Reraya ni Urang Gayo di Bali

oleh

Catatan Win Wan Nur

wwnUMMAT Islam di Bali tergolong minoritas tapi perayaan idul fitri di Bali sebenarnya cukup semarak juga. Meskipun sebagian besar penganut Islam di Bali lebih memilih merayakan Idul Fitri di daerah asal. Tapi sebagaimana juga di daerah lain, mesjid dan tanah lapang masih tetap ramai dipenuhi oleh umat Islam yang tidak ikut mudik.

Tapi memang sejak beberapa tahun belakangan ini sebagai Urang Gayo di Bali, merayakan Idul Fitri terasa kurang semarak. Ini dikarenakan, sudah tidak banyak lagi Urang Gayo yang berdiam di Bali.

Ini sangat berbeda dengan beberapa tahun yang lalu ketika ada ratusan orang Gayo yang menetap di Bali. Pada masa itu Urang Gayo adalah penguasa sandal manik-manik dan DVD di Kuta dan Legian. Ada puluhan bebujang Gayo yang begitu mahir membuat sandal berbahan spons dan kulit. Mereka bekerja pada bos yang juga orang Gayo. Yang di luar jam kerja diperlakukan oleh pekerjanya layaknya teman sepermainan. Tidak terlihat ada hirarki seperti atasan dan bawahan, sebagaimana para bos ini diperlakukan oleh pekerja dari daerah lain.

Pada masa itu, merayakan lebaran di Bali sangat semarak.

Seusai melaksanakan Shalat Ied, entah itu di Lapangan Samudra Kuta, Mesjid Kuta Permai atau di Kepaon. Para bebujang Gayo ditambah dua beberu dan para pasangan muda yang baru menikah. Berkonvoi naik motor beramai-ramai untuk berkunjung ke rumah, Urang Gayo yang dituakan.

Biasanya jalurnya dimulai dari rumah Bang Isa di Kuta Permai, dari sana ke rumah Bang Adan yang juga ada di Kuta Permai (saat ini keduanya sudah almarhum). Dari sana biasanya kunjungan dilanjutkan ke rumah Bang Udin di Kompleks Burung dan kemudian ke rumah Bang Mogen di Nusa Dua, lalu kembali ke rumah Takwa di Kuta. Malamnya, makan-makan di rumah Bang Zahri di jalan Marlboro Denpasar.

Pada hari kedua lebaran, semua Urang Gayo yang ada di Bali biasanya pergi jalan-jalan. Dari tahun ke tahun tempat yang dipilih selalu Tahura di Bedugul, yang membuat kita serasa di kampung halaman.

Alam Bedugul memang membuat kita serasa di tanoh tembuni. Bedugul berada di ketinggian 1250 MDPL, persis sama dengan Takengen. Di Tahura tempat yang dipilih oleh Urang Gayo untuk jalan-jalan terletak di bukit kecil yang banyak ditumbuhi pohon pinus. Dan di depan bukit ini, terdapat Danau Beratan. Danau yang dikenal karena Pura Ulun Danu yang terletak di tepi danau itu ada di cover belakang uang kertas rupiah pecahan 50.000-. Sehingga suasananya benar-benar seperti di Takengen. Di sana ketika ibu-ibu sedang menyiapkan makanan, para bebujang bedidong.

Suasana mirip kampung halaman semakin terasa karena mayoritas penduduk Bedugul adalah penganut Islam. Di daerah ini Mesjid dan Mushalla ada di mana-mana.

Sayangnya belakangan bisnis sandal mulai tidak menghasilkan, bisnis DVD juga semakin banyak competitor. Urang Gayo yang ada di Bali semakin tertekan. Bersamaan dengan penanda tanganan damai antara Aceh dengan Indonesia pasca tsunami 2004. Satu persatu urang Gayo yang ada di Bali, pulang ke kampung halaman.

Saat ini hanya tinggal beberapa keluarga Gayo yang tersisa di Bali. Mayoritas menikah dengan perempuan asal Banyuwangi. Entah karena apa, perempuan yang berasal dari kota Jawa Timur yang paling dekat dengan Bali ini dijuluki ‘Tegeret’ oleh para bebujang Gayo.

Dari segelintir urang Gayo yang tersisa ini pun, sekarang sudah jarang sekali yang merayakan lebaran di Bali. []

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.