia menganggukan kepala, sepertinya dia mulai faham. Dia tidak berada di pesantren.
“Apa kabar Syifa?”
“Baik buk, ibu kenapa gak pernah datang lagi?” waktunya aku yang diam tak bisa menjawab apa-apa.

Ayo siapkan alat tulisnya nak. Aku mengabaikan pertanyaannya dan memberi jawaban lewat pelukan.

Sebuah buku dan sebuah pensil kini berada di hadapan tujuh orang anak-anak yang begitu antusias untuk belajar. Beragam kelas, dari kelas 1 hingga kelas 3.

“Dek, ajar penjumalahan saja” ujar Kakak Juli, aku menganggukkan kepala. Merasa aman, Alhamdulillah bukan integral tak wajar ataupun diferensial.

Satu ditambah satu berapa dek?
Dua,
Satu,
Tiga.

Tepat, sistem pretest kugunakan untuk mengetahui hal apa yang akan diajarkan.
Pada yang menjawab dua, diberi soal untuk diselesaikan.

Pada yang menjawab satu dan tiga diberi penjelasan.

“Syifa memiliki satu buah jeruk, kemudian Kakak memberi Syifa satu buah jeruk. Jadi berapa buah jeruk syifa?” tanyaku sambil mengarahkan jemarinya menghiting satu persatu.

“Dua bu” rumus turun temurun yang menjadi primadona dalam penjumlahan ini berhasil mengajak logikanya mampu menyelesaikan soal satu ditambah satu. Dan, diapun masih begitu nyaman menyebutku Bu meski berulang kukatakan panggil saja, Kakak.  Fitri, masih kebingungan.

Bocah kelas dua SD yang pemalu namun senyumnya menghadirkan prasangka. Batinnya tak semanis rekah bibirnya. Kali ke sekian bertemu, dia masih dengan tingkah mencari perhatian. Dengan mengalungkan tangan kita ke lehernya, minsalnya. Atau dengan menggenggam tangan kita seolah ingin menjelaskan keadaan hatinya yang membutuhkan kasih sayang. Dia bersemangat meski harus dengan bebeapa kali penjelasan yang diulang-ulang.

“Fitri faham?” masih menggelengkan kepala. Rumus primadona Jeruk ataupun kelereng belum berhasil.

Kembali jemarinya kuarahkan menghitung. Perlahan-lahan mulutnya tak lagi terbata menyebutkan angka 1 hingga 10. Dugaanku kuat, batinnya sedang tidak sehat. Tatapnya menyiratkan makna keadaan hatinya yang tidak baik-baik saja.

Satu ditambah satu sama dengan?
Dua.
Teman temannya bersorak. Membenarkan jawabannya.
Dalam buku mereka kutulis beberapa soal yang berbeda,

Masih, masih tentang Syifa dan Fitri,
Yang kebingungan memainkan jemari.
Tawa-gaduh penuhi ruangan ini.
Mereka begitu bersemangat belajar. Dan mengajar. Mengajarkan diri untuk memperdalam rasa syukur.

Mengajarkan diri untuk menempa hati gemar berbagi. Mengajarkan ilmu hidup, bahwa setiap ritme hidup harus dilewati. Bagaimana sedini itu menjadi sosok yang mandiri, bagaimana menjadi pemberani melawan hari dan gejolak hati.

Dan,

Tak ada apa-apanya ilmu satu ditambah satu dibanding ilmu hidup yang mampu diteladani.
Waktu ashar tiba, buku ditutup rapi.
Kutanyai lagi,

“Syifa, satu ditambah satu sama dengan?”
“Cinta” aku melihatnya heran,
“Orang tua” memberi penjelasan jawaban.

Ya. Satu ditambah satu sama dengan cinta.
Ayah dan Mamak adalah cinta.
Ayah dan Syifa adalah cinta,
Mamak dan Syifa adalah cinta.

Jawabannya tak bisa kusalahkan. Karna Ayah dan Mamak salah satu definisi cinta. Sepertinya, hujan ini memupuk kerinduannya, semakin menumbuhkan benih rindunya.

Semoga, semoga segera lulus dari pesantren ini dan kembali ke pelukan yang terkasih.
“Fitri, satu ditambah satu sama dengan?”

Dua, jawabnya sambil menutup mulut seolah ragukan jawabannya, benar atau salah.
Syifa dan Fitri yang hari ini belajar satu tambah satu,

Syifa dan Fitri yang hari ini mengajari syukur dan taffakur.
Terimakasih guru hidup yang ajarkan kami menyikapi hidup.
Satu ditambah satu sama dengan Cinta. [SY]

 

 

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.