Sejumlah sastrawan dan penyair muda Indonesia berinisiasi untuk menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi untuk mengenang 40 hari wafatnya sastrawan nasional angkatan 1966 Slamet Sukirnanto. Berita dan inisiatif ini saya terima dari sejumlah teman melalui surat elektonik dan jejaring sosial.
Inilah sebuah takziah sekaligus untaian do’a para sahabat dan kolega gaya penyair dalam menghormati, menghargai dan mengenang sastrawan yang telah lebih dahulu menghadap illahi. Tak cukup dengan kiprah dan karya-karya Slamet Sukirnanto yang terus menjadi inspirasi dan bahan bacaan di Indonesia, dan tentu diharapkan akan menjadi amal bagi almarhum. Sejumlah sahabat dan generasi penerusnya juga mengapresiasi hidup dan perjuangan almarhum dengan “perjuangan dan karya” yang rencananya akan dihimpun dalam sebuah buku antologi khusus.
Sebuah takziah puisi dari penyair untuk penyair, baik yang pernah berinteraksi langsung dengan Slamet Sukirnanto secara fisik dan keorganisasian maupun melalui silaturrahmi karya dalam dunia sastra.
Slamet Sukirnanto berpulang ke rahmatullah pada, Sabtu 23 Agustus 2014 yang lalu di Bekasi, Jawa Barat. Ia adalah pendiri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (1964), Anggota DPRGR dan MPRS sebagai wakil mahasiswa (1967-1971), pendiri Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sekaligus menjadi pengurusnya pada tahun 1978 hingga 1982, anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Komite Sastra (1990), Ketua Majelis Kebudayaan pada Pimpinan Pusat Muhammadiyah tahun 1990, Ketua Bidang Pengembangan Kebudayaan pada Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) DPP Jakarta tahun 1991, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1993-1996.
Semasa hidupnya sejumlah buku yang merangkum karyanya adalah “Jaket Kuning” (1967), “Kidung Putih” (1967), “Gema Otak Terbanting” (1974), “Bunga Batu” (1979), “Catatan Suasana” (1982), “Luka Bunga” (1991) dan masih banyak lagi dalam bentuk bunga rampai dan antologi bersama.
Tradisi mengenang seorang sastrawan dengan karya sastra kali ini memang bukan yang pertama, tetapi menjadi sesuatu yang menyejukkan dalam kehidupan modren dimana sebagian manusia masih berikhlas ria menyumbangkan do’a dan daya ciptanya untuk sang tokoh diantara hedoisme dan alinasi yang meraja. Sebuah niat sekaligus usaha yang patut disuport dan diapresiasi, karena hakekatnya hubungan yang hidup dengan yang telah wafat tidak pernah putus dalam dunia ruhhi.
Sejumlah penyair dari segala sudut Indonesia-pun tampak antusias dan dan menyambut ide ini dengan suka hingga berakhirnya batas waktu penerimaan naskah, 20 September 2014. Buku antologi “Takziah Puisi” ini sendiri akan dieditori oleh Eka Budianta, Hasan Bisri BFC dan Bambang Widiatmoko. [Salman Yoga S]