Gayo dalam buku John Bowen “Sumatran Politics and Poetics:Gayo History,1900-1989”

oleh
Bowen dan cover bukunya

Oleh : Win Wan Nur*

Buku Jhon

Judul Buku : Sumatran Politics and Poetics : Gayo History, 1900-1989
Penulis  :  John Bowen
P
enerbit :  Yale University Press
Tahun Terbit : 1991
Tebal Buku
  :

Foto: John Bowen (sumber : https://anthropology.artsci.wustl.edu/bowen_john)
Foto: John Bowen (sumber : https://anthropology.artsci.wustl.edu/bowen_john)

Sumatran Politics and Poetics : Gayo History, 1900-1989 yang pertama kali diterbitkan oleh Yale University Press pada tahun 1991, adalah buku pertama karya John Bowen tentang Gayo yang berdasarkan atas penelitiannya di tanoh Gayo sepanjang 11 tahun. Dalam kurun waktu itu, selama dua tahun. Antara maret 1978 sampai maret 1980 benar-benar dihabiskannya di Gayo. Selebihnya, antara tahun 1980-1989, Bowen tinggal di Banda Aceh, Medan dan Jakarta. Tapi tentu saja masih tetap sering mengunjungi Gayo.

Bisa dikatakan, buku ini bersama karya-karya Bowen lainnya tentang Gayo yang menyusul belakangan adalah karya ilmiah yang paling lengkap mengulas Gayo. Baik secara wilayah, etnisitas, kehidupan sosial, politik dan seni budaya.

Bahkan menurut Joel S. Kahn dari Monash University, Australia yang dia tulis dalam Jurnal ilmiah American Etnologist.  Sumatran Politics and Poetics adalah ulasan antropologi modern pertama yang mengulas Gayo dari kacamata orang Gayo sendiri. Setelah selama ini, setiap ulasan tentang Gayo termasuk yang dibuat oleh Snouck Hurgronje. Selalu memandang Gayo dengan menggunakan kacamata orang Aceh yang dalam kurun waktu yang  lama mendominasi Gayo baik secara politik maupun kultural.

Dalam buku ini, antropolog yang bernama lengkap John Richard Bowen ini mengulas Gayo secara ilmiah. Dalam pengertian, dia menempatkan dirinya  benar-benar hanya sebagai pengamat yang memberi komentar secara objektif. Tanpa berpihak dan tidak ikut campur untuk menilai baik atau buruk.

Sesuai judulnya, Bowen yang sekarang menjabat sebagai Profesor dan pernah menjadi dosen terbaik di University of Washington, di  St. Louis, yang terletak di Negara bagian Missouri  di Amerika Serikat. Membagi buku ini menjadi dua bagian besar.

Pada bagian pertama diberi judul “Gayo History and Its Representations”. Bowen mengupas habis soal sosial kemasyarakatan dan budaya Gayo, struktur politik dan narasi sejarah pada tahun 1900 di mana Bowen menjadikan “Het Gajoland en Zijne Bewoners” nya Christian Snouck Hurgronje sebagai rujukan utama dan kemudian membenturkan ulasan Hurgronje ini dengan hasil pengamatannya sendiri. Yang beberapa di antaranya sesuai dengan ulasan Hurgronje yang seumur hidupnya tak pernah menginjakkan kaki di Gayo. Tapi beberapa di antaranya, membantah ulasan Hurgronje.

Kemudian masih pada bagian pertama ini, Bowen juga mengulas tentang pengaruh kedatangan Belanda ke Gayo. Yang salah satunya menciptakan sistem hirarki politik dalam masyarakat Gayo.

Maju ke masa kemerdekaan, Bowen yang sewaktu menetap di Isak diberi nama Gayo, Jauhari oleh ayah angkatnya Tengku Asaludin menyoroti tentang perebutan pengaruh antara Islam dan Indonesia sebagai bangsa negara. Periode ini ditandai dengan ramai-ramainya Urang Gayo meninggalkan edet sebagai sistem sosial kemasyarakatan dan diganti dengan sistem ke-Indonesiaan yang bentuknya masih belum jelas sampai sekarang.

Dan terakhir pada bagian ini Bowen mengulas tentang Politik dan Budaya di masa orde baru. Yang dimulai dari peristiwa kelam 1965 yang menjadi trauma tersendiri bagi masyarakat Gayo dan kelanjutan pemerintahan Orde Baru sampai 1989.

Buku ini sendiri ditulis dan diterbitkan ketika Orde Baru masih berada di puncak kejayaan. Sehingga pada bagian ini, kita dapat merasakan dengan jelas, bagaimana Bowen sangat berhati-hati sekali dalam membuat ulasan. Kentara sekali terbaca kalau Bowen begitu menjaga nama baik dan keselamatan nara sumbernya, dengan menyamarkan identitas beberapa tokoh yang memiliki keterkaitan dengan korban yang dituduh sebagai anggota PKI.

