Oleh. Drs. Jamhuri Ungel, MA[*]

Paling kurang ada tiga tahapan ketika ingin melihat, membaca, mempelajari sesuatu, tidak tekecuali melihat diri, melihat orang lain, melihat alam atau apapun yang mau kita lihat. Ketiga tahapan tersebut adalah : melihat secara fisik, melihat melalui sifat dan melihat apa yang mengitarinya.
Tahapan yang paling rendah dari sebuah analisis atau kajian adalah tahapan pertama yaitu melihat dari segi fisik, seperti melihat orang dari fisiknya tinggi, rendah, hitam, putih, gemuk, kurus dan lain-lain. Juga melihat buah dari besar, kecil, muda, masak, merah, hijau dan lain-lainnya.
Tahapan selanjutnya adalah menganalisis atau mengkaji sesuatu dari sisi sifat, pada tahapan ini tidak lagi berbicara pada masalah fisik karena fisik pada tahapan ini tidak lagi menjadi standar atau ukuran, tetapi yang menjadi ukuran adalah baik buruknya diri sesuatu.
Tahapan ketiga melihat sesuatu bukan lagi dari sifat baij atau buruk tetapi seseorang atau sesuatu yang kita kaji, analisis, atau pelajari itu bermanfaat kepada orang lain atau tidak. Inilah tiga tahapan yang berkembang dalam teori ilmu pengetahuan ketika mengadakan suatu kajian atau analisis, populernya kajian ini dalam ilmu ushul fiqh dikenal dengan bayani, ta’lili dan istishlahi.
Sebagian pengkaji atau juga pemerhati memadai pemahaman mereka pada tahapan pertama (bayani) dengan melihat sesuatu pada tingkatan fisik, seperti menilai kemampuan keberagamaan orang Islam dengan kemampuan membaca kitab suci (al-Qur’an). Untuk kelompok ini menganggap cukup dalam keberagaam dengan jelas dan bagusnya bacaan, apabila bacaan kurang bagus atau tidak bagus maka lebih baik tidak membacanya karena kalau salah dalam membaca maka makna atau artinya akan salah dan kalau salah artinya maka mendapat murka dari yang memiliki bahasa (firman).
Ketika Allah berfirman dalam al-Qur’an dengan menggunnakan kata-kata khamar, zakat, jual beli dan sebagainya para pengkaji tidak lagi melihat dengan mata apa yang tertulis dalam Kitab (al-Qur’an dan hadis) saja tetapi lebih dari itu mereka melihat apa yang ada di dalam kehidupan kehidupan masyarakat, seperti pengetahuan tentang kata khamar dilihat dengan lem cap kambing, daun ganja, sabu-sabu dan lain-lainnya yang mempunyai sifat yang sama. Melihat kata zakat pertanian kepada zakat guru, pegawai swasta/negeri, dosen, pengusaha, sopir, guru, tukan becak dan lain-lain. Selanjutnya juga melihat halalnya jual beli yang tradisional dengan system jual beli modern yang serba mesih dan juga jual beli online.
Adat, budaya, ilmu pengetahuan manusia tidak pernah berhenti berkembang dan berubah, perubahan dan perkembangan menjadi kebutuhan dari manusia dan alam, karena itu pengetahuan terhadap al-Qur’an dan hadis yang selalnjutnya digunakan untuk memahami alam termasuk diri manusia sangat diperlukan. Betapa tidak banyak sekali perbuatan yang dilakukan oleh manusia sekarang ini seolah tidak ada kaitannya dengan ayat Tuhan yang menjadi pedoman dalam hidup dari dunia sampai akhirat. Banyak hutan yang ditebang secara sembarangan, pembuangan sampah tidak mempertimbangkan kehidupan orang lain seolah alam ini hanya diciptakan untuk diri sendiri dan untuk satu generasi. Pelanggaran moral yang dilakukan tidak hanya oleh orang yang tidak tau arti kehidupan tetapi juga dilakukan oleh orang yang merekayasa kehidupan menuju kebaikan.
Itulah tingkatan pemahaman terhadap kebutuhan hidup dan penyediaan alam untuk kehidupan manusia, tahapan ini lebih baik dipahami secara komperhensif dengan mengikuti tingkatan yang ada tidak memadai pada satu tahapan dasar dan tidak pula baik dengan mengambil pemahaman tertinggi dan mengabaikan pemahaman dasar.
Dari tingkatan pemahaman ini kita bisa membaca pola pemikiran yang dianut oleh seorang individu ataupun kelompok masyarakat, apakah mereka hanya melihat seseorang dari kelebihan dan kelemahan secara fisik atau bahkan kita akan katakan kalau melihat secara fisik belum cukup kalaupun tidak kita katakan tidak perlu.