Catatan Perjalanan Arfiansyah*
Jenis-jenis Ikan di Sungai Samarkilang
Sesampainya di sungai dia kemudian meminta kami menunggu. Dia pergi menyusuri dan melintasi sungai.Tidak sampai 1 jam, dia kemudian kembali dengan tangkapan yang lumayan banyak. Saya, yang tidak tahu apa-apa tentang ikan sungai, kemudian bertanya tentang jenis dan cara menangkap ikan tersebut. Saya beruntung, dia belum bosan meladeni kebodohan saya.
Dengan semangat dia menjelaskan “ikan yang saya tangkap ini jenis Gegaring, Lemedok, Sepoy, Paitten, Mungkus, dan Birah Mata. Di sungai ini hidup sekitar 20 jenis ikan; Gegaring, Lemeduk, Sepui, Mungkus, Paitten, Kebaro, Lekis, Aliali, Baung, Gedubang Malim, Maut, Bado, Lokot, Bujuk, Denung, Relo, Kapras, Birah Mata, Gemuh, dan Gembulen.
Kalau malam hari, hasil tangkapan kami bisa mencapai 1 karung, tapi ini kalian datangnya siang.Jadi Cuma bisa sedikit.Pada musim banjir malah kita hanya perlu membawa kantung ikan.Ikan-ikan, terutama jenis Paitten, biasanya lari ke pinggir sungai menghindari derasnya aliran sungai.Tapi kita juga harus berlomba dengan Harimau.Harimau juga menyukai ikan sungai ini, meski hanya memakan kepalanya saja”.
Shahrun kemudian menceritakan pengalamannya di Medan membeli ikan jenis Gegaring.“Waktu saya ke medan, ada seorang ibu menjual ikan Gegaring lumayan besar yang masih hidup.Karena ingin sekali menikmatinya, saya hendak membeli dan bertanya ‘berapa harganya ibu’. ‘dua saja, nak!’ saya kira hanya dua ratus ribu satu ekornya, ternyata dua juta. Akhirnya saya urungkan niat saya’. Kenangnya.
Sambil berjalan pulang, Fakhruddin dengan ketajaman insting pemberdayaan masyarakatnya kemudian mengusulkan “ikan ini akan menjadi modal luar biasa bagi bagi masyarakat disini kalau dibudidayakan. Peminat ikan ini sangat luar biasa tapi sudah jarang sekali sampai ke pasar Pondok Baru dan Takengon. Kalau dibudidayakan ini akan menjadi penghasilan ekonomi tambahan warga”.
Di tengah jalan, kami menemukan dua sepeda motor dipingir jalan dan ditutupi semak belukar. Pak Huda kemudian memeriksa sekitar sembari berkeluh kesah “banyak sekali yang masuk kesini namun tidak pernah melapor. Nanti kalau sepeda motornya hilang, baru dia melapor. Kalau sudah demikian, mana bisa kami bantu. Kedatangan mereka saja tidak kami ketahui, tiba-tiba melapor kehilangan sepeda motor”.
“Biasanya mereka ngapain kesini Pak?” tanya Fakhruddin singkat. “Mereka biasanya memancing” Jawab pak Huda. “Apa mereka mengunakan alat-alat dan obat ekstra Pak”. Tanya Fakhruddin kembali.“Alhamdulillah, selama ini belum pernah kita temukan. Kasihan sekali kalau ada. dulu waktu kejadian di Serule, ikan Gegaring yang besar-besar pada mati dan berbau amis mengalir kesini. Saya menangis melihatnya. Hampir 1 tahun kami tidak bisa mendapatkan ikan lagi untuk dikomsumsi. Disini kalau ada yang melakukan demikian, kami akan denda sangat berat. Kalau pemuda yang dapati, mungkin sepeda motor pelaku akan dibakar”. Tegasnya dengan eskpresi yang prihatin mengingat ikan-ikan besar dan anak-anaknya mati.
Dan eskpresi yang tidak berlebihan karena ikan tersebut adalah sumber asupan protein utama mereka. Pasokan protein mereka sepenuhnya berasal dari aliran sungai dan daging-daging binatang dari belantara hutan. Karenanya mereka tidak rakus dan lebih memilih bersahabat dnegan alam. Padahal, bila ingin rakus dan menjadi kaya raya dengan cepat, sungai dan hutan di sekitar mereka sudah cukup untuk memenuhi nafsu mereka. Namun, hingga saat ini sungai dan hutan masih lestari dan asri.
Sesampainya di rumah, istri Pak Huda, Ibu Rabuna, telah menyiapkan bumbu untuk memasak ikan, bumbu Masam Jeing.Sambil menunggu, Pak Huda kemudian berkeluh kesah tentang mesin PLTA. “Selama dua bulan ini, desa-desa disini gelap gulita. Mesin PLTA yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi pada tahun 2012 tidak bisa beroperasi untuk menerangi 10 desa.Kami harus mengantikan karet mesinnya seharga 24 juta. Sekarang baru terkumpul 6 juta. Entah kapan kami bisa mengumpulkan uang sebanyak 24 juta. Itu pun baru harga beli,belum termasuk ongkos kirim” Jelasnya. Shahrun kemudian bertanya, “apakah masyarakat membayar aliran listrik yang mereka gunakan?”.“Iya”, jawab Adha. “masyarakat membayarnya seperti di kota. Ada buku rekeningnya. Tapi sepertinya kami belum bisa memanejemen pembayaran tersebut, lagi pula kami sangat bergantung pada satu orang teknisi. Mau bagaimana lagi, dengan keadaan seperti ini, kemampuan kami mengelola sumber daya yang kami miliki masih jauh dari mumpuni,” ujar Adha pasrah.
Tanpa kami sadari, Ibu Rabuna sudah mulai menyiapkan hidangan istimewa untuk kami. Saya dan Shahrun berebutan mendapatkan porsi ikan yang paling besar, maklum ikan langka dan harganya selangit.Sembari menikmati makan siang, Pak Huda bercerita sedikit tentang kebersamaanya dengan Ilyas Leubee ketika pak Huda masih remaja. “Ilyas Leubee sering sekali kesini dan makan disini. Namun, tidak suka dengan ikan ini”. (sambil menunjuk jenis Paitten), katanya kepala ikan ini pahit sekali. sehingga, dia selalu pilih-pilih ikan heheh..” kenangnya.
Kemudian dia juga menceritakan pengalaman saudaranya yang kepingin sekali makan ikan Gegaring. “kebetulan kami mendapatkan beberapa ikan Geraring besar yang memiliki piere (telur). Dia lahap sekali memakannya.Saya ingatkan ‘jangan banyak-banyak makan pire-nya, nanti kamu mabuk.Bukan berarti saya melarang ya, namun nanti kamu sendiri yang sayang’. Tapi saudaranya itu tidak peduli dan tetap saja menghabiskan semua pire ikan besar tesebut. Tidak lama berselang dia pun muntah berat. Namun masih tetap saja dia melahapnya, hingga muntah 3 kali dan tidak bisa bangun lagi karena pening berat baru kemudian dia berhenti”.Ceritanya sambil tersenyum-senyum lucu mengingat kejadian itu.
Bagian 1 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.1)
Bagian 2 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.2)
Bagian 3 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.3)
*Penulis adalah mahasiswa S3 Bidang Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda dan juga Peneliti diInternational Centre for Aceh and India Ocean Studies (ICAIOS) dan terlibat di Redelong Institute, Bener Meriah.