
Takengon-LintasGayo.co : Saer (lagu-red) Didong Gayo tempo doeloe ibarat tamsil “Bengkuang Gewat, tengkahe gip luke e dekat” demikian dicetuskan budayawan Salman Yoga S saat menjadi salah seorang pembicara workshop “Revitalisasi dan Reaksilisasi Kesenian Tradisi Didong Gayo 2014” yang digelar di Wapres Takengon, Selasa malam 24 Juni 2014.
Maksud ucapan ini, menurut Salman, saer Didong dulu halus dalam mengungkap sesuatu, tidak kasar dan terang-terangan seperti saat ini. Pernyataan ini diamini salah seorang Ceh Didong klub Lakiki, Juanda yang juga sebagai narasumber diskusi tersebut.
“Butuh waktu memikirkan apa makna yang diungkapkan Ceh Didong dalam saernya, bahkan hingga berhari-hari baru orang menyadari yang dimaksud Ceh tersebut. Beda dengan sekarang, begitu dilantunkan Ceh, langsung dimengerti apa maksudnya alias tanpa kiasan lagi,” ujar Salman. Penyebabnya, menurut Salman, salah satunya karena Ceh kurang perbendaharaan kata-kata Gayo.
Selanjutnya, Ceh Didong dulu berani mengkritik, bahkan Bupati sekalipun dan hebatnya Ceh tidak berani mengkritik Ceh lain. “Kini terbalik, menyindir ceh lain berani, menyindir Bupati tidak berani. Bercontohlah seperti Ceh Daman yang berani mengkritik Pemerintah bahkan hingga dijebloskan ke penjara,” ujar Salman.
Lebih jauh diutarakan, saer Didong dulu autokritik untuk semua, namun kini lebih ke menjilat orang penting padahal tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. “Pantauan saya, klub Didong Arita paling populer saat ini karena mereka berani mengkritik,” ujar Salman.
Kegiatan workshop yang terselenggara atas kerjasama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh dengan Komunitas Seni Budaya Lintas Gayo itu dibuka oleh Kabid Bahasa dan Seni Budpar Aceh, dihadiri Kadisbudparpora Aceh Tengah diwakili Sekretaris Dinas, Marguh.
Tampil memeriahkan acara, sanggar Oloh Guel dengan musik Bambu Gayo serta klub Didong Teruna Jaya dengan ceh Kabri Wali. (Khalis)