
Oleh : Win Wan Nur
Sampai awal abad ke-16, kopi hanya diperdagangkan di Mocha, sebuah pelabuhan di Yaman. Tahun 1618, maskapai dagang Belanda VoC, mendapat izin dari kekhalifahan Turki Usmani membuka kantor dagang di kota Mocha dan Aden. Ini kemudian diikuti oleh Inggris dan Prancis.
Ketika mereka menjualnya di Eropa, respon konsumen sangat bagus. Berapapun harga kopi dinaikkan, konsumen tetap membeli. Volume permintaan terus meningkat. Inilah yang membuat Belanda dan Prancis kemudian berniat mematahkan monopoli kopi dari pedagang Arab.
Sebenarnya saat itu selain di Arab. Portugis sudah mulai menanam Kopi di luar Afrika. Di koloni mereka di Malabar, India. Tapi Portugis kurang canggih dalam manajeman logistik. Kopi baru menjadi komoditas utama dunia ketika Belanda yang mengalahkan Portugis di Malabar, kemudian membawa bibit kopi di Malabar membawa bibitnya dan membuka perkebunan Kopi di Jawa. Dengan segala kecanggihan manajemen logistiknya, Belanda membuat minuman kopi menyebar ke seluruh dunia menjadi konsumsi massal. Inilah yang kemudian dikenal sebagai Gelombang pertama budaya minum kopi.
Saat itu kualitas kopi belum menjadi isu, orang juga tidak peduli dari negara mana biji kopi itu berasal, pokoknya kopi. Pada gelombang pertama ini kopi yang paling banyak diproduksi adalah kopi instant. Puncak dari gelombang pertama ini adalah pasca perang dunia kedua, dimana Maxwell House dan Nescafe menjadi menjadi pemimpin terdepan dalam penjualan kopi sebagai minuman. Pada masa ini 80% kopi yang dikonsumsi manusia adalah kopi instant.
Belakangan, kopi instant telah mendapat perlawanan sengit dari berbagai minuman instant lain yang membanjiri pasar. Dan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan para produsen kopi.
Untuk merespon tuntutan dan persaingan pasar dengan produk minuman lain yang semakin ketat ini. Pada akhir dekade 60-an datanglah ‘Gelombang Kedua’ dalam budaya minum kopi. Sehingga konsumen kopi yang benar-benar menyukai kopi, menuntut sesuatu yang lebih dari kopi yang mereka konsumsi. Untuk menjawab tuntutan pasar ini, produsen kopi mulai memberi perhatian ekstra pada kualitas dan keunikan karakteristik rasa kopi.
Gelombang kedua (Second Wave) ini ditandai dengan mulai menyebarnya teknik espresso dan perusahaan seperti Starbucks dan Behemoth mulai memperkenalkan dan menjual “Specialty Grade Coffee” dan mereka pun mulai menciptakan rasa-rasa kopi berdasarkan negara asal kopi tersebut. Maka dikenallah produk seperti ‘Latte Cappucino’ dan ‘Frappe’ yang menggunakan kopi yang berasal dari Kolombia, Kenya atau Jawa. Kualitas rasa kopi juga meningkat pesat. Mesin-mesin pembuat kopi yang berharga mahal pun mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia. Dan akhirnya gelombang baru budaya minum kopi pun menyapu dunia.
Pada sebuah konferensi kopi di Chiang Mai, Thailand yang penulis hadiri di awal abad ini. Almarhum Dr.Ernesto Illy, pemilik produsen kopi terkemuka ‘Illy Cafe’ asal Italia, mengungkapkan kekhawatirannya akan serangan dari produk minuman lain. Saat itu menurut Dr. Illy dengan tegas mengatakan kalau satu-satunya cara bagi kopi untuk memenangkan pertarungan dengan produk minuman lain adalah dengan memastikan kopi yang kita tawarkan ke pasar benar-benar berkualitas dan istimewa. Dan ini secara konsisten dilakukan oleh Illy melalui perusahaannya. Saat itu Dr.Illy dengan yakin meramalkan bahwa di masa depan, tuntutan konsumen atas kualitas rasa kopi akan semakin tinggi.
