Samarkilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal [Bag.1]

oleh

Catatan Perjalanan Arfiansyah*

Arfiansyah
Arfiansyah

Sore itu menjelang Magrib, Jumat 6 Februari 2015, setelah menemui seseorang di Simpang Tiga Redelong, seperti biasa saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke Redelong Institute (RI).Saya dapati direktur RI, Fakhruddin, baru selesai memberikan pelatihan gratis tentang Pelayanan Publik kepada beberapa mahasiswa dari Universitas Gajah Putih.Dengan bermodalkan pelatihan tersebut, mahasiwa diharapkan dapat membantu pemerintah untuk meningkatkan pembangunan daerah asal masing-masing.karena di antara mereka terdapat dua orang mahasiswa asal Samarkilang, Khairil Adha dan Matmaja, ide untuk ke Samarkilang pun tiba-tiba muncul dan mereka tawarkan“mau ke Samarkilang?” Fakhruddin dan Shahrun mengajak saya.“Kalau mau,  kita akan ditemani oleh dua orang mahasiswa asal Samarkilang ini dan menginap semalam disana?” ujar Shahrun sambil menoleh ke arah Adha dan Matmaja. Tanpa pikir panjang, lansung saya iyakan ajakan ke daerah yang belum pernah saya kunjungi tersebut.

Setelah shalat Magrib kami langsung berangkat mengunakan tiga buah sepeda motor.  Saya sedikit was-was karena menurut kabar perjalanan ke Samarkilang  menghabiskan waktu empat jam paling cepat. Prediksi saya, kami akan sampai jam 12 malam.namun ternyata itu kabar dulu. Kini perjalanan kesana bisa ditempuh hanya dalam 2,5 jam saja. Setelah melewati desa Uning Berteh dan mulai memasuki jalan yang sedang dalam pengerasan, kami mulai memasuki menelusuri jalan di tengah hutan belantara. tidak ada pemandangan kanan kiri yang bisa dinikmati. Sepanjang jalan gelap gulita, hanya ada beberapa penerangan di titik-titik sangat tertentu saja.

Memasuki daerah Tembolon, beberapa rumah terlihat terang dengan aliran listrik tenaga surya.Sedangkan kebanyakan rumah lainnya hanya terlihat cahaya lampu teplok mengintip dari selah-selah dinding rumah.Keadaan ini jauh berbeda dari Pondok Baru yang terang Benderang di malam hari.Di desa ini, gedung-gedung pemerintahan, Sekolah dan Polres terlihat jauh lebih gagah dan megah daripada rumah-rumah penduduk yang terbuat dari bahan kayu dan telah tampak mulai menua. Meskipun berbeda, namun, bergantung pada sumber penerangan yang sama, Tenaga Lampu Templok (TLT). Saat it, waktusudah melewati sedikit pukul 20.00 Wib, namun desa tersebut terlihat sunyi kecuali 1 rumah yang juga sebuah bengkel sepeda motor. Disana, beberapa warga bersama anak-anak berkumpul sedang menyaksikan program televisi. Pemandangan tersebut mengingatkan saya pada masa kecil di Takengon pada akhir tahun 1980an, ketika televisi masih menjadi barang langka.Kami menonton film bersama-sama di rumah tetangga.Pada tahun 1990an, banyak rumah sudah memiliki televisi, termasuk rumah orang tuanya saya. Namun di Tembolon, itu adalah cerita abad 21, tahun 2015.

Anak-anak Rusip nonton TV
Anak-anak Rusip nonton TV atas kemurahan hati pemilik genset

Kami terus melintasi gunung-gunung yang berliku dan jembatan besar dan kecil, yang sebagiannya hanya bisa dilalui oleh satu mobil. Hingga sampai ke Kampong Rusep, yang ternyata lebih gelap daripada Tembolon.Dari sana, perjalanan masih memakan waktu kurang lebih 1 jam lagi. Melewati jalan-jalan yang masih dalam pelebaran dan pengerasan bukanlah perjalanan yang mengasikan apalagi di malam hari.akhirnyapada pukul 10.00 Wib lewat sedikit,  kami sampai ke tempat tujuan, Samarkilang. Keadaan disana persis sama dengan dua desa sebelumnya, Tombolon dan Rusep, gelap gulita meski tiang listrik berdiri berjejer sepanjang jalan di Kecamatan tersebut.

