Oleh : Win Wan Nur*
PERANCIS jamak dikenal sebagai negara pelopor demokrasi modern dengan semboyan “Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan” (Liberté, Egalité, Fraternité). Atas dasar tersebut, Perancis sejak lama menerapkan sistem perbatasan terbuka.
Sesuai dengan semboyan negaranya, Perancis seolah adalah model bagi pluralitas dan keberagaman. Sehingga sejak dulu, Perancis seolah menjadi surga bagi perantau yang disebut ‘Koro Jamu’ dalam istilah Gayo (sebagaimana pernah diulas oleh Yusra Habib Abdul Gani)
Tapi pada pemilihan presiden Perancis tahun 2012 silam. Perancis dan juga dunia dikejutkan dengan perolehan suara 18% yang didapat oleh Marine Le Pen yang merupakan Ketua Umum ‘Front National’, partai ekstrim kanan yang dikenal dengan semangat anti Imigran atau ‘Koro Jamu’.
Dengan prinsip negara yang seperti itu semangat Anti ‘Koro Jamu’ terdengar aneh bagi orang Perancis, dan tidak mengherankan ketika pada Pemilu Presiden tahun 2002, saat Jean-Marie Le Pen, ayah kandung Marine, berhasil menyingkirkan Lionel Jospin di putaran pertama pilpres dan lolos ke putaran kedua untuk menantang Jacques Chiraq. Chiraq menang telak dengan mengantongi 82,2% suara. Dan berdasarkan informasi dari berbagai polling yang dilakukan berbagai lembaga, diketahui bahwa 71% suara yang didapatkan Chiraq hanya karena alasan pemilih tidak ingin Le Pen menjadi Presiden Perancis.
Tapi keberhasilan Le Pen menyingkirkan Jospin adalah bukti nyata bahwa ada masalah antara ‘pribumi’ Perancis dengan ‘Koro Jamu’. Banyak orang Perancis yang merasa bahwa ‘Koro Jamu’ yang diterima oleh Perancis dengan tangan terbuka, setelah berada di Perancis mereka menikmati segala fasilitas dan kebaikan yang diberikan Perancis, tapi para ‘Koro Jamu’ ini tidak menghormati nilai-nilai Perancis dan ingin mengubah Perancis menjadi seperti negara asalnya. Banyak penduduk Perancis yang kemudian tidak rela, tingginya pajak yang mereka bayar digunakan untuk membiayai para ‘Koro Jamu’ yang mereka anggap tidak menghargai nilai-nilai Perancis ini.
Masalah ini tidak berhasil ditangani dengan baik oleh Chiraq dan juga penggantinya Sarkozy, sehingga sentimen ini membesar dan terjadilah peristiwa bersejarah di atas.
Imbas dari kegagalan ini membuat ‘kejutan’ tidak kunjung berhenti.
Dua tahun berselang, ketika dilakukan pemilihan untuk anggota Parlemen Eropa. Sejarah lebih mengejutkan tercipta. FN memenangi pemilihan dengan 25% suara dan berhak menduduki 24 kursi dari 75 kursi Perancis yang tersedia di parlemen eropa.
Ilustrasi di atas, dengan Perancis sebagai contoh sengaja penulis sampaikan untuk menunjukkan bahwa isu ‘Koro Jamu’ dan ‘pribumi’ bukanlah isu lokal, melainkan isu dunia.
Dan kalau Perancis saja yang dianggap sebagai pelopor demokrasi modern masih diganggu oleh permasalahan ini. Apalagi negara-negara yang masih muda dan baru belajar berdemokrasi.
Misalnya sebut saja Malaysia, salah satu tetangga terdekat kita yang menerapkan kebijakan ‘Ketuanan Melayu’ dalam konstitusinya, untuk mencegah para ‘Koro Jamu’ berbuat macam-macam dan memastikan para ‘Koro Jamu’ tunduk di bawah aturan di negara mereka.
Dalam skala lebih lokal, Indonesia yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika juga tidak bisa melepaskan diri dari permasalahan ‘pribumi’ dan ‘Koro Jamu’ ini. Beberapa tahun silam, kebijakan Transmigrasi pemerintah Indonesia banyak menuai kritik karena dianggap menimbulkan kecemburuan sosial dan juga benturan sosial dan budaya dengan penduduk asli.