Karena masa depan kopi ada pada kualitas dan keunikan rasanya. Saat itu Dr.Illy mengajak, para produsen kopi mulai dari petani sampai roaster untuk bersama-sama bergandeng tangan untuk memastikan bahwa kopi yang dilepas ke pasar benar-benar hanyalah kopi yang berkualitas.
Apa yang dikatakan oleh Dr.Ernesto Illy yang telah almarhum pada tahun 2002, dengan tepat terbukti beberapa tahun kemudian setelah beliau wafat.
Kecanggihan yang ditawarkan oleh budaya minum kopi gelombang kedua ini ternyata belum cukup. Respon dari produk minuman lain atas ‘Coffee- Second Wave’ membuat pasar menuntut sesuatu yang lebih terhadap kopi yang mereka konsumsi.
Atas dasar tuntutan pasar seperti ini. Untuk menyelamatkan keberadaan kopi sebagai produk minuman terkemuka, beberapa roaster mulai melakuan eksperimen dengan mengeksplorasi berbagai teknik dan cara untuk lebih meningkatkan lagi kualitas rasa kopi yang dapat disajikan. Dan dunia pun bersiap memasuki peradaban kopi yang lebih tinggi.
Saat ini merujuk pada sejarah perkembangan Kopi sebagai minuman yang disebut oleh Thomas Jefferson (Presiden kedua Amerika, sekaligus penulis Declaration of Independence) sebagai ‘The favorite drink of civilezed world’, “Minuman favorit dunia beradab’ini telah memasuki masa yang disebut sebagai ‘Third Wave'(Gelombang ketiga).
“Coffee – Third Wave” ini dipelopori oleh Jepang dan Taiwan. Cikal bakal ‘Gelombang ketiga’ ini dimulai ketika para penggemar kopi di Jepang dan Taiwan mencoba menerapkan ide-de kompleks untuk mempersiapkan dan menyajikan secangkir kopi. Sebagaimana sebelumnya telah mereka praktekkan dalam ritual minum teh mereka yang sudah membudaya .
Dari Jepang dan Taiwan, ide ini kemudian menyebar. Ditandai dengan dibukanya berbagai kedai kopi dengan produk khusus (niche coffee shop) yang mendedikasikan diri untuk menciptakan ekstrak rasa yang benar-benar berbeda, khas dan istimewa dari setiap biji kopi yang mereka sajikan sebagai minuman.
Dan perlahan tapi pasti, budaya minum kopi ‘gelombang ketiga’ ini pun menyebar dan sekarang mulai ‘mewabah’ di seluruh penjuru dunia. Ciri utama dari budaya minum kopi ‘gelombang ketiga’ ini adalah cara pengklasifikasian kopi yang menjadi semakin mirip dengan klasifikasi anggur di Perancis sana. Di mana tiap kebun penghasil kopi, memiliki keunikan rasa sendiri.
Jonathan Gold, kritikus makanan pemenang hadiah Pulitzer dari LA Weekly, mendefinisikan kebiasaan baru ini sebagai berikut :
“Kita sekarang berada pada gelombang ketiga dari segi pengetahuan tentang kopi, dimana biji kopi diklasifikasikan berdasarkan asal kebun, bukan lagi asal negara. Roasting adalah tentang bagaimana mengeluarkan keunikan karakteristik setiap biji kopi yang menciptakan ekstraksi efek rasa yang berbeda dari setiap biji kopi, dan rasa yang tercipta adalah JELAS dan TEGAS dan MURNI”
Kalau kita amati, ada satu hal yang sangat menarik bagi masyarakat Gayo mengenai “Coffee- Third Wave” ini. Yaitu, tidak ada satupun tempat di planet ini yang lebih ideal untuk mengembangkan kopi gelombang ketiga ini dibandingkan TANOH GAYO.