Saya bertanya ke Fakhruddin mengapa pembangunan di daerah ini lambat sekali? “menurut kabar, pemerintah enggan memprioritaskan daerah-daerah  disini karena tidak memiliki sumber daya baik alam maupun manusianya. Sehingga sia-sia membuka jalan ke daerah ini karena tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa untuk pembangunan daerah” ujarnya.

Saya tidak setuju dengan kabar tersebut, karena akses sangat mempengaruhi pembangunan. Negara-negara maju seperti Amerika pada awalnya membangun rel kereta api di tengah-tengah hamparan pandang rumput dan melintasi daerah-daerah yang terpencil dan sunyi. Akses jalan dibuka melewati daerah-daerah yang pada saat itu sunyi dan terlihat tanpa potensi.Namun, setelah rel selesai dan jalan-jalan aspal dibuka, orang-orang berdatangan, menetap kemudian membuka usaha dan lapangan pekerjaan lainnya. Lambat laun daerah kecil dan sunyi menjadi besar dan ramai.Mudah-mudahan pelebaran dan pengerasan jalan cepat selesai hingga di aspal.

Ngokos
Sesampainya di Samakilang, Kami dibawa ke rumah Bibi Matmaja, ibu Fatimahwati, untuk meregangkan otot sejenak. Sama halnya di daerah Gayo lainnya, kami disuguhi kopi dan teh. Setelah beberapa saat, dia mengundang kami untuk menginap di rumahnya. Kami sangat berterimakasih sekali, namun Adha menyampaikan bahwa kami berencana menginap di rumah kebun yang terletak di pingir sungai. Mendengar keinginan kami, Ibu Fatimahwati mengatakan bahwa disana sedang ngokos. Sekitar 10-an pemuda sedang berkumpul disana.

Saya memahami bahwa apa yang Ibu Fatimahwati katakan adalah okos (kudis, salah satu jenis penyakit kulit). Namun Matmaja dan Adha merespon positif dan mengatakan “wah beruntung kita, disana banyak orang dan tentunya banyak makanan pula. Abang-abang pasti senang bertemu pemuda-pemuda disini”.Saya semakin bingung, kenapa okos beramai-ramai dan banyak makanan.“Apakah ini proses pengobatan massal?”tanya saya dalam hati. Untuk menghindari kesalahapahaman, saya urungkan niat bertanya dan putuskan untuk melihat langsung kejadian tersebut.

Kami kemudian pergi menuju kebun yang berada di desa seberang sungai, Desa Lane.Melewati jalan-jalan kebun dan jembatan gantung, yang sebagian ruas papannya sudah hilang.Keadaan gelap, sehingga kami hanya bisa mendengar aliran sungai deras dibawahnya. Namun, goyangan jembatan membuat kami sedikit ketakutan apalagi dengan kondisi papan jempatan yang sebagiannya telah rontok.Tapi bagi Adha yang membonceng Matjama, jembatan tersebut seperti lorong desa yang sudah disemen permanen, mereka melintasinya dengan santai dan dengan kecepatan yang standard.

Sesampainya di kebun, kami mendapati sekitar 10 pemuda.Salah seorang pemuda di antara mereka menyambut kami dan mengatakan bahwa pak Camat dan Ibu juga hadir disana mengikuti Ngokos. Saya hanya terdiam dan berguman dalam hati, “apakah pak camat juga berkudis?”pemuda tersebut kemudian mengelar tikar dan mempersilahkan kami duduk, “mari silahkan duduk disini, kita makan pulut (beras ketan) dulu”, sembari membawa perlengkapan makan, dia bertanya,  “baru pertama kesini?” Langsung saya iyakan dan bertanya tentang kegiatan yang sedang mereka lakukan. Dia kemudian menjelaskan “ngokos ini dilakukan oleh pemilik sawah yang baru panen padi, padi darat (rom pucuk) maupun sawah, dan akan merontokan butir-butirnya (mu-jek).

