Salman Yoga S

Para ahli mendifenisikan tari tradisional sebagai sebuah tarian yang berkembang di suatu daerah tertentu, dengan adaptasi dan kebiasaan turun-temurun sehingga menjadi kebudayaan dalam pengertian yang sebenarnya. Jenis tari ini mempunyai ciri dan makna tertentu, maksud dan tujuan tertentu serta mempunyai filosofi dengan latarbelakang tertentu pula.
Perbedaan inilah yang membuat hampir setiap suku bangsa di dunia mempunyai jenis, folosofi dan karakter kesenian yang berbeda-beda. Dari setiap suku bangsa itu pula masing-masing mempunyai satu atau lebih jenis kesenian yang bernilai sakral. Dalam kesenian Aceh misalnya dikenal adanya kesenian Debus, yang mempunyai nilai kesakralan tersendiri ketika tarian itu diperankan dan dimainkan. Tari Saman dari Gayo Lues juga mengandung unsur mistis, adalah sesuatu yang biasa bila di antara pemainnya akan merasa adanya spirit yang luar biasa dalam dirinya ketika dimainkan.
Jumlah penariya yang selalu ganjil, antara tujuh, sembilan sampai tiga belas orang atau lebih kerasukan sehingga tampak lebih bersemangat, energik dan lincah melebihi kelenturan dan keseragaman sebagai sebuah tarian biasa. Semua itu amat terkait dengan sejarah lahir dan awal kemunculan tari Saman sendiri di tengah masyarakat, yang awalnya dijadikan sebagai media oleh terekat Naqsabandiyah dalam menyebarluaskan Islam di wilayah Gayo Deret. Konon masuk dan menyebarnya Islam di sana, berdasar hasil penelitian Husin, MA dalam tesisnya tahun 2003 menyatakan bahwa tidak lain dari peran kesenian. Kesenian tersebut adalah Saman, yang selanjutnya kerap disebut dengan nama Saman Gayo.
Kekayaan khasanah budaya dan kesenian Gayo, tarian yang mengandung nilai mistis dan sakral selain Saman adalah tari Guel. Nilai mistisnya terletak pada Guru Didong (penari tunggal Guel) dalam menggerakkan seluruh raga. Setiap gerakkan demikian bertenaga, lincah dan dinamis. Tiap-tiap perubahan gerak dan gaya mengandung filosofi dan makna tersendiri yang terkadang tidak dimengerti oleh sang penarinya sendiri. Kain ulen-ulen (kain selebar 1×2 meter yang dipenuhi sulaman kerawang Gayo) yang menjadi proferti utama, dihempas dan dikibas-kibaskan menyerupai kibaran bendera oleh angin kencang.
Tari Saman dan Guel dapat digolongkan sebagai tari tradisional folklasik, meski ditilik dari nilai estetik kedua tarian ini terdapat perbedaan yang mendasar. Saman tarian yang menjadi media dakwah, sedang Guel tarian mengandung unsur peniruan gerak alam. Sejarah Guel berdasar cerita rakyat (folklor) menyatakan bahwa tarian ini berawal dari mimpi Sengeda anak dari Reje Linge ke-XII yang mimpi bertemu abangnya Bener Meriah yang telah meninggal dunia akibat penghianatan. Melalui mimpi itu Sengeda memberi petunjuk bagaimana mendapatkan serta menggiring Gajah Putih ke Kuta Raja.
Guel, sebagai sebuah tarian lahir dan berkembang dari kreasi budaya Gayo berdasarkan interpestasi dari gerak dan perilaku Gajah Putih, yang dikristalkan berupa gerak-gerak simbolis dan hentakan-hentakan megis mengikuti irama yang syarat makna. Konon menurut sejarahnya, Gajah Putih tidak mau bangkit dari istirahat dalam perjalanan kalau tidak dihibur dengan tarian dan bebunyian. Dari kisah ini selanjutnya lahirlah sejumlah gerakan-gerakan tari Guel yang menyerupai gerak badan, ekor, kaki, telinga, dan belalai gajah.
Sejumlah tari tradisional dunia yang bermula dari nilai menghargai dan menirukan gerakan-gerakan hewan dan alam cukup banyak. Misalnya tari tari Naga dari China yang menggambarkan kegagahan, keningratan dan keberuntungan. Tari Kancet Lasan suku Dayak Kenyah yang menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, atau sejumlah tarian tradisional dari Bali seperti tari Cendrawasih, tari Kupu–Kupu, tari Manukrawa, tari Belibis. tari Tonga dari pulau Pasifik yang didasarkan atas mitos dan legenda penggambaran bunga, tari Tiwi suku Aborogin Australia, tari Buffalo yang dipercaya sebagai penghormatan terhadap hewan yang akan diburu dan lain sebagainya.
