Mengevaluasi Shalat Kita

oleh

(Refleksi Peringatan Isra’ Mi’raj 1434 H)

Oleh Johansyah*

ilustrasi : Kha A Zaghlul
ilustrasi : Kha A Zaghlul

Hari kamis (06/06/13) besok umat Islam di berbagai belahan dunia akan memperingati salah satu peristiwa penting dalam sejarah Islam yakni isra’ mi’raj. Indonesia sebagai negara mayoritas penduduknya Islam tentu tidak ketinggalan memperingati peristiwa bersejarah ini. Acaranya dikemas beragam, mulai dari tabligh akbar, perlombaan, dan aneka kegiatan lainnya.

Memperingati peristiwa penting isra’ mi’raj tentu saja baik, walaupun tidak ada dalil maupun hadits secara tegas dan jelas yang memerintahkan atau melarang untuk melaksanakannya. Di sisi lain, sebenarnya yang perlu bagi kita umat Islam bukanlah memperingatinya dengan menghadirkan muballigh kondang serta menutupnya dengan acara makan-makan, melainkan harus mampu memaknai esensi dari isra’ mi’raj tersebut sehingga berpengaruh positif terhadap kualitas amal yang kita jalankan sehari-hari.

Sebenarnya banyak pembahasan yang dapat diuraikan berkaitan dengan isra’ mi’raj. Namun demikian tulisan ini hanya fokus kepada esensi dari peristiwa isra mi’raj yang oleh kalangan ulama secara umum sudah disepakati. Esensi tersebut tidak lain adalah shalat sebagai bingkisan istimewa yang diberikan Allah kepada Nabi Saw ketika bermi’raj ke Sidratul Muntaha.

Pada peringatan isra’ mi’raj, rukun Islam yang kedua inilah yang seharusnya menjadi perhatian bersama. Terkait dengan shalat ini ada dua hal yang sejatinya selalu kita telaah bersama yaitu mengevaluasi kualitas shalat kita dan tanggung jawab serta kewajiban kita untuk mengajarkannya kepada anak-anak kita.

Seorang muslim seharusnya mempertanyakan kualitas shalatnya, apakah sudah baik atau belum. Hal ini tentu penting karena jika kualitas shalat kita baik, itu artinya kualitas komunikasi kita dengan Allah juga baik, sebab shalat adalah media komunikasi langsung dengan-Nya yang dilakukan lima kali sehari semalam. Di sisi lain, kewajiban orang dewasa terutama orang tua adalah mengajarkan anak-anak mereka bagaimana kaifiyah shalat sehingga mereka mengenal shalat dan mengerjakannya setulus hati.

Terkait dengan kualitas shalat seseorang, ada beberapa indikator untuk mengetahui shalat seseorang baik atau tidak, yaitu: Pertama, ikhlas dan sabar. Seseorang yang mendirikan shalat tentu tidak boleh merasa terpaksa karena shalat adalah momen komunikasi langsung dengan-Nya. Selain itu orang yang shalat perlu sabar karena ketertiban antara satu gerak dan bacaan tidak akan terlihat jika tidak dibarengi dengan kesabaran.

Kedua adalah bahwa shalat yang baik adalah tepat waktu. Salah satu amalan yang paling utama sebagaimana digambarkan dalam hadits Nabi Saw adalah shalat tepat waktu (H.R. Bukhari). Ketika azan berkumandang, kita dengan ringan bergegas berwudhu untuk melaksanakan shalat. Sebagian orang terbiasa dengan mengulur-ulur waktu shalat, masih sempat sebentar lagi. Sikap seperti ini menandakan bahwa orang tersebut belum menjadikan shalat sebagai prioritas dan kebutuhan, atau merasa bahwa ibadah tersebut tidak penting.