Ini adalah tradisi disini dari zaman muyang kami. Dulu, sebelum mesin perontok padi ada, banyak pemuda yang datang ngokos. Tapi setelah mengunakan mesin, banyak pemuda sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ngokos ini dilakukan oleh setiap orang yang akan merontokan padinya. Kalau menyemai padi dilakukan sendiri-sendiri”.Sejenak saya berpikir, perkembangan teknologi memang merubah stuktur dan hubungan sosial bahkan mulai meregangkannya.Model, tata krama, dan tipe komunikasi masyarakat memang mulai berubah menjadi lebih efektif.Namun bagi sebagian orang, kemajuan teknologi membuat hubungan sosial semakin dingin, tidak hangat bahkan tidak sehangat dulu.

Dalam percakapan saya beberapa kali mengatakan okos hingga salah seorang pemuda memperbaiki, “bukan okos bang, tapi ngokos. Pake ‘eng’” jelasnya, yang kemudian disambut tawa oleh rekan-rekan lainnya. Saya kemudian menceritakan kebingungan saya semenjak dari rumah Ibu Fatimahwati“mengapa berkudis (okos) kok beramai-ramai?”.Jelas saya polos yang semakin membuat mereka tertawa. Tidak lama berselang, kami disuguhi satu piring penuh pulut dan air susu hangat. Dan pemuda-pemuda tadi pun mulai meninggalkan kami.

Sepertinya tradisi ini hanya ada di Samarkilang. Beberapa orang yang saya tanyakan,di Takengon dan Simpang Tiga Redelong,  tidak mengetahui kata ngokos dan prakteknya. Ketidaktahuan mereka menyenangkan hati saya. Ternyata saya beruntung dapat menikmati langsung tradisi tersebut.

Samarkilang-nome
Ilustrasi (Doc. LGco)

Setelah selesai ngokos dan berbincang-bincang sesaat, kami kemudian pergi ke pinggir sungai dan meninggalkan kebun di mana rumah kebun tujuan kami berada. Disana kami beristirahat hanya bermodalkan tikar tanpa tenda atau kemah. Awalnya saya merasa terpaksa karena keluarga pemilik kebun dan Bapak dan Ibu Camat menginap di rumah tersebut. Tapi kemudian saya sangat menikmati, bukan saja karena tidur di alam terbuka adalah pengalaman pertama saya, tapi disana saya banyak mendengar cerita dan menyaksikan hidup pemuda kampong yang mencari ikan di malam hari dengan mengunakan sampan di sungai yang deras.

Ketika malam semakin larut, dua orang mahasiswa yang membawa kami ditambah seorang pemuda lainnya pergi mencari ikan dengan mengunakan sampan. Mereka terlihat sekali mondar-mandir di hadapan kami.Ketika mereka mengikuti aliran sungai, salah seorang dari mereka mengunakan dayung sebagai pengayuh dan control. Ketika melawan arus sungai, mereka mengunakan galah panjang menolak sampan dan kemudian menghilang selama kurang lebih 1 jam dan kembali dengan hasil tangkapan yang terkenal, Iken atau Gegaring.Di Aceh pesisir dikenal dengan Ikan Kerleng.

Salah satu dari mereka kemudian menceritakan bahwa mereka hanya mencari ikan pada malam hari. Siang hari tangkapan biasanya tidak banyak, berbeda dengan malam.Apabila arus sungai sangat deras, biasanya kami tidak mencari ikan. Ketika banjir, ikan-ikan akan lari ke pingir sungai bahkan ada yang mencoba melompat ke daratan. Kalau sudah demikian, kami cukup mu-reges atau menangkap ikan dengan tangan.“Ternyata ikan juga takut banjir” ujar Shahrun yang diikuti tawa kami semua. [bersambung]

iken-2
Ilustrasi (doc.LGco)

*Penulis adalah mahasiswa S3 Bidang Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda dan juga Peneliti di International Centre for Aceh and India Ocean Studies (ICAIOS) dan terlibat di Redelong Institute, Bener Meriah.

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.