Pada bagian kedua, Bowen mengulas tentang Puisi (termasuk di dalamnya, didong, syair, pepatah sampai mantra yang dalam bahasa Gayo disebut doa) dan sejarahnya.

Di sini Bowen mengulas tentang budaya didong jalu, lirik-liriknya yang mengikuti perkembangan sosial di Gayo. Mengikuti perubahan zaman melalui perkembangan politik antara tahun 1945-1989. Dari masa ketika edet menjadi alat kontrol sosial kemasyarakatan yang kemudian digantikan dengan hukum positif Republik Indonesia.

Pada bagian ini Bowen juga mengulas tentang ‘kekeberen’ yang menceritakan sejarah asal urang Gayo. Syair dan politik sepanjang sejarah Linge dan sejarah dari sejarah itu sendiri. Berbagai doa dan mantra yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari urang Gayo. Kemudian Bowen juga membahas bagaimana Islam mereformulasi sejarah Gayo. Di mana tokoh-tokoh dalam kisah kekeberen yang katanya adalah nenek moyang Urang Gayo diberi sentuhan Islam.

Bagi kita urang Gayo dalam kaitannya dengan situasi kekinian kita yang secara politik sedang bergerak dinamis memperjuangkan berdirinya Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA). Salah satu bagian yang sangat menarik dalam buku Bowen ini adalah hubungan antara Aceh dan Gayo yang sangat berbeda secara etnisitas.

Menurut Bowen, dilihat dari sisi liguistik, bahasa Gayo memiliki banyak kata yang termasuk dalam rumpun bahasa Mon-Khmer di daratan utama Asia Tenggara yang tidak ditemukan dalam bahasa Aceh (Bahasa Aceh juga memiliki beberapa kata dari akar bahasa Mon-Khmer, tapi bukan kata yang sama yang ditemukan dalam bahasa Gayo). Ini menunjukkan bahwa pada suatu masa, Gayo pernah tinggal di daerah pesisir dan mengalami kontak langsung dengan penutur bahasa Mon-Khmer atau penutur bahasa Austronesia yang sudah punah yang dalam bahasanya meminjam beberapa kata dari bahasa Mon-Khmer.

Dalam catatan kaki di halaman 15 buku ini, Bowen mengutip hipotesis Gerard Diffloth yang menemukan bahwa Bahasa Aceh memiliki hubungan dekat dengan bahasa Austronesia dari rumpun Cham. Terdapatnya beberapa kata Mon-Khmer dalam bahasa Aceh adalah karena alasan sederhana yaitu perlakuan Lexicostatistik (memungut kata-kata yang sering muncul dalam percakapan dengan suku lain, seperti kata ‘Insya Allah’ yang sudah diserap menjadi bahasa Perancis prokem yang berarti ‘semoga’).

Di halaman yang sama, Bowen mengutip “Hikayat Raja-Raja Pasai”, sebuah manuskrip yang ditulis pada abad ke-14 yang menyebutkan tentang sekelompok masyarakat di negara Pasai yang menolak masuk Islam dan kemudian pindah ke hulu sungai Peusangan. Pindahnya sekelompok masyarakat ke hulu Sungai Peusangan sebagai mana dikisahkan di dalam “Hikayat Raja-Raja Pasai” ini. Belakangan oleh orang Aceh kisah ini ditambah-tambahi ke dalam cerita dongeng pengantar tidur, untuk membuat cerita spekulasi tentang asal-usul nama Gayo yang menurut orang Aceh berasal dari kata pengecut ‘Kayo’. Yang mana istilah ini sebenarnya dibuat terkait dengan stereotip yang berkembang di masyarakat Aceh (masa itu) yang memandang Gayo sebagai masyarakat kurang beradab yang baru saja keluar dari kepercayaan animisme.

Kemudian  dalam “Hikayat Aceh” yang ditulis pada abad ke-17 ada satu bagian yang menceritakan tentang suatu daerah yang memiliki laut berair tawar yang sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Sultan Iskandar Muda.

Kisah dalam kedua Hikayat itu menunjukkan dengan jelas posisi Gayo yang berada di wilayah pinggiran dalam konstelasi politik Aceh. Dan setelah muncul di dua referensi tersebut, tidak ada lagi kisah tentang Gayo yang bisa ditemukan dalam literatur apapun, baik sebelum maupun sesudahnya. Baru pada masa perang Aceh – Belanda pada tahun 1870, Gayo menjadi perhatian orang-orang Eropa.

Karena posisinya yang berada di pinggiran konstelasi politik Aceh. Posisi Raja di Gayo dalam pandangan masyarakatnya sangat kontras berbeda dengan posisi Raja dalam pandangan masyarakat yang hidup di wilayah Aceh Pesisir.

Di halaman 32, Bowen memaparkan jika di pesisir, raja adalah orang yang memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam masyarakat. Yang merupakan pengendali hukum dan aturan. Serta memiliki hak dan kedudukan istimewa dalam pandangan masyarakat.

