Catatan Perjalanan Arfiansyah*
Sejarah Singkat Samarkilang
Sesampainya di kebun, kami kemudian diajak mengelilingi Kampung Lane hingga ke Gedung Pembangkit Aliran Listrik Tenaga Air, bantuan Pemerintah Aceh pada tahun 2012. Jalan ke lokasi pemukiman warga tidaklah mudah. Tidak berbeda seperti jalan ke perkebunan warga yang hanya bisa dilewati oleh Sepeda Motor.
Sepanjang jalan terdapat tiang-tiang listrik. Perjalanan dari kebun tempat kami menginap ke pemukiman warga masih membutuhkan 40 menit perjalanan melewati jembatan-jembatan yang “pernah bagus dan bisa dilalui oleh mobil kecil”. Saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa masih ada di pedalaman seperti ini orang memilih untuk hidup, menetap dan mati?”
Tepat waktu dhuhur, kami tiba di rumah kebun orang tua Adha. Kami disambut oleh Bapaknya, Huda, yang juga Reje Kampong Lane dan Ibu nya, Rabuna. Karena penasaran, bak penyidik KPK atau Kepolisian saya langsung mencecar pak Huna dengan pertanyaan-pertanyaan tentang sejarah dan kehidupan di Samarkilang.Pak Hudan dengan sabar menjawab sejarah Samarkilang yang dia dahului dengan kerendahan hati.
“Sejarah sebenarnya saya tidak tahu, tapi cerita yang beredar disini bahwa Samarkilang yang pertama kali dihuni oleh Bener Meriah.Alkisah, dulu Bener Meriah diberikan kelebihan oleh Allah semenjak lahir. Setelah lahir di Serule, ibunya diminta untuk meninggalkan Bener Meriah dan Sengeda di hutan rimba”.
Dia tidak menjelaskan hubungan Bener Meriah dan Sengeda waktu itu.“Ketika malam, lokasi tersebut bercahaya terang ke langit. Orang-orang pada panik, mereka mengira terjadi kebakaran namun kenapa cahayanya putih terang sekali.mereka akhirnya pergi mengecek lokasi keluarnya cahaya dan mendapati bahwa kedua anak tadilah yang mengeluarkan cahaya. Oleh tetua pada saat itu mengatakan bahwa kedua anak ini adalah pemimpin kita masa depan” jelasnya.

Dia kemudian melanjutkan “ketika mereka beranjak dewasa, Bener Meriah menunjukan kelebihan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh orang lain. Apa saja yang ditanam oleh Bener Meriah tumbuh subur dan menghasilkan”. Bayangkan seru pak Huda “dia tanam padi di atas batu saja bisa tumbuh, apalagi di atas tanah. Karenanya kalau sudah panen padi kami berziarah ke makan Bener Meriah”.“Karena kelebihannya”, lanjutnya, “banyak orang-orang iri dan dengki kepada dia.Mereka ingin membunuh Bener Meriah.Untuk menyelamatkan diri, Bener Meriah kemudian lari ke daerah ini, Samarkilang”.
“Disinilah dia menetap dan berpindah-pindah dari satu gunung ke gunung lainnya.Namun orang-orang yang tinggal disini datang jauh hari setelahnya, sepertinya tidak memiliki hubungan dengan kelompok yang mengejar Bener Meriah meskipun kami semua berasal dari berbagai desa di Serule”, ungkapnya.
Dia kemudian menyebutkan satu persatu desa asal mereka di Serule yaitu Lane, Payung, gerpa, Uning, dan Kerlang.Dia menyebutkan desa-desa ini adalah desa asal, yang kini sudah memiliki anak-anak cabang yang banyak. Nama desa-desa tersebut juga dibawa ke Samarkilang, Seperti Lane, desa yang diimpin oeh pak Huda. Kalau itu benar, maka Samarkilang adalah salah satu pemukiman tertua di daerah Gayo setelah Linge dan Serule.Mungkin jauh lebih tua daripada Bebesen dan Kebayakan yang ada di Aceh Tengah, apalagi Pondok Baru dan Simpang Tiga Redelong yang kini jauh lebih maju daripada Samarkilang.
Karena menjelang makan siang, Pak Huda kemudian bangkit dari duduknya mengambil jaring ikan, Jele (Jala). Adha dan Matmaja meminta saya untuk menunda diskusi hingga makan siang karena pak Huda akan pergi menangkap ikan. Karena itu adalah pengalaman pertama ke Samarkilang, tentu saja saya tidak mau lewati momen apapun disana dan saya putuskan untuk ikut menemani pak Huda.
