Nikmati Sensasi Apel Gayo Ala Pak Sis

oleh

Oleh : Anugrah Fitradi, S.Pt

Penulis Memetik Apel di Kebun Pak Sis. (Ist)
Penulis Memetik Apel di Kebun Pak Sis. (Ist)

Kampung Despot Linge adalah salah satu kampung dalam wilayah Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah yang merupakan wilayah binaan penyuluhan saya dalam bertugas seorang penyuluh di Balai Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Kecamatan Linge.

Wilayah ini memiliki ketinggian diantara 700 hingga 1.400 meter dpl. Suasana sejuk selalu menghampiri pengunungan yang berjejer bak tembok. Masyarakat sekitar mengantungkan hidupnya pada tanaman Kopi yang menjadi andalan masyarakat hampir disemua wilayah Gayo, ada juga yang memilih menanam tanaman holtikultura sebagai penghasilan tambahan.

Namun dibalik tanaman tersebut, ternyata ada hal lain yang memiliki potensi lain. Masyarakat pun mencoba dengan menanam tanaman lain yang juga ikut mendorong pertumbuhan ekonomiya. Salah satunya adalah budidaya tanaman apel.

Bubidaya apel, dikenalkan oleh seorang petani yang tergabung dalam kelompok tani Sari Buah binaan BP3K Kecamatan Linge. Adalah Siswanto warga kampung Despot yang memperkenalkan tanaman selain kopi dan holtikultura yang menjadi andalan masayarakat sekitar sejak bertahun-tahun.

Pak Sis pangilang akrab sosok berkumis dan suka pakai kopi ala koboi pun memulai kisahnya. Ditanah kelahirannya di pulau Jawa, dia bekerja sebagai tukang kebun apel dan pekerja upahan memetik apel saat panen.

Bermigrasi ke Gayo tahun 1995 mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia saat itu, dirinya memulai hidup dengan tanaman holtikultura untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Tahun berlalu, di Kampung Despot-Linge, Pak Sis yang menggantungkan hidup dari tanaman kopi dan holtikultura, merasa tak cukup. Dia memilih mencari pekerjaan sampingan dengan berdagang sayur keliling.

Saat Aceh didera konflik, Pak Sis bersama keluarga memutuskan untuk kembali ke pulau Jawa. Tidak ada tanda-tanda konflik akan reda saat itu, membuatnya mengambil keputusan yang amat pahit tersebut. Semua aset yang telah didapati sebagai hasil kerja kerasnya selama ini pun dijual.

Pak Sis pilih pulang kampung ke Batu Malang, sejak September 2004. Ternyata pulang kampung tak membuat hidupnya dan keluarga lebih baik. Tak betah di kampung asal, Pak Sis dan keluarga memutuskan kembali ke Gayo dengan segala resiko dengan konflik yang belum usai menghantui masyarakat Aceh saat itu.

Memilih kembali ke Gayo, Pak Sis tentu tak punya apa-apa lagi. Semua asetnya dijual. Kehidupan Pak Sis bersama keluarga setelah kembali ke Gayo, harus numpang kesana kemari, dan kerjakan apa yang bisa dikerjakan untuk tutupi kebutuhan hidup.

Dia pun rela merintis kembali dari awal. Dengan lahan seluas dua hektar milik orang lain dia mulai kehidupan baru di Gayo. Lahan yang digarapnya tersebut berdasarkan perjanjian dengan pemilik lahan, akan dibagi dua setelah panen. Lahan tersebut ditanami kopi.

Tak lama berselang, dia akhirnya kembali memiliki sehektar tanah, hasil dari pengerjaan lahan dua hektar milik orang lain. Selama itulah dia kembali menanam apel dilahan miliknya. Tanaman ini sudah pernah ditanam beberapa tahun sebelum ia memilih pulang ke kampung  halaman.

Pak Sis dan Apel nya. (Ist)
Pak Sis dan Apel nya. (Ist)

Berkali-kali bolak balik, Gayo-Malang, Pak Sis selalu membawa bibit apel. Awalnya hanya dibawa beberapa. Jaraknya perjalanan dari Malang ke Gayo membuat Pak Sis was-was, bibit apel yang dibawanya bisa saja tak mampu bertahan hidup.  “Saya tak mengira bibit tersebut bertahan hidup sampai ke Despot Linge karena menempuh perjalanan berhari-hari dengan Bus,” kenang Pak Sis.

Setelah melakukan perjalanan bolak-balik Gayo-Malang selama tiga kali, 16 bibit batang pohon apel pun dirawatnya sepenuh hati. Dalam jangka waktu 2,5 tahun apel yang ditanamnya berbuah sempurna.

Dari situ, dia kembali membudidayakan bibit apel dari hasil 16 batang awal yang dibawa dari Malang. Berbekal pernah bekerja di kebun apel, Pak Sis tak memiliki kendala saat melakukan pembibitan.

Setelah itu kebun apel milikinya pun berkembang, sekitar 200 batang apel siap panen membawa berkah tersendiri bagi dirinya. Uang sebesar 250 juta rupiah telah dihasilkan dari tanaman ini. Selain menjual buah apel, Pak Sis juga menjual bibit apel sebesar 75 ribu rupiah/bibit. Dia sudah menjual kurang dari 4000 bibit apel.

