Oleh : Win Wan Nur
Si kite pilih nume rukun lime, ine
Udah perin jema agamani rede
Oya gernang tembege
tamur mersah uken
Cogah sara lenge
Lutus sara keben
Syair di atas adalah penggalan didong yang didendangkan oleh Ceh H. Abdullah M Aman Nurjeh yang lebih dikenal sebagai Gecik Mongal.
Penggalan syair di atas adalah gambaran dari bagaimana rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat Gayo terhadap janji-janji para politisi setiap menjelang Pemilu.
Sikap antipasti seperti ini tidak bisa dilepaskan dari janji-janji para politisi menjelang pemilu yang memang bersifat normatif. Visi dan misi dari Bupati saat ini pada Pilkada silam bisa dijadikan contoh. Menghalau kemiskinan dan mengundang kemakmuran menuju masyarakat sejahtera.
Visi dan misi seperti ini memang indah didengar, tapi tak ada ukuran alias indikator yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan dan kegagalannya. Sebut saja, kemiskinan, kemakmuran dan sejahtera. Apa ukurannya?, apakah itu ada disampaikan pada saat kampanye?. Jelas tidak.
Kenapa fenomena seperti ini sampai terjadi?
Kalau kita mau jujur, sebenarnya masalah ini berasal dari kita sendiri para pemilih.
Tiap menjelang pemilihan Kepala Daerah, ketika ada yang menanyakan, seperti apakah calon bupati yang kita inginkan. Umum kita dengar jawaban yang keluar adalah, “Seperti Umar Bin Khatab, seperti Ridwan Kamil, seperti Ahok”, tidak spesifik.
“Seperti Umar Bin Khatab, Ahok, Risma dan Ridwan Kamil”, semua adalah ukuran sifatnya subjektif. Penafsirannya sangat tergantung pada persepsi masing-masing penilai. Begitu juga ketika kita mengatakan “yang anti korupsi, bersikap adil dan mampu memakmurkan masyarakat”. Tanpa ukuran dan indikator yang jelas, semua semua itu sifatnya kualitatif yang hanya bisa dinilai secara subjektif, artinya tiap orang sah saja memiliki penilaian yang berbeda. Tidak bisa sama untuk semua orang.
Persepsi bahwa kekuasaan itu adalah sesuatu yang suci dimana seorang pemimpin laksana manusia setengah dewa, jujur, adil bijaksana cara pandang masyarakat feodal yang hidup matinya ada di tangan seorang raja. Dimana satu-satunya cara untuk bisa memperoleh pemimpin seperti ini adalah berdoa.
Sementara Demokrasi yang menjadi dasar dari pemilihan kepala daerah adalah sistem yang membutuhkan cara pandang dan mentalitas yang berbeda. Demokrasi sebagaimana kutipan kutipan terkenal dari John Emerich Edward Dalberg Acton, yang lebih dikenal dengan nama Lord Acton justru sebaliknya. Memandang kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Karena itulah, penguasa tidak bisa dibiarkan begitu saja memimpin tanpa diawasi dengan ketat.
Karena kecenderungan untuk korup inilah, maka ketika terjadi Pemilu yang merupakan proses untuk peralihan kekuasaan. Masyarakat yang demokratis menuntut konsep-konsep nyata dan janji-janji yang terukur jelas dan bisa dinilai secara kuantitatif dalam bentuk angka-angka.
Contohnya, sebelum Pilkada. Masyarakat pemilih sudah lebih dulu diberi data kekayaan rata-rata dan bagaimana sebarannya angkanya jelas. Jadi ketika nanti ada seorang kandidat yang mengatakan visi dan misinya adalah “Menghalau kemiskinan dan mengundang kemakmuran menuju masyarakat sejahtera”, maka dalam setiap potongan periode kekuasaannya. Apakah satu tahun, dua tahun dan seterusnya bisa dinilai dengan jelas keberhasilan visi dan misinya. Indikatornya bisa dilihat oleh siapapun, kalau angka kekayaan rata-rata naik dan persebarannya merata, berarti berhasil kalau turun, atau angkanya naik tapi hanya menumpuk di satu kelompok, berarti pemerintahan itu gagal mewujudkan visi dan misinya. Jadi masyarakat tidak bisa disalahkan kalau meminta DPRK untuk menurunkan sang Bupati di tengah jalan. Atau paling jelek, tidak memilih si Bupati untuk periode berikutnya.
Kalau ada kandidat yang mengangkat isu penanggulanan bencana, maka mereka akan menyampaikan data-data, strategi penanggulangan dan sejenisnya.
Begitu juga kalau ada yang mengangkat isu pendidikan, apa saja yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, semuanya jelas terukur.
Kalau ada kandidat yang mengangkat isu pemberantasan Korupsi, juga dia dengan jelas menyampaikan indeks-indeksnya, lalu mengungkap strategi penanggulangannya. Berdasarkan itu nanti masyarakat bisa menilai perubahannya. Dari sana nanti bisa dinilai apakah dia berhasil atau gagal, apakah janji-janji politiknya terpenuhi atau tidak ketika dia sudah menjabat.
Seandainya kita mayoritas masyarakat Gayo sudah berpandangan seperti ini. Bisa dipastikan menjelang Pilkada seperti sekarang. Tim sukses masing-masing kandidat akan sibuk mencari berbagai data dari berbagai lembaga, mulai dari Bappeda sampai LSM-LSM, entah itu berbasis lingkungan, perempuan dan anak, sampai LSM anti korupsi.
Tapi ketika sekarang para tim sukses, calon tim sukses bahkan para balon sendiri masih sibuk menjual kecap tentang betapa hebatnya jago yang mereka elus. Maka itu berarti mereka masih memandang kita masyarakat Gayo sebagai masyarakat dengan mentalitas zaman feodal, yang masih silau dengan berbagai kebesaran palsu, entah itu asal usul keturuna, gelar dan berbagai bungkus indah lain.
Dan kalau situasi seperti ini terus kita pertahankan sampai Pilkada mendatang. Bersiap-siaplah menyediakan sekeranjang omelan, rutukan dan caci maki. Untuk disampaikan pada Bupati yang akan berkuasa sampai lima tahun lagi.[]
*Pengamat sosial politik