Kemunculan dan lahirnya tari Guel tidak jauh berbeda dengan sejumlah tarian-tarian tradisonal tersebut, meski dengan latar sejarah yang berbeda. Dalam sejumlah literatur disebutkan pula bahwa dari sejarah Gajah Putih inilah awal mula lahirnya sastra lisan berupa Didong dan jangin. Berdasarkan nilai estetisme, bentuk, pola dan karakteristinya, para pelaku serta pengamat dan kritikus seni Gayo berpendapat bahwa induk dari seni gerak (tari), sastra (seni bertutur, teater, kekeberen) serta seni lukis bersumber dari seni Didong dan tari Guel.
Nilai kesakralan tari Guel jauh berbeda dengan sakralnya tari Baris dari Bali yang digunakan oleh umat Hindu sebagai pelengkap upacara keagamaan. Guel lebih kepada mistisme penjiwaan nilai estetis manusia yang diaktualisasikan dengan gerakan-gerakan simbolik. Justru karena itu dalam masa kekinian lebih mengarah kepada momen-momen tertentu dimana Guel dapat ditarikan. Tidak sembarang panggung dan tidak sembarang pentas, Guel dapat memancarkan auranya sebagai sebuah tarian tradisional yang bernilai mistis dan sakral. Tidak berlebihan jika pementasan atau memainkan Guel amat bergantung kepada ketulusan, kebersihan bathin dan jalinan emosi antara sang penari dan pemusik.
Hal lain yang membuat Guel sakral dan menjadi sebuah tarian yang menjadi ciri khas masyarakat Gayo ini adalah alat musik pengiring. Keterkaitan dan irama alat musik menjadi penentu lincah, mistis dan sakralnya tari Guel. Karena alat musik yang mengiringi Guel juga mempunyai syarat tertentu untuk dapat dijadikan sebagai pengiring. Yaitu bahwa alat musik tersebut benar-benar harus berasal dari alam murni, bukan alat musik hasil teknologi. Ia harus benar-benar orisinil secara tekstur dan bunyi, bukan barang hasil curian atau pinjaman yang pemiliknya tidak ikhlas.
Syarat terpenting lainnya adalah bahwa alat tersebut harus dimainkan oleh orang yang benar-benar mengerti dan faham tentang gerak pakem tari Guel dengan berbagai nama dan jenis gerakan, mulai dari sining, munatap, jentik, gerdék, gerdak, jingket, kipes bayur dan lain sebagainya. Karena bukan mustahil sang penari Guel akan kehilangan spirit apabila semua proferti dan bunyi-bunyian yang mengirinya tidak sejiwa dengan esensi dari filosofi gerak Guel itu sendiri. Di antara alat musik yang telah baku digunakan sejak zaman dahulu dalam mengiringi tari Guel adalah canang, gegedem, seruling (suling ines), teganing dan repai. Namun demikian tidak mengingkari hadirnya jenis alat musik lain yang masih seirama dan sesuai dengan keorisinilannya secara tekstur dan bunyi.
Guel pada dasarnya hanya dimainkan oleh satu orang, yang disebut dengan Guru Didong. Betapa sakral dan mistis tari Guel sehingga tidak sembarang orang dapat memainkannya dengan baik. Walaupun dalam perkembangan selanjutnya Guel kerap ditarikan disembarang moment, sesungguhnya yang demikian adalah serpihan kecil dari gerak Guel yang sebenarnya.
Sejarah perkembangan seni tari di Gayo, Guel telah mengalami perubahan dan perkembangan gerak dari gerak baku (pakem) yang sebenarnya. Namun demikian Guel telah menjadi induk dari semua tarian Gayo, ia merupakan acuan utama dalam melahirkan gerakkan-gerakan kreasi baru. Oleh karenanya tidak heran jika nilai “mistis” dan kesakralannyapun tanpa disadari lambat laun telah pula mengikis secara perlahan. Usaha melakonkan dan menarikan Guel saat ini lebih mengutamakan artistik instan (dance peforment) dari pada memancarkan keindahan dan kesakralannya sebagai sebuah tarian tradisi bermuatan dan bernilai sejarah (charged and historical value). Sehingga tidak heran jika kemudian Guel-pun secara perlahan mulai mengalami pengikisan nilai dan estetis. Nilai sebagai sebuah filosifi tarian dan simbolisasi gerakan seekor gajah bertuah.[]