Dia menceritakan, satu batang apel saat panen bisa menghasilkan 60 Kg. Masa panen apel enam bulan sekali, berarti dalam setahun Pak Sis memanen apel nya sebanyak dua kali. Dalam sekali panen, ia mengaku dapat mengahasilkan 1,5 ton, dengan harga rata-rata 25 ribu Rupiah/Kg.  “Itu tidak termasuk yang dimakan ditempat,” kata Pak Sis tersenyum.

Dikebun apel milik nya, bagi siapa saja yang berkunjung kesana boleh memilih dan memetik buahnya sendiri. Boleh makan sesukanya tanpa bayar, namun jika pengunjung hendak membawa pulang barulah pengunjung dikenakan biaya dengan menimbang apel yang akan dibawa pulang sesuai harga yang ditetapkan dan disepakati pengunjung.

Pak Sis menanam lima jenis varietas apel, yakni apel mana lagi (berwarna hijau kuning), apel ana (merah), apel Australia (hijau), apel rumbiuty (setengah merah setengah hijau), dan apel wanglin (hijau kasar).

Sering kali Pak Sis menerangkan kepada saya dan teman-teman dari PPL BP3K Linge saat melakukan kunjungan ke tempatnya bahwa menanam apel, perlu diperhatikan ketinggian. Dia menerangkan tanaman ini akan tumbuh sempurna jika berada diketinggian 1.200 meter dpl. Ditempatnya menanam, ketinggian berkisar 700 hingga 1.400 meter dpl. Jadi sangat ideal untuk tanaman apel.

Dia juga mengaku, hingga Maret 2011 pohon-pohon apelnya sudah memberinya rezeki mencapai Rp. 8 juta ini menyatakan siap membantu dengan berbagi ilmu kepada siapapun yang ingin membudidayakan apel di Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah dan Bener Meriah.

“Saya sangat ingin warga Tanoh Gayo ini tidak hanya tergantung ekonominya dari kopi dan sumber lainnya. Karenanya saya siap bimbing rekan-rekan yang ingin membudidayakan apel dan hingga saat ini sudah beberapa orang yang saya bantu ajarkan teknis budidaya apel. Kalau nanamnya cuma beberapa batang, tentu saya tidak bisa bantu ngurusnya. Tanamlah ratusan batang, InsyaAllah saya bantu merawatnya,” ucap Pak Sis sambil tertawa.

Selain itu, apel yang ditanam oleh Pak Sis sendiri terkadang sering di pesan oleh para pegawai dari dinas-dinas yang berada di seputar Kota Takengon dan ada juga dari luar daerah. “Adakalanya pegawai dinas datang langsung untuk membeli buah apel, sekaligus memetik sendiri buah yang siap panen,” ungkapnya.

Cita-cita besar ada dibenak kakek dua cucu ini. Dia ingin dalam waktu yang tidak terlalu lama tanoh Gayo selain sebagai salah satu produsen kopi terbesar di Indonesia juga sebagai pusat sentra apel.

“Dibanding Malang, tanah disini lebih mendukung kok dan buah apelnya juga lebih enak, kenapa tidak petani-petani Gayo kaya dengan buah apel,” kata Pak Sis bersemangat.

Saat ini juga dengan program dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Aceh Tengah, Ketua Kelompok Tani SARI BUAH ini juga mendapat bantuan 2 (dua) ekor sapi perah yang mana dapat dikembangkan di wilayah Kampung Despot Linge.

Dimana menurut pengalaman, sewaktu masih di Malang Pak Sis juga sudah pernah memelihara (menggaduh) beberapa sapi perah dan dapat dikatakan berhasil sebab dengan usaha itu juga ia dapat memenuhi kebutuhan kehidupan keluarganya.

Pada bulan Januari 2015 lalu, beliau sudah mulai menampakkan keberhasilan dari kegigihannya untuk memelihara ternak sapi perah yakni sudah lahir anak sapi yang berjenis kelamin jantan hasil kawin suntik (IB) dengan berat badan + 25 kg.

Dia menamakan buah apel nya dnegan buah apel Gayo.  “Walaupun bibitnya kita datangkan dari Malang,  namun batangnya ini kan kita tanam di tanah Gayo ini, disiram oleh air di Gayo ini, serta tumbuh berbuah di wilayah Dataran Tinggi Gayo ini, makanya saya memberanikan diri menyebutkan buah apel yang saya tanam ini adalah buah Apel Gayo,” seloroh Pak Sis.

Kalau untuk membeli buah apel bagi kita semua sudah biasa dibeli ke pasar-pasar, namun yang berbeda pada Apel Gayo yang ditanam oleh Pak Sis ini adalah sensasinya dapat memilih dan memetik langsung sendiri pada batangnya.

Ini merupakan salah satu kesenangan tersendiri bagi saya dan para pengunjung lainnya yang datang kesana. Dan harapan agar ada perhatian khusus dari Pemerintah terkait untuk dapat mendukung pengembangan tanaman buah Apel Gayo ini untuk menjadi salah satu tempat Agrowisata di Dataran Tinggi Gayo ini dan juga pada saat ini sudah marak isu-isu buah apel yang didatangkan dari luar sudah terkontaminasi dan tidak layak untuk dikonsumsi oleh kita.

Apa salahnya dengan peluang ini untuk para pihak-pihak yang terkait dapat terus mendukung pengembangan buah Apel Gayo ini agar dapat menjadi salah satu komoditi unggulan khususnya di Kabupaten Aceh Tengah. [DM]

* Penulis adalah seorang Penyuluh pada BP3K Kecamatan Linge

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.