Mengganti Nama Provinsi Aceh, Kenapa Tidak?

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

wwnUSULAN perubahan nama Provinisi Aceh yang digulirkan melalui opini seorang intelektual muda Gayo, Yusradi Usman Al-Gayoni yang dimuat LintasGayo.co memunculkan beragam reaksi, banyak yang berteriak itu tidak mungkin. Teriakan itu bukan hanya datang dari pesisir, tapi juga dari dataran Gayo sendiri.

Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk membaca sejarah dan berkaca pada apa yang terjadi pada negara tetangga kita. Sebelum berteriak, itu tidak mungkin.

Pada 1988 di Birma, terjadi gelombang demonstrasi besar menentang pemerintahan junta militer. Gelombang demonstrasi ini berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan tentara terhadap para demonstran. Lebih dari 3.000 orang terbunuh.

Masalah yang melatari demonstrasi ini, selain karena ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah. Ini juga terjadi karena etnis-etnis minoritas di Birma merasa diperlakukan tidak adil dan eksistensi mereka diabaikan.

Pasal yang terutama menjadi sorotan pada masa itu adalah nama Birma sendiri yang dipandang diskriminatif, tidak mewakili pluralitas negara itu dan hanya mengistimewakan etnis mayoritas.

Sebab meskipun Bamar/Birma yang merupakan dua pertiga dari 50 juta total jumlah penduduk. Negara itu juga dihuni oleh etnis Karen, Kayah, Arakan, Mon,Kachin, Chin dan Rohingya.

Dalam posisi seperti itu, nama Birma menjadi rancu. Sangat mudah ditekuk dan ditekan sesuai dengan kepentingan. Satu saat Birma itu dikatakan nama bangsa yang terdiri dari berbagai etnis. Di satu waktu lagi, kalau kepentingan memang membutuhkan Birma itu dikatakan adalah nama wilayah yang di dalamnya berisi banyak etnis. Tapi ketika berurusan kekuasaan, Birma hanyalah orang-orang yang bisa berbahasa Birma.

Setiap gugatan atas nama Birma, dijawab bahwa nama itu memiliki nilai sejarah yang panjang. Nama itu adalah identitas nasional dan berbagai jawaban normatif lain. Tapi demonstrasi berdarah yang terjadi pada tahun 1988 itu membuat pemerintah Birma berubah pikiran.

Akhirnya pada tanggal 18 Juni 1989. Untuk meredam ketidak puasan kelompok-kelompok etnis minoritas yang merasa diperlakukan secara diskriminatif. Pemerintah Birma pun secara resmi mengubah nama negara itu menjadi Myanmar. Nama yang sebenarnya masih sangat berbau Bamar, tapi paling tidak sudah ada perubahan.

Aceh juga menghadapi hal yang kurang lebih sama. Seperti Birma, Aceh juga adalah nama dari satu suku mayoritas di provinsi yang ditinggali oleh banyak suku. Dan sama seperti nama Birma, nama Aceh juga bisa ditekuk dan ditekan sesuka hati sesuai dengan kepentingan kelompok mayoritas.

Kalau sedang perlu dukungan politik, dikatakan Aceh itu sebuah wilayah yang didiami banyak suku. Kalau sedang ada yang kecewa diperlakukan tidak adil, dikatakan Aceh itu adalah sebuah bangsa. Tapi kalau ada yang menuntut hak untuk diperlakukan sama, dikatakan orang Aceh hanya yang bisa berbahasa Aceh.

Ketika nama Aceh ini digugat untuk diganti, sebagaimana yang diusulkan oleh Yusradi. Tidak ada argumen baru yang bisa disampaikan oleh para pihak penolak, selain memutar kaset rusak tentang nama Aceh yang terkait sejarah panjang peradaban besar, sejarah persatuan semua etnis di bawah nama Aceh dan berbagai nostalgia berbau pengagungan masa lalu lainnya.

Tapi tentu saja argumen usang ini mudah sekali digugat. Kalau memang alasannya adalah sejarah. Kenapa sejarah itu harus berhenti pada masa kurang dari 1000 tahun yang lalu, ketika nama Aceh muncul. Kalau memang alasannya adalah sejarah, kenapa tidak langsung ditarik pada 7000 tahun yang lalu. Di mana telah terbukti secara ilmiah ada peradaban manusia yang tinggal di bagian Bumi yang sekarang dinamakan dengan Aceh ini. Toh anak keturunan dari manusia yang sudah mendiami negeri ini sejak 7000 tahun yang lalu itu masih bisa ditelusuri dengan tes DNA?

Agus Wandi seorang aktivis mahasiswa Aceh angkatan 98, menganggap pergantian nama Aceh itu sebagai sesuatu yang sangat mungkin dilakukan demi kemaslahatan bersama “Inggris saja pakai nama ‘United Kingdom’ atau Great Britain utk mengakomodir 3 entitas (England, Wales dan Skotlandia).”, Kata Agus Wandi.

Jadi sebenarnya kalau Aceh benar-benar tulus ingin tetap bersatu dalam satu wilayah administrasi dengan belasan suku lain yang merupakan penduduk asli daerah ini. Alasan sejarah, identitas yang sudah melekat dan segala macam argumen usang , untuk menolak pergantian nama Aceh, sama sekali tidak relevan. Birma yang merupakan nama negara saja, bisa mengganti nama kok.

Kalau kita mau jujur, sebenarnya satu-satunya alasan kenapa nama Aceh tidak bisa diganti dan tetap ingin dipertahankan adalah karena mayoritas yang diuntungkan dengan adanya nama itu. Mereka tidak ingin dominasinya diganggu.

Dan solusi lain yang paling elegan untuk tetap mempertahankan nama Aceh sebagai nama provinsi ini adalah membiarkan etnis-etnis non Aceh untuk mendirikan provinsi sendiri. Dengan begitu semua polemik terselesaikan. Tak akan ada lagi yang protes tentang Wali Nanggroe yang mensyaratkan harus berbahasa Aceh, tak akan ada lagi yang tersinggung mendengar pernyataan, “Orang Aceh, hanya yang bisa berbahasa Aceh”, “orang Aceh tak punya marga di belakang namanya”.

Hanya dengan mengganti nama Aceh dengan nama yang lebih umum, sebutlah menjadi ‘Provinsi Ujung Sumatra’ misalnya. Banyak masalah akan lenyap dengan sendirinya. []

*Pengamat sosial politik

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.