‘Devide et Impera’ Bukti Bahwa Aceh Mulai Serius Memandang ALA

oleh

Oleh : Win Wan Nur*

wwnTanpa terasa, 14 tahun sudah berlalu sejak ide pembentukan provinsi ALA dibahas dengan serius di Brastagi, Sumatera Utara, pada Mei 2001.

Sudah hampir 10 tahun berlalu sejak Oktober 2005, ketika sekitar 500 orang melakukan demonstrasi di Jakarta, untuk menuntut berdirinya Provinsi ALA.

Berbagai dinamika terkait dengan pro dan kontra terjadi selama kurun waktu itu.

Saya sendiri pada awal ide ini bergulir, termasuk salah seorang yang menolak sangat keras ide pembentukan provinsi baru yang akan memecah Aceh ini. Latar belakang penolakan saya itu karena pengalaman saya berinteraksi dengan rekan-rekan Aceh pesisir yang karakternya berbanding terbalik dengan klaim-klaim yang disampaikan rekan-rekan pendukung ALA.

Dalam interaksi dengan rekan-rekan Aceh pesisir di Aceh yang sedang menerima tekanan berat dari negara Republik Indonesia. Tak bisa dihindari saya pun ikut merasakan bagaimana perlakuan tidak adil yang diterima Aceh dari negara. Saya sangat memahami kenapa Aceh marah dan menuntut haknya.

Ketika perjuangan dalam usaha mendapatkan hak-hak Aceh ini sedang marak-maraknya dan sepertinya akan segera mencapai puncaknya. Tiba-tiba ide pembentukan Provinsi ALA ini muncul.

Ini rasanya seperti menikam dari belakang.

Kegeraman saya semakin bertambah ketika dalam usaha mencari perhatian Jakarta untuk pembentukan provinsi itu. Simbol-simbol etnis mayoritas di negara ini, dipakai dan memposisikan diri sebagai korban.

Berbagai argumen dari rekan-rekan pendukung ALA pada masa itu yang menggambarkan berbagai perlakuan tidak adil yang diterima Gayo dan etnis-etnis minoritas di Aceh tidak dapat saya terima. Alasannya, Aceh mendapat diskriminasi yang jauh lebih parah dari Jakarta. Saya pun saat itu melihat pemerintah Aceh yang berkuasa, yang memperlakukan Gayo dan etnis-etnis minoritas yang rata-rata berdiam di calon provinsi ALA adalah perpanjangan tangan Jakarta. Jadi dalam pandangan saya pada masa itu, segala ketidak adilan yang diterima oleh warga yang berdiam di calon provinsi ALA adalah ulah Jakarta.

Dengan cara pandang seperti itu, saya melihat ide pembentukan ALA tidak lain adalah upaya adu domba yang dilakukan Jakarta untuk melemahkan perjuangan Aceh dalam menuntut hak-haknya.

Waktu berlalu, Tsunami dahsyat melanda Aceh. Bencana alam terdahsyat sepanjang sejarah peradaban modern ini menjadi jalan bagi Aceh dan Jakarta untuk berdamai. MoU perjanjian damai pun ditanda tangani. Aceh sepakat untuk tidak memisahkan diri dari Indonesia, tapi sebagai kompensasi, Aceh diberikan banyak hak istimewa yang membuat Aceh lebih layak disebut sebuah negara federal daripada sekedar provinsi.

Pasca MoU, dalam menjalankan kebijakan pemerintahan, pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati. Campur tangan Jakarta, bisa dikatakan kecil sekali. Aceh kini benar-benar leluasa mengurus dirinya sendiri.

Perkembangan terbaru ini membuat isu ALA terlihat sama sekali tidak seksi. Pada saat itu, saya termasuk dalam kelompok yang sangat bahagia melihat perkembangan ini. Kinilah saatnya segala argumen saya pada rekan-rekan para pendukung ALA dulu akan terbukti.

Sebagaimana saya katakan, ketika Aceh sudah lepas dari kontrol Jakarta, tidak akan ada lagi diskriminasi. Semua hak, budaya dan bahasa etnis minoritas akan didukung untuk berkembang. Dalam penentuan pejabat dan pemegang kebijakan tak akan ada lagi sentiment etnis. Sebab Aceh pada dasarnya adalah sebuah bangsa, bukan provinsi. Aceh sebagai bangsa, adalah bangsa yang majmuk yang terdiri dari berbagai etnis yang hidup dengan setara.

