
Disela-sela berlangsungya acara pertemuan Penyair Internasional di Malay Hirytage Singapura pada akhir bulan Agustus 2014, sejumlah peserta yang berdatangan dari berbagai negara menyempatkan diri duduk santai di jalan Muschat St, dekat Masjid Sultan Agung Singapura. Komplek ini dikenal sebagai salah satu lokasi bersejarah pada awal-awal kebangkitan dan kemerdekaan Singapura dari tangan Inggris.
Barisan bangunan tua yang terawat berjejer memenuhi jalan itu. Persis di ujung jalan pertigaan terdapat sebuah kedai semi modren yang berada di depan Sultan Mosque dengan gapura indahnya. Warung/kedai itu menyediakan makanan kecil dan minuman ringan, juga menjual kopi yang harganya 2 dolar SG (Rp. 20. 000) per gelas.
Bersama dengan tiga sastrawan-penyair besar asal Indonesia Taufik Ismail beserta istrinya, saya, Djamal D Rahman, Abdul Hadi WM juga bersama istrinya menyempatkan diri menikmati senja di kota Singa itu pasca rehat konfren.
Tentu tidak ada kopi Gayo, karena keberangkatanku yang buru-buru tak se-sashet pun yang sempat terbawa, meski sebelumnya sempat kuwanti-wanti. Sang pemilik warung sekaligus sebagai juru layan kemudian menawarkan sejumlah menu yang tersedia. Keramahannya membuat para tamu jadi nyaman, cepat akrab dan leluasa memesan makanan atau minuman apa saja sesuai selera.
Saat itu kebetulan aku mengenakan rompi bermotif Kerawang Gayo. Sebuah baju tanpa lengan yang sengaja dipesan dan dipersiapkan oleh istriku sebelum keberangkatan untuk coustum pementasan baca puisi di event itu. Rompi ini yang kemudian menjadi awal perkenalan dan diskusiku dengan sang pemilik kedai yang bernama Zubaidah.
Tak berapa lama ia mengamati rompi itu sambil menyiapkan pesanan para pemesan. Lalu dengan sahajanya ia mengajukan beberapa pertanyaan. “anda dari Indonesia?, dari Aceh?”, tanyanya. Pertanyaan pertamanya langsung kujawan dengan anggukkan kepala. Tetapi untuk pertanyaan kedua kutambahi dengan kata “Gayo”.
Mendengar kata “Gayo” Zubaidah langsung sumringah dan menghentikan aktivitasnya sesaat. Selanjutnya kubiarkan saja ia bercerita panjang lebar tentang kisah dan kesan perjalanannya ke dataran tinggi Gayo pada tahun 1980-an dalam bahasa Inggris dialeg Melayu-nya yang kental.
Sesekali ia balik bertanya perihal nama tempat dan makanan yang pernah ia singgahi dan ia rasa, dan kujawab sebisanya dengan bahasa Ingris dialeg Gayo. Kata yang kerap kugunakan untuk menjawab sejumlah pertanyaan Zubaidah yang bertubi-tubi itu adalah dengan kata “yes” dan “no” saja. Kedua kata ini cukup membuatnya semakin ingin tau, karena hampir semua pertanyaan dan ceritanya berbentuk pernyataan yang hanya membutuhkan kedua kata tersebut sebagai bentuk penegasan.
“I Like Takengon, I love Lake Lut Tawar”, kata Zubaidah berulang kali ketika aku coba menjelaskan dan mempromosikan keindahan dan perubahan besar kota Takengon pada masa terakhir dengan bahasa Iggris dialeg Gayo. Sebuah lanscape yang tentu sangat berbeda dengan Takengon pada tahun 1980-an. Sejumlah lokasi wisata, relief Kerawang Gayo, pacuan kuda tradisional dan tentu kopi Gayo dengan Didong-nya.
Merasa telah menyita waktuku juga pembeli lainnya yang telah antri di belakang, Zubaidah mengakhiri obrolan sambil menyodorkan minuman pesananku dalam sebuah baki warna coklat.
“this for you, free one glass of milk coffe!”, celetuknya sambil melarangku mengeluarkan dompet.
Sebelum beranjak ia masih sempat bertanya alamat. “oya, I lived in the village of Upper Asir Asir”, jawabku singkat. Akupun berlalu meninggalkan meja kasir menuju meja tigaa penyair-sastrawan besar beserta istri-istrinya yang telah menunggu sambil berucap “tank you bertubi-tubi!” pada Zubaidah. [Laporan Salman Yoga S dari Singapura]