Ibadah Qurban Dalam Masyarakat Gayo

oleh
Drs Jamhuri, M.Ag, Ketua KNA Banda Aceh (foto:tarina)

Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA

Drs Jamhuri, M.Ag, Ketua KNA Banda Aceh (foto:tarina)
Drs Jamhuri, M.A, Ketua KNA Banda Aceh (foto:tarina)

Ibadah qurban merupakan salah satu idadah yang bersifat maliyah di samping ibadah maliyah yang lain seperti zakat, zakat fitrah, infaq dan sadaqah, dan juga nafaqah. Bedanya dengan ibadah maliyah yang lain kalau ibadah qurban dikhususkan dengan menggunakan maliyah hewaniyah, dengan ukuran satu ekor kambing untuk satu orang dan satu ekor sapi atau kerbau untuk tujuh orang. Ibadah ini tidak boleh ditukar dengan uang senilai binatang qurban dan juga pelaksanaannya juga harus disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang membutuhkan, artinya tidak boleh menyerahkan binatang qurban kepada fakir miskin untuk dipelihara.

Merunut kebelakang melihat lahirnya budaya berqurban dalam masyarakat Gayo, dimana kita terlebih dahulu melihat bahwa orang Gayo adalah masyarakat yang tinggal di daerah yang memiliki tanah yang subur dan sangat cocok untuk daerah pertanian, hampir secara keseluruhan masyarakat Gayo hidup dari bertani, bahkan sampai sekarang mereka tidak bisa melepaskan diri dari bertani. Karenanya tidak aneh bila kita lihat mereka yang berprofesi sebagai pedagang, nelayan, pegawai negeri sipil atau pegawai swasta tetap memiliki kebun sebagai tambahan ekonomi mereka.

Realita dalam masyarakat Gayo terlihat kalau mereka yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan mempunyai kebun atau sawah maka ekonomi mereka lebih baik bila dibanding dengan mereka yang semata bertani. Sehingga melahirkan ungkapan dalam masyarakat Gayo kalau menjadi pegawai atau orang yang bergaji mempunyai penghasilan yang “menetes” namun tetap ada dan mereka yang bertani mempunyai rizki yang banyak namun tidak tetap atau tidak menentu.

Masih dalam runutan sejarah kehidupan masyarakat Gayo, kendati kehidupan masyarakat sebagaimana dicontohkan oleh Nabi adalah sebagai peternak, namun masyarakat Gayo tidak mengakui adanya kehidupan orang Gayo sebagai peternak.

Karena dalam masyarakat Gayo ternak yang dipelihara berapapun banyaknya hanya digunakan sebagai alat untuk membajak sawah kalau itu kerbau dan untuk membongkar tanah dan sebagai kendaraan pembawa barang kalau yang namanya kuda. Sedangkan sapi hampir tidak ada yang memeliharanya karena tidak bisa digunakan untuk membajak dan membongkar tanah sawah seperti halnya juga kambing yang tidak bisa bermanfaat kecuali hanya untuk disembelih dan dimakan, mitos untuk kambing dalam anggapan dan pengalaman masyarakat tidak cocok dipelihara di daerah dingin karena mudah masuk angin dan kembung perutnya.

Pada dasarnya orang Gayo tidak mau menjual binatang ternak yang mereka miliki, kecuali sangat terpaksa dan biasanya mereka jual adalah yang jantan dan uangnya digunakan untuk membeli yang betina untuk dijadikan induk atau uangnya untuk membeli tanah sawah dan/atau tanah kebun, mereka lebih mau menjual binatang ternak yang mereka pelihara untuk membeli tanah dari pada menjual tanah untuk membeli binatang ternak.

Mereka sangat menyayangi binatang ternak yang dimiliki sehingga sangat jarang mereka menjualnya, dan kalaupun mereka menjualnya sebagaimana disebutkan di atas adalah sangat terpaksa dan untuk membeli induk yang bisa berkembang dan untuk membeli kebun atau sawah.

Kita melihat dalam budaya masyarakat Gayo, kalau mereka ingin berqurban maka ia mempersiapkan dan memilih binatang ternak yang dimiliki dan memeliharanya dengan baik sehingga sampai waktunya mereka akan menyembelih untuk dijadikan qurban. Karena itulah kenapa dalam masyarakat Gayo binatang qurban itu adalah kerbau bukan sapi ataupun kambing. Dan karena itu pulalah sehingga masyarakat Gayo banyak tidak mau memakan atau mengkonsumsi daging kambing dan sebagian kecilnya ada juga yang tidak mau memakan atau mengkonsumsi daging sapi.

Karena sangat sayangnya orang Gayo terhadap binatang yang mereka pelihara, mulai dari binatang terkecil seperti burung, ayam, kerbau dan kuda. Sehingga orang Gayo tidak banyak mau menjual kuda peliharaan kecuali yang sudah tua dan mereka juga tidak terbiasa menjual bahkan menyembelih kerbau mereka, kalaupun mereka menyembelih untuk qurban mereka mempersiapkan atau memeliharanya dalam waktu yang lama. Demikian juga dengan ayam yang mereka pelihara, mereka memelihara ayam hanya sekedar untuk peliharaan, mereka Gayo tidak mau menjual ayam yang dipelihara untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga tidak mau menyembelihnya kecuali pada saat yang istimewa menurut mereka, seperti datangnya tamu jauh atau juga ada hajatan.

Perubahan tradisi dan budaya dalam membeli dan menjaual binatang ternak dalam masyarakat Gayo belum banyak terjadi, belum banyak orang-orang yang merasa bahwa beribadah dengan menggunakan binatang ternak (berqurban) sebagai sarananya sama dengan harta=harta yang lain, karena sebagaimana yang disebutkan di atas mereka masih merasa rugi bila ada uang lalu dibelikan untuk binatang ternak dan disembelih, ditambah lagi ada ajaran budaya yang memahami agama dalam masyarakat bahwa berqurban itu mamadai sekali untuk seumur hidup.

Pola pikir seperti kami sebutkan di atas mungkin untuk sebagian masyarakat telah berubah, karena masyarakat sekarang ini bukan lagi sebagai pemelihara dan pemanfaat binatang ternak, tetapi sudah menjadi pembeli dan pengkonsumsi binatang ternak.

*Redaktur Tafakur LintasGayo.co dam Dosen di UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.