Kin Aulia ‘The Fly’ ; Totalitas Putra Gayo asal Isak

oleh
Kin Aulia dengan gitar dan warung kopinya

Catatan Win Wan Nur

Kin Aulia dengan gitar dan warung kopinya
Kin Aulia dengan gitar dan warung kopinya

KAMI sedang menikmati Steak dan iga panggang empuk, salah satu sajian andalan restorannya. Menurutku steak yang mereka sajikan ini termasuk salah satu yang paling enak di Jakarta. Indikatornya mudah saja, steaknya empuk dan tidak keras. Bumbunya juga sangat berasa.

Saya dan Bang Boy, abangnya, sudah menghabiskan separuh porsi, tapi dia, belum sempat menikmati suapan pertama, dia sudah dipanggil oleh pelanggan yang duduk di meja di belakangku yang memintanya untuk menjelaskan tentang Wine Coffee yang merupakan ‘signature’ alias produk andalan di Super Gayo Coffee Groundzero yang dia kelola bersama Bang Boy dan salah seorang kolega.

Pelanggannya, satu keluarga asal Singapore yang penasaran dengan rasa Wine Coffee, mereka bingung bagaimana bisa ada kopi yang memiliki rasa seperti itu. Menggunakan bahasa Inggris yang sangat lancar tanpa sedikitpun terdengar aksen asianya. Dengan fasih dia menjelaskan tentang Wine Coffee, mulai dari bagaimana kopi itu ditanam, dipetik dan diolah dengan hati-hati sampai terhidang di meja. Tidak lupa dia menceritakan tentang keindahan alam Gayo, tentang bagaimana  masyarakat Gayo telah menyatu dengan Kopi dalam desah nafasnya dan mengolah kopi dengan penuh cinta.

Dia adalah Kin Aulia, pemuda Gayo asal Isaq yang selama ini sosoknya lebih dikenal masyarakat sebagai pentolan band The Fly yang namanya melambung pada era 90-an dan mencapai puncak ketenaran ketika melepas nomor ‘Terbang’.

Mengingat sosok putra tokoh Gayo Alm. Baharuddin Wahab yang dikenal sebagai seorang artis. Tadinya saya pikir, ketika dia memutuskan terjun ke bisnis Kopi, Kin Aulia cuma seperti artis-artis pada umumnya, membuka usaha sekedar ikut trend dan kemudian dilupakan.

Tapi totalitas rupanya sudah menjadi ciri khas seorang Kin Aulia dalam setiap aktivitas apapun yang digelutinya. Sebagaimana totalnya dia ketika memutuskan menjadi pemusik. Saya melihat dengan mata kepala sendiri, suami pesinetron Nova Soraya ini juga benar-benar total menggeluti bisnis Kopi yang merupakan komoditas andalan tanah asalnya. Tidak mengherankan kalau kemudian Warung Super Gayo Coffee Groundzero yang dia kelola begitu cepat menjadi besar.

Kin Aulia. (Ist)
Kin Aulia. (Ist)

Malam itu  Kin yang biasanya cuek berkaos oblong dan celana pendek, malam itu berpakaian rapih, berkemeja dan celana panjang. Ternyata malam itu dia dan Bang Boy, abangnya yang bernama lengkap Gemboyah Ratawali sedang menunggu menteri agama yang akan berkunjung ke Super Gayo Coffee Groundzero. Sang menteri akan datang bersama adik menteri Agama Singapura. Beberapa hari sebelumnya Warungnya didatangi oleh Mr. Samir Ibrahim, Direktur Utama media Arab terbesar, Al Jazeera, sebagai langkah untuk membuka jalan mengekspor Kopi Gayo ke negara-negara Arab.

Meskipun ini adalah kali pertama kami berbincang. Tapi berbicara dengan Kin Aulia, saya sama sekali tidak merasa asing. Karena meski dia lahir dan besar di Jakarta, tapi berbicara dengannya saya merasa seperti merasa berbicara dengan orang Gayo kebanyakan, lebih khusus seperti kebanyakan orang Isak yang saya kenal. Harga diri begitu menonjol dalam setiap sikap yang dia pilih. Ciri khas ini tercermin jelas dalam keseharian Kin Aulia.