Kenapa demikian?
Ini terkait dengan karakteristik perkebunan kopi di Gayo. Dengan luas lahan lebih dari 80 ribu hektar, yang merupakan lahan kopi Arabika terbesar di Asia. Perkebunan kopi di Gayo terbagi ke dalam banyak lokasi yang masing-masing memiliki keunikan iklim, suhu, ketingggian dan karakteristik tanah tersendiri yang terkadang perbedaannya sangat ekstrim antara satu wilayah dan wilayah lain.
Kemudian keunikan karakteristik lingkungan ini disempurnakan pula dengan karakteristik kepemilikan kebun-kebun kopi di Gayo yang tidak dikelola oleh satu perusahaan besar. Tiap kebun kopi di Gayo diusahakan oleh para petani kecil dengan rata-rata luas lahan di bawah 2 hektar. Sehingga keunikan karakteristik masing-masing kebun benar-benar terjaga. Dan ajaibnya, meskipun karakteristiknya sangat berbeda, skor kopi Gayo selalu di atas 85, yang artinya sangat istimewa.
Segala keunikan ini masih ditambah pula dengan fakta bahwa Gayo adalah produsen kopi organik nomer tiga terbesar di dunia. Mengingat semakin meningkatnya kesadaran para peminum kopi dunia pada konsumsi produk-produk organik. Ini tentu merupakan keunggulan tak ternilai bagi Kopi Gayo.
Lalu apa arti dari semua fakta ini?…MASA DEPAN KOPI DUNIA ADA DI GAYO…
Fenomena ‘Coffee – Third Wave’ ini benar-benar harus direspon oleh Gayo. Sebab ini bisa menjadi solusi untuk mensejahterakan petani Gayo yang selama ini selalu mengeluhkan fluktuasi harga kopi yang tidak menentu, karena lebih dari 95% Kopi Gayo diekspor sebagai komoditas.
‘Coffee – Third Wave’ adalah sebuah peluang yang jika tidak diambil oleh orang Gayo sendiri, maka seperti yang terjadi selama ini, orang Gayo hanya akan menjadi objek yang hanya bisa menonton dengan pasrah hiruk pikuk datangnya ‘gelombang’ ini dan kembali harus pasrah dengan harga kopi yang ditetapkan para pemain besar.
‘Coffee – Third Wave’ baru mulai, Gayo masih memiliki kesempatan besar untuk masuk ke mainstream ‘roasted coffee’ untuk menciptakan produk-produk kopi ‘Gelombang Ketiga’ yang sekarang sedang perlahan tapi pasti mulai menjadi trend dunia.
Ciri lain dari peminum kopi ‘gelombang ketiga’ ini adalah rasa ingin tahu yang besar terhadap daerah yang memproduksi kopi yang mereka minum. Dan sekali lagi, ini adalah peluang bagi Gayo untuk mengembangkan pariwisata.
Kalau selama ini, untuk mengembangkan ini semua kita hanya bisa berharap pada peran swasta.
Kali ini, dengan dilantiknya anggota dewan yang baru. Dan sudah mulai ada tanda-tanda wakil Gayo di DPRA akan bersuara. Ada baiknya, kita sebagai rakyat sipil, mulai menekan pemerintah dan legislatif untuk memberikan perhatian lebih pada peluang yang sudah ada di depan mata ini.
Pada pembahasan anggaran ke depan nanti, kita harus menekan wakil kita di DPRK dan DPRA untuk menekan pemerintah supaya ada pos khusus untuk pengembangan Kopi sebagai industri unggulan di Gayo. Ini harus dilakukan supaya kita tidak kehilangan momentum dan peluang di depan mata ini akhirnya diambil orang lain.
*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo
Referensi :
SHALINI, Coffee – The Third Wave, Bali Advertizer edisi 20 februari – 6 maret 2013
William Uker – All About Coffee 1992
Topik, Steven – The World Coffee Market in The Eighteen Centuries, From Colonial to National Regimes. Department of History University of California 2004