Optimisme saya semakin membuncah, melihat fakta begitu banyaknya anak muda brilian dari Aceh yang mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di luar negeri. Ketika mereka pulang nanti, tentu saja selain ilmu praktis, mereka akan membawa mentalitas kosmopolitan. Memandang diri sebagai warga dunia yang tidak memandang etnisitas, ras dan warna kulit.

Tapi apa lacur, selain perkembangan positif ini. Sisi gelap dari kebebasan juga mulai menampakkan diri. Konservatif, rasa superioritas kesukuan yang selama ini, ketika Aceh tertekan, tidak punya celah untuk muncul ke permukaan. Dalam suasana bebas ini, akhirnya menemukan lahan subur untuk berkembang.

Sempat terjadi tarik menarik antara dua kelompok yang muncul dengan adanya kebebasan ini. Kelompok yang tercerahkan dengan kelompok yang konservatif, megalomania dan arogan.

Dan apa boleh buat, dalam tarik menarik ini kelompok kedua lah yang menang.

Alih-alih seperti yang saya katakan “hak, budaya dan bahasa etnis minoritas akan didukung untuk berkembang”. Yang terjadi kemudian malah bertolak belakang. Dari sisi bahasa, alih-alih menjadikan semua bahasa setara. Bahasa Aceh dipaksakan menjadi bahasa yang posisinya lebih tinggi.

Tidak pernah terjadi sebelumnya, seorang anggota parlemen terpilih secara terbuka melecehkan bahasa sekaligus etnis non Aceh di depan umum, bahkan diliput wartawan. Para seniman pun mulai terang-terangan menunjukkan dominasi kesenian Aceh dan merendahkan kesenian etnis lain, bahkan Saman yang jelas-jelas warisan budaya Gayo, oleh salah seorang seniman Aceh digugat kegayoannya dan dibelokkan menjadi seni Aceh secara umum.

Jangan cerita soal pemilihan pejabat dan pemegang kebijakan serta pemerataan pembangunan.

Klaim saya saat menolak ALA yang mengatakan bahwa Aceh, Gayo dan etnis-etnis minoritas lain adalah saudara sebangsa, satu jiwa, satu rasa. Terbukti hanyalah klaim kosong tanpa makna.

Ketika Gayo dan etnis-etnis minoritas lain dihina sebagai ‘Orang yang tidak jelas’ oleh seorang anggota DPRA bernama Abdullah Saleh. Sama sekali tak ada reaksi dari para cendekiawan dan para aktivis yang berasal dari etnis mayoritas. Ketersinggungan atas penghinaan itu, nyata terlihat hanya dirasakan oleh kelompok etnis minoritas saja. Saudara sebangsa, satu jiwa, satu rasa terbukti hanyalah dongeng indah yang disenandungkan ketika masih berada dalam masa sulit, sebelum tangan menggenggam kuasa.

Yang lebih mengkhawatirkan, bahkan para intelektual yang bergabung lembaga kajian paling berpengaruh semacam Aceh Institute pun ternyata adalah kumpulan pengagum Malaysia. Negara yang merasa pemberian hak istimewa kepada etnis mayoritas adalah sesuatu yang sudah seharusnya. Aceh Institute, terang-terangan menunjukkan sikap anti demokrasi ketika Dr. Kamarul Zaman Askandar , warga Malaysia yang mengaku sebagai salah satu pendiri lembaga ini memerintahkan untuk itu.

Singkatnya, pasca MoU dominasi etnis mayoritas, dipamerkan terang-terangan.

Tapi sebagaimana hukum fisika, aksi menimbulkan reaksi. Realitas sosial pun demikian.

Aksi yang ditunjukkan Aceh ini menimbulkan reaksi. ALA yang sempat mati suri, kembali mendapatkan energi. Argumen-argumen yang dulu disampaikan pendukung ALA kini sudah terbukti. Segala macam argumen kuat untuk menolak ALA yang dulu. Kini menjadi argument basi.