Menempatkan harga diri di tempat tertinggi, terlihat jelas pada cara Kin Aulia  dalam bermusik. Sejak awal dia masuk ke blantika musik Indonesia, dia memilih jalur Rock dalam berkarya, dan bukan kebetulan aliran ini memiliki begitu banyak peminat pada era 90-an, saat Band The Fly yang dia gawangi baru muncul.

Belakangan selera pasar berubah, pasar lebih menyukai musik dengan warna melayu nan mendayu-dayu. Beberapa band, sesuai permintaan produser mengikuti selera pasar. Tapi Kin bersama band-nya memilih tetap pada jalurnya, karena baginya banting stir mengikuti selera pasar hanya merendahkan harga diri. Dia tetap dengan idealismenya, mempertahankan warna musik yang sudah menjadi ciri khas band-nya.

Alih-alih mengikuti selera pasar, Kin malah mengeluarkan album dengan musik berat yang susah dimengerti. Tentu saja musiknya tidak diterima pasar, tapi di kalangan pemusik dan pengamat musik Kin jadi sangat dihormati.

Tentang The Fly yang kental dengan warna musik ala U2, Kin bercerita kalau bergabungnya dia dengan The Fly, sebenarnya bukan direncanakan. Kisahnya bermula ketika dia pulang dari Amerika, setelah menyelesaikan sekolah musik di Boston. Tiba di tanah air, teman-teman Kin semasa SMA sudah membuat Band, The Fly yang mengusung warna U2.  Kin diajak bergabung oleh teman-temannya, dia diminta bergabung sebagai mentor, karena kemampuan bermusiknya jauh melebihi semua teman-temannya. Awalnya Kin ragu warna musik yang dipilih teman-temannya ini bisa diterima masyarakat. Tapi teman-temannya ini meyakinkan, kalau warna musik yang mereka pilih banyak yang suka. Mereka cukup laku diundang di acara-acara Pensi (pentas seni yang diselenggarakan anak-anak SMA). Dan ternyata setelah Kin membuktikan sendiri, begitulah adanya. Dan dia pun bergabung dengan The Fly.

Sebenarnya menurut Kin, selain The Fly, dia juga punya band lain dengan warna rock mainstream, alternatif seperti kebanyakan band-band saat itu.

Kin Aulia saat berada di Takengon beberapa waktu lalu. (doc.LGco)
Kin Aulia saat berada di Takengon beberapa waktu lalu. (doc.LGco)

Bergabung di dua band yang berbeda tentu saja tidak optimal. Kin diminta memilih salah satunya. Ketika disuruh memilih, Kin mengatakan, band mana  yang lebih dulu mendapatkan kontrak rekaman itulah yang akan dia pilih. Ternyata The Fly lah yang lebih dahulu mendapatkan kontrak dan diapun fokus di The Fly dan meninggalkan band-nya yang lain. Setelah sepenuhnya fokus di The Fly,  Kin bukan lagi menjadi sekedar mentor tapi oleh anggota yang lain, dirinya malah didapuk menjadi pemimpin Band ini.  Dan menariknya, setelah band ini besar, dalam statusnya sebagai pemimpin di The Fly, Kin malah memecat pendiri  band ini yang nota bene adalah temannya sendiri. Alasannya sang pendiri band ini tidak fokus,  dia  ngeband sambil bekerja kantoran. Karena keputusan ini, awalnya mereka sempat bersitegang, tapi kemudian sang teman maklum. The Fly tidak akan mungkin bisa sebesar sekarang kalau dia masih bergabung.

Terkait U2 yang menjadi panutan band-nya. Awalnya Kin mengaku dia tidak terlalu menganggap band asal Irlandia ini istimewa. Baru setelah bergabung di The Fly, Kin kemudian mencari tahu lebih dalam segala sesuatu tentang U2 dan hasilnya diapun jadi benar-benar kagum dengan band satu ini.

