Oleh Yusradi Usman al-Gayoni*
BAHASA bukan semata berfungsi sebagai alat komunikasi antarpenutur, melainkan menggambarkan identitas (peradaban) masyarakat. Semua yang berhubungan dengan masyarakat penutur bahasa yang bersangkutan tergambar dalam bahasa yang dipakai. Bahasa, kata Friedrich Schiller, tak ubahnya seperti cermin suatu bangsa. Saat kita bercermin, maka akan kelihatan diri kita sendiri.
Dengan begitu, saat bahasa ini retak dan pecah “punah,” maka diri kita sendiri (masyarakat suku-suku di Aceh) akan ikut pecah/punah. Akibatnya, kita tidak lagi bisa bercermin. Hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat penutur bahasa-bahasa lokal di Aceh pun tidak bisa lagi dicermini, dikenali, dan dijejaki. Kepunahan bahasa-bahasa lokal di Aceh terjadi tak ubahnya seperti bencana pebadaban. Aceh tidak lagi kaya dengan bahasa, adat istiadat, dan budayanya. Suku-suku bangsa yang ada di Aceh “turut punah.” Sebaliknya, jadi miskin. Karena, hanya didiami satu atau dua suku mayoritas. Sementara, sebagian besar peradaban ini-bahasa-bahasa di Aceh akan punah (yang justru lebih banyak pada suku-suku minoritas).
Dari sisi jumlah penutur, bahasa yang paling aman di Aceh adalah bahasa Aceh. Dukungan penutur bahasa ini lebih dari satu juta penutur. Namun, dukungan jumlah penutur yang banyak ini pun tidak menjamin keselamatan suatu bahasa. Kunci utamanya ada sama penuturnya. Selama penuturnya mempelajari, menggunakan, dan mengajarkan bahasanya kepada generasi yang lebih muda, maka bahasa tadi akan selamat.
Sebaliknya, jikalau penuturnya sendiri sudah meninggalkan bahasanya, maka bahasa tadi pun akan punah, cepat atau lambat. Bahasa kedua yang aman dari jumlah penutur adalah bahasa Gayo. Bahasa Gayo dituturkan sekitar 500 ribu penutur baik di tanoh Gayo, Aceh maupun di luar Aceh (daerah-daerah di Indonesia dan luar negeri).
Bahasa Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jamee, Devayan, Sigulai, Haloban, dan bahasa Lekon sendiri penuturnya lebih sedikit lagi dari bahasa Gayo. Dengan demikian, peluang keterancaman kepunahannya pun lebih besar. Di sisi lain, saat ini, jumlah orang Jawa di Aceh saat ini menempati posisi kedua setelah Aceh, dan ketiga orang Gayo.
Langkah penyelamatan
Seperti disebutkan, dukungan jumlah penutur itu tidak menjamin keselamatan/kelestarian bahasa. Kesehatan, keselamatan, kelestarian, dan keterwarisan bahasa terletak pada tingginya kesadaran penuturnya. Dalam arti, mereka terus mempelajari, menggunakan, dan mewariskan bahasa lokalnya masing-masing kepada generasi-generasi berikutnya.
Menyangkut kondisi mikro kebahasaan, kesadaran inilah yang perlu dikampayekan terus menerus. Bagaimana penutur bahasa-bahasa lokal di Aceh sadar akan penting dan berharganya bahasa lokal mereka. Kondisi makro yang memengaruhi bahasa lokal tadi rasanya tidak bisa dihidari, yaitu adanya pendatang, perkawinan silang, bermigrasinya penutur bahasa yang bersangkutan ke tempat lain, bencana alam, pendidikan, perkembangan informasi dan teknologi, media serta sosial politik lokal.
Langkah berikutnya adalah dengan memperbanyak dokumentasi baik audio, visual maupun tertulis. Terlebih lagi, orang-orang yang paham tentang pengetahuan lokal semakin berkurang (meninggal satu per satu). Selama ini, alih budaya juga lebih banyak terjadi melalui lisan. Memang, harus diakui bahwa dokumentasi suku-suku selain Aceh masih sangat terbatas. Suku Gayo, katakanlah, buku yang menyangkut Gayo sendiri tidak lebih dari 500 judul baik yang ditulis orang Gayo maupun nongayo. Kemungkinan, dokumentasi suku lainnya di Aceh lebih sedikit lagi. Keberadaannya juga tidak tersedia secara lengkap-bisa dihitung dengan jari-di Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah di Gayo (Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Bener Meriah), tapi dikoleksi secara pribadi oleh pemerhati Gayo. Kemudian, tersimpan di Leiden, Belanda.
