Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

GAYO merupakan daerah yang terletak dibagian tengah Aceh, mempunyai penduduk yang berbeda dengan daerah-daerah lain yang ada di Aceh, ini dibuktikan dengan perbedaan bahasa sahari-hari yang digunakan. Bahasa Gayo digunakan di daerah kekuasaan Negeri Linge dengan Ibu Kota pemerintahan Buntul Linge.
Penyebaran penduduk daerah Gayo pada dasarnya dibagi kepada dua daerah yaitu Gayo Lut dan Gayo Deret, pembagian daerah tersebut tidak sama dengan persepsi orang-orang sekarang yang membagi Gayo Lut kini kepada Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah dan Gayo Deret dengan Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Gayo Lues. Karena dalam perjalanannya kita ketahui bahwa sebagian dari daerah Aceh tengah sekarang termasuk kepada penyebutan Gayo Deret pada masa dahulu. Yang jelas pembagian daerah administrasi seperti sekarang ini bukanlah representatif dari pembagian Gayo dari Gayo Lut dengan Gayo Deret.
Sulit membaca logika apabila ada upaya ingin mempersatukan Gayo tetapi dengan menghilangkan kata Gayo dan kata Linge, karena kedua kata ini merupakan kata asal bagi mereka yang berada dan berasal dari Gayo.
Mendengar kata Gayo oleh orang Gayo memunculkan pemahaman bahwa mereka adalah orang yang berasal dari salah satu wilayah Gayo Lut dan Gayo Deret yang kedua-duanya berasal dari wilayah asal yang sama yaitu Linge. Dan ketika modernisasi Negara modern membagi wilayah Gayo bukan lagi pada Gayo Lut dan Gayo Deret, maka daerah dan Kekuasaan Negeri Linge tetap tidak kehilangan identitas yaitu mereka yang berasal dari Linge bisa dipastikan tetap berbahasa Gayo.
Lalu apakah identitas “orang Gayo” yang berbahasa dengan “bahasa Gayo” yang selama ini sandang digunakan dapat dipertahankan ? Jawabannya tentu saja dengan yakin bisa dijawab, dapat dipertahnkan, kendati semakin lama sebenarnya kemurnian suatu bahasa akan terus menurun dan berkurang. Landasan yang digunakan dalam mempertahankannya adalah keyakinan, yang lebih penting lagi adalah upaya semua orang Gayo bagaimana melestarikan bahasa Gayo tersebut. Landasan keyakinan sebagaimana disebutkan didasarkan kepada bahwa bahasa merupakan syari’at yang turunkan oleh Tuhan kepada manusia yang digunakan sebagai alat komunikan antara manusia dengan Tuhan, juga sebagai alat komunikasi antar sesama manusia dan juga sebagai alat komunikasi manusia dengan alam sekitarnya.
Keyakinan terhadap fungsi bahasa termasuk bahasa Gayo dapat digunakan sebagai alat komunikasi dengan Tuhan dan dengan alam, selama ini penggunaan bahasa Gayo tidak memunculkan keyakinan sebagaimana bahasa Arab yang digunakan oleh orang Arab. seakan komunikasi dengan Tuhan hanya bisa diterima apabila dengan menggunakan bahasa Arab bukan bahasa Gayo, pada hal bahasa Gayo juga bahasa yang diturunkan oleh Tuhan kepada manusia bersuku Gayo. Jadi “orang Gayo adalah manusia yang mendapat amanah dari Tuhan untuk menggunakan bahasa Gayo” sebagaimana bangsa lain seperti halnya bangsa Arab dalam menggunakan bahasa Arab.
Banyak dialog-dialog mistik (doa = bahasa Gayo) yang menggunakan bahasa Gayo, seperti dialog yang digunakan ketika menanam padi, dialog dengan pohon kopi ketika menanamnya, dialog dengan makhluk ghaib (jin, aulia dll.). Semua orang-orang tua kita dahulu percaya kalau diaolog itu dimengerti oleh lawan dialog mereka.
Keberhasilan dialog dengan menggunakan bahasa Gayo itu mereka buktikan, bagaimana Kejurun Belang menghalau hama dari tanaman padi, memohon izin untuk lewat kepada binatang buas ketika berpapasan di dalam hutan, mengajak hujan untuk tidak turun karena ada keperluan, memanggil anging dan anginpun datang ketika menuai padi di sawah. Dialog itu semua dilakukan dengan bahasa Gayo.
Ketika Tuhan diajak berdialog (selain dari shalat) dengan menggunakan bahasa Gayo yang penuh penghayatan dan perasaan karena yang berdialog itu adalah orang Gayo tentu Tuhan juga lebih mengetahui apa yang dirasakan oleh hamba-Nya, sehingga Tuhan akan lebih cepat menjawab apa yang diharapkan dari dialog yang partikel tersebut, dibanding dengan dialog yang menggunakan bahasan yang kurang sarat dengan makna dan rasa bagi hamba-Nya.
Lalu bagaimana dengan alam yang selama ini telah diajak berdialog dengan menggunakan bahasa Gayo oleh pendahulu (nenek moyang orang Gayo), kemudian tiba-tiba orang Gayo berusaha merubah bahasa mereka ketika berdialog dengan alam (alam nyata dan alam ghaib), apakah alam itu dengan mudah bisa paham kepada bahasa yang digunakakan manusia yang mengajak dia berdialog. Jangan-jangan alam belum mampu memahami bahasa yang digunakan oleh manusia dan alam juga belum mampu merasakan apa sebenarnya yang dikehendaki oleh manusia yang mengajaknya berdialog, sehingga membuat alam sering marah sebagai ekspresi dan protesnya atas ketidakpahamannya terhadap bahasa manusia gunakan.
Karena manusia tidak mengetahui bahasa apa yang harus digunakan ketika berdialog dengan alam, atau juga manusia tidak lagi mau menggunakan bahasa yang telah dipahami alam. Maka alam merasa kalau manusia bukan lagi sahabat yang saling memberi dan menerima, bukan lagi sahabat yang sebahasa dan serasa. Alam merasa tidak lagi dipedulikan dan merasa selalu dijadikan musuh yang harus ditaklukkan, akhirnya alam juga menunjukkan kekuasaannya dan memberi sedikit peringatan untuk melahirkan kembali kesadaran kalau diantara manusia dan alam sebenarnya adalah bersahabat.