“Di dunia ini, hanya Bono pemusik yang bisa bicara HAM, berbicara, duduk satu mejadengan para pemimpin dunia. Secara internal band-nya sendiri, hanya U2 satu-satunya Band yang masih ada saat ini yang personelnya tidak pernah berubah sejak awal berdirinya.”, kata Kin.

“Abang sangat merasakan bagaimana besarnya U2, waktu menonton konsernya di Australia, aura magisnnya tidak pernah abang rasakan waktu menonton band apapun, bahkan Sting sekalipun”, terangnya lagi. Sebenarnya secara umur, saya lebih tua beberapa bulan dibanding Kin. Tapi karena berdasarkan tutur Gayo di Isaq, saya berposisi sebagai adik. Karena itulah Kin, ketika berbicara dengan saya menyebut dirinya “abang”.

Ketika menonton konser U2 di Australia itu, Kin diajak dan dibayari oleh para personel NIDJI yang juga mengusung warna U2 dalam lagu-lagunya.

“kok bisa diajak sama NIDJI bang?”, tanya saya.
“Ya sebenarnya Nidji itu band binaan abang,  abang mentor mereka”, jelasnya.

Idealisme Kin  juga terlihat jelas dalam caranya membesarkan anak.

Penulis (tengah) bersama KIn Aulia (kiri) sama-sama berasal dari Isak bertemu di Jakarta
Penulis (tengah) bersama Kin Aulia (kiri) dan Boy (kanan) sama-sama berasal dari Isak bertemu di Jakarta

Kiano, anak tunggalnya bersama Nova Soraya sekarang sudah tumbuh menjadi seorang anak yang sangat tampan. Hidup di lingkungan dunia hiburan. Agak aneh ketika melihat anak setampan itu, tapi tidak ada produser yang tertarik untuk menjadikannya bintang.

Dan ketika hal ini saya tanyakan, ternyata menurut Kin sangat banyak tawaran yang meminta putranya untuk membintangi berbagai Sinetron. Tapi Kin menolaknya, karena Kin merasa anaknya masih terlalu muda untuk menanggung beban menjadi seorang bintang. Berkaca pada artis-artis cilik yang gagal bersinar ketika besar, banyak yang kemudian frustasi dan terkena star syndrome (Kin kemudian menyebut beberapa nama). Banyak bintang cilik yang ketika dewasa tidak siap menerima kenyataan, bagaimana dia yang ketika kecil terbiasa dielu-elukan tiba-tiba menjadi bukan siapa-siapa.

Karena alasan itu Kin lebih memilih menyiapkan segalanya untuk Kiano, ketika sekarang dia masih kecil. Menurut Kin, Kiano sangat berbakat dalam bermusik dan Kin pun memilih untuk mengasah bakat musiknya. Tapi berbeda dengan dirinya yang seorang gitaris, Kin lebih memilih mengarahkan Kiano untuk menjadi seorang vokalis. Dan karena dia juga memiliki bakat akting seperti ibunya, Kin juga tidak menafikan seandainya nanti Kiano berkarir di dunia seni peran. Tapi Kin mengarahkannya untuk bermain Film Layar Lebar, bukan sinetron. Alasannya, sama seperti Kin di The Fly, kualitas dan harga diri lebih penting dibanding segalanya. Jadi, kita tidak perlu heran kalau beberapa tahun dari sekarang, akan muncul satu bintang muda asal Gayo yang melesat di jagat hiburan.

Sebagai seorang pemusik, Kin memiliki wawasan yang sangat luas. Kami berbincang semalaman, bermacam hal kami bahas, tentang musik, tentang kopi, tentang politik tentang Gayo sampai masalah keluarga. Sampai warung tutup. Kin pulang ke rumahnya, dan saya pun kembali ke Hotel diantarkan oleh Bang Boy. Paginya, saya harus cepat-cepat ke Bandara, mengejar pesawat untuk berangkat ke Yogyakarta. []

Baca juga :
Diusia 25 Tahun Kin Aulia Sadar Didong Seni Tradisi yang Unik
– Beberapa Lagu “The Fly” Diinspirasi dari Didong
Kin Aulia Tunjukan Aksi Solo Akustik “Pelangi Semu” dan Iringi Musisi-musisi Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.