[Resensi Buku] Tarian Seribu Tangan dari Negeri Seribu Bukit

oleh

BUKU_Cover-buku-Tari-Saman

Salman Yoga S

New Picture (2)Kebudayaan adalah makroid segala aktivitas dan karya manusia, mempunyai nilai universal tetapi berkarakter dan menjadi indentity bagi setiap komunitas masyarakat yang mikroid. Bentuknya dapat berupa benda, teknologi, sistem sosial, pola hidup, kepercayaan (religion) hingga kepada hal-hal yang bersifat estetik. Namun nilai kebaikan dan nilai keburukan dari sebuah kebudayaan tidak sertamerta berlaku dan diakui secara universal, karena alat ukur kedua nilai tersebut justru sangat bergantung dimana kebudayaan tersebut tumbuh dan berkembang.

Demikian pula dengan tarian Saman yang telah menjadi ciri dan identity sekaligus media estetika masyarakat. Ia hanya menjadi universality dalam konteks nilai sent of dance value sebagai sebuah tarian khas Gayo, tetapi tidak dalam kontek pelakonan yang justru dapat menjadi un-universality. Karena dalam bentuk dan filosofi serta pemeranan Tari Saman  justru hanya dilakukan oleh kaum Adam saja.

Buku yang berjudul “Tari Saman” karya dari hasil kerja keras Ridhwan Abd Salam ini adalah simpul kecil dalam penggambaran dan pendokumentasian dari ratusan atau bahkan ribuan kekayaan ekspresi estetika masyarakat Gayo. Kehadiran buku ini bukan saja penting dalam konteks penyediaan literasi tentang kesenian Gayo, tetapi juga perlu dalam mensosialisasikan akan karakter, ciri, bentuk, sejarah, kaidah, unsur, jenis, fungsi dan bentuk-bentuk Tari Saman yang berkembang di Gayo Lues.

Penganugrahan dan pengakuan badan dunia United Nations Educational, Scientific, Cultural Organization (Unesco) dalam bentuk sertifikat Tari Saman sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) menjadikan buku ini semakin penting. Terlebih even Tari Saman  Massal yang melibatkan 5057 penari pada tanggal 24 November 2014 di lapangan Seribu Bukit Kabupaten Gayo Lues mampu memecahkan record dunia.

Buku setebal 214 halaman ini secara khusus membahas tentang hal-hal yang berkaitan langsung dengan Tari Saman. Perspektifnya cukup memadai untuk menggambarkan eksistensi Tari Saman dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Gayo. Di antara isinya adalah tentang sejarah, penamaan dan pengembangan Tari Saman yang dikaji dalam bab dua. Pada bab berikutnya Ridhwan Abd Salam juga menelisiknya dari segi wilayah dimana tarian ini tumbuh dan berkembang sehingga menjadi media dalam interaksi sosial masyarakat.

Tidak cukup sampai disitu buku dengan cover foto dekoratif berlatar barisan pohon pohon pinus muda ini juga memaparkan bagaimana Tari Saman memiliki semacam kaidah-kaidah tertentu yang tidak semua tarian tradisonal memilikinya. Layaknya sebuah tinjauan fiqih Islam, kajian dalam bab IV ini lebih detail membahas tentang kaitan antara islamisasi tanah Gayo dengan kelahiran tarian Saman itu sendiri. Disebutkan bahwa lebih dulu masuknya ajaran Islam di Gayo Lues dari pada kelahiran Syekh Muhammad Saman, tokoh yang dianggap sebagai pencipta dan pengembang dan pemanfaat Tari Saman sebagai media dakwah. Sebagai sebuah kesenian tradisional jenis seni ini sudah ada sebelumnya dan menjadi bagian yang integral dengan kebudayaan masyarakat. Kedatangan Syekh Muhammad Saman pada masa berikutnya adalah pada pemanfataatannya sebagai media yang kemudian karena belum mempunyai nama secara penyebutan, maka namanya dinisbatkan kepada sang muballigh.

Tiga bulan pasca penandatanganan oleh The Intergovermental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (Komite Antar Pemerintah Untuk Pengamanan Warisan Budaya Takbenda) pada tanggal 24 November 2011 buku inipun diterbitkan, tepatnya pada awal tahun 2012. Pada bab-bab selanjutnya juga mengetengahkan sejumlah unsur-unsur yang ada dalam Tari Saman Gayo yang justru tidak ada dalam jenis tarian sejenis yang ada di Aceh pesisir, yang selama ini dianggap dan diasumsikan sebagai Tari Saman. Ketidak samaan itu dibuktikan dengan kedekatan Saman bukan saja sebagai tarian biasa, tetapi merasuk dalam bentuk interaksi kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam budaya masyarakat pesisir tarian ini hanya sebatas peformen dance dan media dakwah sehingga dapat dilakukan oleh multi gender, sementara Saman Gayo lebih jauh memasuki unsur-unsur kehidupan masyarakatnya. Mulai dari tata hubungan sosial dan agama, pertanian dan interaksi religusitas juga peformen dance dalam kaitannya dengan jalinan persaudaraan antar kampung dan antar stratafikasi sosial.

Diantara unsur-unsur itu adalah terkait dengan jenis dan bentuk tarian Saman mulai dari Saman Jejunten, Saman Ngerje, Saman Enjik, Saman Bepukes hingga Saman Festival, Bejamu Saman, Mubeles Bejamu Saman dan Saman Baleasam. Demikian pula dengan unsur seni suara di dalamnya, yang dalam sejumlah literatur perspektif content analisys dianasir juga mengandung unsur magis. Sejumlah perangkat yang menyertainya seperti penggunaan pakaian serta peran masing-masing dari penari dalam sebuah penampilan Tari Saman.

Demikian juga eksistensi tarian “Seribu Tangan” ini yang mempunyai sejumlah fungsi dalam masyarakatnya. Di antara fungsi-fungsi tersebut justru secara umum hanya melekat pada jenis tarian tradisional dan modren lainnya sebanyak dua fungsi, yaitu sebagai  hiburan dan keindahan. Sementara pada tarian Saman menurut Ridhwan Abd Salam setidaknya terdapat sebanyak tujuh fungsi.

Kelebihan buku “Tari Saman” yang dibedah pada akhir dari serangkaian seminar tentang Gayo di Gedung Bale Musara Kabupaten Gayo Lues pada tanggal 26 Novermber 2014 dari buku-buku lainnya yang bersifat kedaerahan dengan terbitan berakreditasi, buku ini juga memasukkan sejumlah petikan syair-syair Tari Saman yang kerap digunakan dalam pementasannya. Demikian juga dengan kemudahan dalam penelusuran isi dan sumber penulisan dengan menampilkan sejumlah refrence, buku ini juga  meng-ingklud-kan indeks berdasar abjad.

Tetapi sayang, buku yang seharusnya juga sefenomenal tarian Saman dengan 5057 orang di Stadion Seribu Bukit Kabupaten Gayo Lues ini justru International Series Book Number (ISBN)-nya berbentuk stiker saja di sampul belakang dan tidak tertera di halaman dalam identitas buku sebagaimana lazimnya. Meski dipengantari oleh Wakil Gubernur periode silam Muhammad Nazar, buku ini menjadi mempunyai kesan sebagai buku yang tidak ber-ISBN.[]

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.