Selain transmigrasi, perpindahan penduduk secara alami juga tidak jarang menimbulkan gesekan. Sebenarnya gesekan seperti ini adalah hal yang lumrah dan mudah diatasi dengan cara dibicarakan ketika baru terjadi. Sayangnya, pemerintahan Orde Baru alergi sekali untuk membicarakan SARA. Satu-satunya cara yang diwariskan oleh Orde Baru untuk menghindari gesekan antara pribumi dan pendatang adalah dengan berpura-pura menganggap masalah itu tidak ada.
Akibatnya, ketidakpuasan dan kejengkelan inipun disimpan dan dipendam, menjadi bara seperti api di dalam sekam, menumpuk dan menekan seperti lava di dalam dapur magma.
Akhirnya, ketika tekanan sudah terlalu besar kemuakan sudah tidak mampu lagi ditahan. Api itupun keluar menimbulkan ledakan. Untuk kejadian di Sampit pada awal abad ini, api itu meledak menjadi menjadi tragedi kemanusiaan.
Saat itu suku Dayak di Sampit yang dibantu suku-suku dayak lain dari penjuru Kalimantan membantai pendatang dari seberang yang selama sekian puluh tahun mendominasi daerah mereka dan mereka rasakan sudah tidak lagi menghargai suku Dayak sebagai penduduk pribumi.
Tapi kedatangan ‘Koro Jamu’ ke suatu wilayah tidak selamanya menimbulkan masalah. Ada beberapa kelompok ‘Koro Jamu’ dari satu bangsa atau etnis tertentu yang bisa diterima dengan baik dan kemudian membaur secara harmonis dengan pribumi. Biasanya itu terjadi karena mereka (para Koro Jamu ini) mudah berbaur dan beradaptasi.
Untuk Perancis misalnya, sejak lama negara ini sudah menjadi daerah tujuan imigrasi. Saat ini justru sudah sulit sekali mencari orang Perancis asli. Karena orang Perancis sekarang sudah merupakan campuran dari orang Italia (seperti Platini misalnya), Spanyol, Portugis, Polandia dan berbagai negara eropa lainnya. Tapi mereka semua bisa menerima nilai-nilai Perancis dan bahkan kemudian melebur menjadi satu identitas Perancis.
Di Indonesia ada etnis Minangkabau yang dikenal sebagai etnis perantau. Salah satu elemen kesuksesan etnis Minang sebagai perantau adalah prinsip « dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung »
yang merupakan tata nilai yang ditanamkan oleh kultur minang yang kemudian tanpa disadari telah menjadi kepribadian warga minang.
Dengan prinsip seperti ini, kita jarang sekali mendengar dengar ada konflik penduduk setempat dengan warga minang. Kemudian, meski mereka tetap memegang kuat adat dan budaya minang, tapi warga minang sangat menghargai budaya dan otoritas warga setempat.
Di Bali, warga Minang malah mengangkat tokoh Bali beragama Hindu sebagai ninik mamak pelindung warga Minang di provinsi dengan penduduk mayoritas Hindu ini.
Tapi di samping karakter ‘Koro Jamu’ sebagai pendatang, karakter dari penduduk pribumi juga sangat menentukan harmonis atau tidaknya hubungan antara ‘Koro Jamu’ dengan penduduk setempat.
‘Koro Jamu’ hanya bisa bertindak semaunya di tempat perantauannya kalau penduduk setempat tidak tegas dan melakukan pembiaran. Tapi kalau penduduk setempat bertindak tegas, menegakkan harga diri dan prinsipnya. ‘Koro Jamu’ dengan karakter sekeras dan sedominan apapun, tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Perancis dan Sampit adalah contoh dimana ‘Koro Jamu’ dibiarkan bertindak semaunya, sampai pada tahap menimbulkan ketidak nyamanan kolektif.
Berbeda dengan Bali yang begitu kuat dan teguh memegang adat dan budayanya. Saat bibit-bibit ketidak nyamanan ini mulai muncul, mereka dengan segera mengantisipasinya.
Karena itulah ‘Koro Jamu’ yang dikejar di Sampit yang banyak dikenal semaunya di perantauan, tidak bisa melakukan hal yang sama di Bali. Karena ketika mereka mulai bersikap di luar jalur yang bisa diterima, masyarakat Bali yang begitu kuat adat dan budayanya akan langsung bergerak.
Nah Gayo bagaimana?.[]
*Pengamat sosial politik, tinggal di Bali