Pak Huda sepertinya mengerti dan mengatakan.“ saya pergi ke sungai seberang berjalan kaki tidak mengunakan motor, tidak apa-apa kalau mau ikut, lokasinya tidak jauh, hanya 12 meter saja”. Saya dan Shahrun langsung saling menatap mata “12 meter?Kedengarannya 12 kilometer untuk kita”.Tapi kami tidak mau menyerah dan akhirnya ikut bersamanya ke sungai besar.Benar saja, ternyata perjalanan kami lumayan jauh dan melelahkan, sepertinya lebih dari 2 kilometer.
Sepanjang perjalanan pak Huda melanjutkan ceritanya. “Dulu desa-desa disini bertebaran, namun semenjak 2002 hingga konflik berakhir kami pindah ke desa pusat, Samarkilang, sehingga kamu bisa lihat gapura-gapura di desa induk sana, satu lorong (gapura), satu desa. Disana kami berkumpul karena takut akan dampak konflik kepada kami. Kehidupan sangat sulit sekali.kemana-mana kami tidak bisa. Lebih baik ketika sebelum konflik meskipun kami ke Takengon satu tahun sekali” jelasnya.
Kini mereka sudah mulai kembali dan sebagian kecilnya memilih untuk meninggalkan desa tersebut dan tidak pernah kembali.Sawah-sawah mulai digarap lagi, kebun mulai tanami kacang, coklat, dan jenis palawija lainnya. Mereka juga mulai mencari kebutuhan di hutan rimba seperti rotan besar untuk kebutuhan dasar kursi, yang dihargai sangat murah oleh toke di Pondok Baru; satu ikat, terdiri dari 60 batang rotan, dibeli seharga 60 ribu rupiah. Artinya satu batang seharga 600 rupiah.Harga yang tidak layak bahkan untuk ongkos membawa rotan dari gunung.
Mendengar keadaan konflik dulu, saya kemudian bertanya “kenapa Bapak tidak pindah saja ke daerah lain seperti Pondok Baru?” dengan suara berat dia menjawab “entahlah, saya tidak tahu, kalau dibilang nanti setelah pindah ternyata susah hidup juga rasanya tidak mungkin, karena banyak yang bisa berhasil setelah pindah. Sulit menjelaskannya, saya lahir, tumbuh dan menua disini, semuanya disini. Alam ini memberikan saya semua yang saya butuhkan. Saya dengar korban tsunami juga tidak mau pindah dari daerah pesisir ke daerah lain. Mereka tetap memilih untuk kembali ke pinggir laut ya?” jawabnya singkat namun sangat dalam.

Saya semakin penasaran dengan kehidupan mereka sebelumnya.sambil berjalan melintasi jalan-jalan setapak dan melewati rumah-rumah besar tua yang ditinggalkan pemiliknya pada masa konflik dan tidak dihuni lagi, pak Huda menjawab pertanyaan saya “ dulu jalan ke Samarkilang dibuka beberapa tahun setelah Adha lahir pada tahun 1991. Adha lahir di Pondok baru. Perjalanan kami tempuh melewati jalan-jalan tikus dari Samarkilang ke Pondok Baru saat it adalah 2 hari 3 malam.bukan melalui jalur jalan sekarang, tapi melewati rimba. Karena kondisinya kritis pada saat itu, ibu Adha digendong secara bergantian. Setelah Adha lahir, dan ibu merasa kuat untuk pulang, baru kami pulang melalui jalur yang sama, bukan jalan yang dibuat saat ini”
“Kalau berbelanja”, lanjutnya “ kami naik rakit besar ke Aceh Timur dan berhenti di sungai Arakundo. Perjalanan pergi kami tempuh selama 2 minggu di atas sungai. Total pulang pergi bisa mencapai satu bulan. Dari Samarkilang, kami membawa hasil panel kami seperti kacang kuning dan beras sebanyak 2 ton. Di sana, kami menjual hasil panen tersebut dan membeli kebutuhan pokok untuk satu tahun. Yang tidak kami beli hanya gula, karena kami bisa gunakan Gula Aren, total bawaan kami juga mencapai 2 ton”.
Selaku anak yang dibesarkan di kota Takengon dan di perantauan, pengalaman demikian saya kira sudah berakhir di pertengahan tahun 1980an. Ternyata di Samarkilang baru berakhir setelah konflik. Jalan lebar mulai dibuka dan listrik Tenaga Air pun baru diberikan pada tahun 2012.
Bagian 1 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.1)
Bagian 2 : Samakilang, Desa-Desa Tua yang Tertinggal (Bag.2)
*Penulis adalah mahasiswa S3 Bidang Antropologi Hukum di Universitas Leiden, Belanda dan juga Peneliti diInternational Centre for Aceh and India Ocean Studies (ICAIOS) dan terlibat di Redelong Institute, Bener Meriah.