Awalnya Aceh pasca MoU, benar-benar menganggap remeh kebangkitan ini. Mulai dari masyarakat Aceh di akar rumput, aktivis, wartawan sampai pejabat melecehkan gerakan ini. Menyebutnya sebagai jualan basi para politisi pecundang untuk mendulang suara menjelang Pemilu.

Pemerintah Aceh dan masyarakat anti ALA bersorak gegap gempita, ketika Tagore, bupati yang paling keras bersuara menuntut ALA, dicampakkan oleh masyarakat Bener Meriah, daerah yang dipimpinnya. Tagore kalah dalam Pemilukada dan gagal menduduki kursi bupati untuk periode kedua.

Tapi pandangan ini ternyata tidak bertahan lama. Kinerja bupati pengganti Tagore yang tidak lebih baik, bahkan terkesan lunak kepada pesisir sehingga dengan entengnya memberikan kampung Gayo di perbatasan untuk masuk ke wilayah administratif kabupaten lain. Membuat peta dukungan cepat berubah . Tagore yang berencana mencalonkan diri jadi anggota DPR RI mendapat dukungan luas.

Aceh tampaknya mulai memandang serius persoalan ALA, dan politik kotor nan kampungan pun dilakukan untuk menggagalkan usaha Tagore. Golkar partai tempatnya bernaung, tidak memberinya peluang untuk mencalonkan diri. Tapi dengan berbagai lobi, PDIP memberikan kesempatan itu. Dan Tagore pun melenggang ke senayan.Terpilihnya Tagore menjadi sinyal kepada penguasa Aceh, bahwa aspirasi ALA bukanlah pepesan kosong.

Sejak peristiwa itu, meski secara terang-terangan (tentu saja) tidak diakui. Kita bisa melihat berubahnya pola pendekatan pemerintah Aceh terhadap wilayah calon provinsi ALA. Wakil gubernur mulai rajin berkunjung, bahasa-bahasa yang digunakan terhadap Gayo dan etnis minoritas lain pun mulai lebih santun. Abdullah Saleh tak lagi sembarangan berkoar.

Kautsar, sang ketua fraksi Partai Aceh malah menyitir syair To’et dalam pandangan umum di sidang DPRA.

Bukti paling aktual dari kekhawatiran dan mulai seriusnya Pemerintah Aceh memandang ide pembentukan Provinsi ALA ini adalah mulainya Aceh menggunakan pendekatan ‘Devide et Impera’ sebagaimana dulu digunakan Belanda dan juga Jakarta.

Strateginya juga persis sama, pemecahan dimulai dari daerah-daerah yang dukungannya kurang solid. Jika dulu Jakarta memilih Gayo, kini Aceh memilih Singkil dan kemudian Aceh Tenggara.

Terlepas apakah ini settingan atau memang murni kesadaran muncul dari para penolak ALA di daerah-daerah tersebut. Foto yang menampilkan Gubernur yang tersenyum sumringah di depan segelintir pemuda yang membentangkan spanduk menolak ALA. Jelas menunjukkan bahwa Aceh kini sudah tidak lagi memandang ide pembentukan ALA dengan sebelah mata.

Ini adalah sinyal bahwa mereka akan mulai serius menghambat berdirinya provinsi ini dengan berbagai cara.

Sementara buat pendukung ALA sendiri, berkaca pada apa yang dialami Aceh. Bahwa ketika Jakarta menggunakan strategi pecah belah ini. Justru ini adalah indikasi bahwa perjuangan semakin dekat ke tujuan.

Jadi, kiranya dalam menghadapi perkembangan baru ini. Para pendukung ALA hendaknya memandangnya secara proporsional. Ini adalah indikasi kemajuan perjuangan, lawan provokasi pecah belah itu dengan pendekatan santun penuh persaudaraan.

Jangan mengulang kesalahan Aceh saat menghadapi pecah belah Jakarta dengan cara mencaci maki Gayo. Sehingga yang terjadi, bukannya mendapat simpati. Aceh malah kehilangan banyak dukungan dari orang-orang Gayo yang sebenarnya anti ALA.

*Pengamat sosial politik, tinggal di Bali

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.