 Ketiga, shalat yang baik adalah khusyu’. Salah satu orang yang beruntung dalam pandangan alqur’an adalah mereka yang khusyu’ dalam shalatnya. Allah berfirman: ‘ sungguh beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam melaksanakan shalat (QS. al-Mukminun: 1-3). Khusyu’ dalam shalat berarti menjalankan perintah shalat sepenuh hati sehingga terasa nikmat dan khidmad melaksanakannya.

Keempat, shalat yang baik adalah mengikuti sunnah. Banyak orang yang mendirikan shalat tapi tidak berdasarkan praktik shalat Nabi Saw. contohnya, ada orang yang matanya liar ke kanan kiri ketika melaksanakan shalat. Atau ada yang menjamak shalat asharnya ke maghrib. Ini tentu saja tidak berdasarkan tuntunan shalat sebagaimana di ajarkan oleh Nabi Saw.

Wajib Mengajarkan

Adapun hal kedua yang terpenting dari shalat adalah bahwa kita wajib mengajarkannya kepada anak cucu. Rukun Islam kedua ini adalah pusaka spiritual yang harus diwariskan secara estafet dari generasi ke generasi. Makanya ketika seseorang telah berumah tangga dan dikaruniai anak, Nabi saw memerintahkan untuk memperkenalkan shalat, mengajarkan, dan membiasakan mereka dengan ibadah tersebut. Bahkan orang tua diminta untuk melakukan berbagai pendekatan agar anak sadar diri untuk mendirikan shalat.

Untuk menjadikan shalat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak, maka orang tua harus menerapkan metode habituasi (pembiasaan) dan keteladanan dalam rumah tangganya. Bagi orang tua rasanya sulit mengajarkan dan membiasakan anak mereka untuk shalat sementara dia sendiri belum mendirikannya. Artinya jika orang tua ingin anak-anaknya menjadi muslim yang rajin mendirikan shalat, maka sejatinya dialah yang lebih dahulu melaksanakannya.

Anak sebagai peserta didik sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan dalam keluarga dan suasana lingkungan sekitarnya. Namun pengaruh lingkungan negatif relatif dapat teratasi ketika sistem dan manajemen pendidikan keluarga tertata dengan baik, karena anak sudah dibekali dengan fondasi agama yang kuat dan kokoh, sehingga mampu memilter mana yang baik dan buruk.

Ingatlah, anak merupakan amanah Allah yang sangat berharga. Untuk itu, orang tua dituntut untuk mampu menjaga amanah tersebut dan mampu mengembalikannya dalam kondisi yang sama kepada Allah. Kondisi sama yang dimaksud adalah bahwa anak dilahirkan ke dunia suci tanpa dosa. Maka orang tua diharapkan mampu menjaga kondisi suci ini, walaupun tidak mungkin tanpa secuil dosa, akan tetapi setidaknya anak sudah mengenal siapa Tuhannya, Nabinya, kitabnya serta menyadari eksistensi dirinya.

Barangkali, kita perlu belajar banyak dari sosok Lukman Hakim yang dikisahkan dalam alqur’an. Dia merupakan sosok orang tua ideal yang selalu memberi keteladanan, nasehat dan bimbingan kepada anaknya. Di antara nasehatnya adalah perintah tentang shalat, agar anak tidak melakukan syirik (menyekutukan Tuhan), berbuat baik kepada orang tua, imbalan dari setiap amalan, tidak boleh angkuh, dan Lukman juga mengajarkan anaknya untuk berbicara santun (baca QS. [31] Lukman: 12-19).

Akhirnya, isra’  mi’raj sejatinya dijadikan sebagai momentum untuk mereaktualisasi perintah shalat. Jika dulu Allah menghadiahkan shalat kepada Nabi saw, maka sebagai orang tua muslim sejatinya kita tidak sekedar mewariskan harta kekayaan duniawi kepada anak-anak kita melainkan mewariskan shalat dengan mengajarkannya agar anak mengenal Sang Maha Besar yang menciptakan bumi dan langit serta segala isinya.

*Mahasiswa Program Doktor pada PPs IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

 

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.