Jadi, kalau satu bahasa lokal di Aceh punah pada satu waktu, maka dukungan dokumentasinya sudah tersedia. Para peneliti dan orang-orang yang ingin mengetahui tentang bahasa/suku yang bersangkutan pada saat itu dapat dengan mudah mempelajari sekaligus menjejaki bahasa/suku tersebut. Yang tidak kalah penting, langkah pelestarian dan pewarisan bahasa lokal di Aceh harus dimasukan ke dalam kebijakan oleh eksekutif, didukung legislatif dan seluruh elemen sipil lainnya di Aceh. Misalnya, seperti output panitia tadi, menjadikan bahasa-bahasa lokal di Aceh sebagai muatan lokal yang dipelajari dari tingkat TK, SD/MI, SMP/MTsn, SMA/MA, dayah sampai universitas.
Kemudian, adanya kebijakan penggunaan bahasa-bahasa lokal di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta pada hari tertentu di Aceh. Di samping itu, membentuk majelis/balai/dewan bahasa-bahasa lokal di Aceh: Balai Bahasa Aceh, Balai Bahasa Gayo, Balai Bahasa Alas, Balai Bahasa Singkil, dan seterusnya. Perguruan tinggi di Aceh juga dapat mengambil peran, yaitu dengan membetuk Fakultas Ilmu Budaya. Khususnya, di Universitas Syiahkuala, Universitas Malikussaleh, dan Universitas Gajah Putih.
Tanpa penyertaan kebijakan ini, langkah penyelamatan, pelestarian, dan pewarisan bahasa-bahasa lokal di Aceh mustahil berjalan dengan baik, lancar, fokus, maksimal, dan berkesinambungan. Pasalnya, kuasa anggaran, kebijakan, dan infrastruktur pelaksana kebijakan ada di eksekutif dan legislatif. Yang perlu diperhatikan betul-betul dalam penerapan kebijakan tadi, yaitu harus ada zonasi muatan lokal. Bahasa Aceh, Gayo, Alas, Singkil, Tamiang, Kluet, Anak Jamee, Devayan, Sigulai, Haloban, Lekon, Pakpak, dan bahasa Nias tetap dikenalkan di seluruh Aceh. Hasilnya, seluruh suku di Aceh bisa saling mengenal, memahami, menghargai perbedaan serta saling melengkapi dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Mesti disesuaikan
Akan tetapi, dalam pelaksanaan muatan lokal di lapangan mesti disesuaikan dengan zona penutur-berdasarkan hasil pemetaan bahasa-bahasa lokal tadi. Sebagai contoh, bahasa Aceh hanya dipelajari di pesisir Aceh dan tidak dipasakakan dipelajari di daerah-daerah nonaceh. Demikian dengan bahasa Gayo, hanya dipelajari di daerah-daerah Gayo, mulai dari Aceh Tengah, Gayo Lues, Bener Meriah, sebagian Aceh Tenggara, Lokop/Serbejadi di Aceh Timur, Kalul di Aceh Tamiang, Betung di Nagan Raya, Lhok Gayo di Aceh Barat Daya, sampai lintas propinsi di Sibayak Linga (Provinsi Sumatera Utara). Selanjutnya, bahasa Alas hanya dipelajari di Aceh Tenggara, Singkil di Aceh Singkil dan Kota Subulussalam; bahasa Tamiang di Aceh Tamiang, dan seterusnya.
Dengan cara seperti ini, bahasa-bahasa lokal di Aceh bisa hidup leluasa dan setara semuanya. Karena, diberi ruang hidup yang besar pada masyarakat penuturnya. Kebalikannya, jika hanya bahasa Aceh yang dijadikan muatan lokal dan harus dipelajari di seluruh Aceh, maka yang terjadi adalah penyeragaman dan makin mengkerdilkan/menghilangkan bahasa-bahasa/suku-suku lain selain bahasa/suku Aceh. Dengan kata lain, terjadi Acehnisasi. Hal ini tak ubahanya seperti Jawanisasi pada masa Orde Baru berkuasa.
Apalagi, dari sisi nama daerah ini, Provinsi Aceh, suku-suku non-Aceh sudah dirugikan. Nama ini seringkali ini hanya merujuk kepada entitas tunggal, bahasa/suku Aceh. Penggunaan dan tujuannya juga sesuai kepentingan pembawanya. Kalau nama provinsi ini pun ikut diubah, menjadi Provinsi Serambi Mekkah, misalnya, tentu akan lebih baik lagi. Akibatnya, bahasa-bahasa/suku-suku non-Aceh makin merasa dihargai, setara, “tidak dikerdilkan”, “tidak dikorbankan” dan selalu diwakili bahasa/etnik mayoritas, Aceh.
* Yusradi Usman al-Gayoni, S.S., M.Hum, Peneliti dan Penulis buku Ekolinguistik.
Email: algayonie[at]yahoo.com
Sudah diterbitkan di Serambi Indonesia, Senin, 6 Juli 2015, dengan judul Bencana Peradaban : http://aceh.tribunnews.com/2015/07/06/bencana-peradaban?page=3