Sebaliknya di Gayo, Raja hanyalah representasi atau wakil dari masyarakat Gayo  dihadapan Sultan Aceh. Sementara pengaruh Raja Gayo dalam urusan ‘dalam negeri’ Gayo sendiri sangat sedikit sekali. Di Gayo, seorang Raja hanya bisa melakukan apa yang disetujui oleh mayoritas masyarakatnya. Kurang lebih sama seperti fungsi seorang penyelenggara negara di dalam sistem pemerintahan demokrasi modern.

Jika dalam masyarakat Aceh, rakyat tunduk dan ikut apa kata Raja. Maka dalam masyarakat Gayo, yang terjadi adalah sebaliknya, Rajalah yang tunduk dan ikut apa kata rakyatnya.

Berbeda dengan orang Aceh yang tumbuh dalam masyarakat dalam kultur dengan hirarki politik yang jelas yang secara tegas membedakan status  atasan dan bawahan. Gayo tidak demikian, orang Gayo secara sosial kurang memiliki keterpaksaan untuk tunduk pada hirarki politik. Orang Gayo tidak ‘didesain’ untuk menjadi pribadi yang takut pada atasan. Sehingga orang Gayo secara umum berkembang menjadi pribadi yang disebut oleh para antropolog sebagai “True Republican” yang egaliter, yang memandang semua orang dalam posisi setara.

Tampaknya karakter yang sudah merupakan ‘cetakan alam’ inilah yang menjadi alasan, mengapa sampai hari ini tak ada satu pun pemimpin besar yang lahir di Gayo. Seorang pemimpin yang setiap kata dan perbuatannya diikuti dengan takzim oleh seluruh masyarakat Gayo. Dan ini pula yang membuat, orang Gayo terlihat sangat sulit dipimpin. Sebab, sebagaimana diulas oleh Bowen. Pada dasarnya di Gayo, kekuasaan tertinggi itu ada di tangan rakyat. Bukan pada Raja.

Di halaman 51 – 52, Bowen menulis bahwa dalam hubungannya dengan Sultan Aceh.  Meskipun Gayo secara teritori masuk ke dalam wilayah Aceh. Tapi, dalam prakteknya, masyarakat Gayo hanya memandang Sultan sebagai sumber legitimasi yang ada di tempat jauh. Yang meskipun dihormati dan terus diberi penghargaan dari waktu ke waktu tapi tidak banyak berperan dalam kehidupan keseharian masyarakat Gayo. Selama upeti lancar, orang Aceh tidak ikut campur secara langsung urusan orang Gayo.

Orang Aceh memiliki hubungan yang jauh lebih dekat dengan Gayo dalam banyak bentuk lain dibandingkan dengan relasi politik.

 Islam merupakan bingkai untuk berkomunikasi antara Gayo dan Aceh. Banyak orang Gayo yang belajar agama di daerah pesisir. Seperti di Awe Geutah di dekat Bireun.

Masyarakat Gayo dari Isak juga terbiasa berdagang dengan orang Aceh di pesisir. Menukar tembakau, kuda dan bahkan Kerbau dengan garam dan pakaian . Beberapa orang Gayo kemudian menikahi perempuan Aceh. Dan beberapa laki-laki Aceh juga datang ke Isak untuk berdagang atau menghindari kejaran tentara Belanda untuk kemudian menikah dengan perempuan Gayo.

Dari hubungan seperti ini, kemudian banyak orang Gayo mengerti bahasa Aceh.  Berbagai syair bahasa Aceh pun menjadi populer di berbagai wilayah di dataran tinggi Gayo. Karena banyak orang Aceh yang menikah dengan perempuan Gayo di Isak pada masa pergantian abad (19 ke 20) adalah para pejuang yang terlibat dalam perang melawan Belanda. Mereka membawa politik dan syair tentang perang bersama mereka dan menyebarkannya di Gayo.

Masa perang Aceh-Belanda bisa dikatakan adalah masa dimana kekuatan budaya literatur Aceh secara intensif masuk ke Gayo, melalui pembacaan syair-syair bahasa Aceh yang didesain untuk meningkatkan semangat tempur.

Selain hubungan dengan Aceh. Buku ini juga mengulas tuntas banyak permasalahan Gayo modern. Seperti sentimen Uken-Toa, kapan mulainya, apa penyebabnya dan bagaimana sentimen ini kemudian dibawa sampai ke perantauan. Sampai-sampai masyarakat Gayo yang sudah bertahun-tahun tinggal di kota-kota yang jauh seperti Medan dan Jakarta pun masih terbelah oleh sentimen Uken-Toa ini.

Di buku ini, Bowen yang setelah menikah dan punya anak memanggil dirinya sendiri sebagai Aman Genali (merujuk pada nama anak pertamanya) juga mengulas secara detail masalah kaum mude dan kaum tue dalam masalah agama. Bagaimana edet dengan sengaja dibuang dari kehidupan keseharian masyarakat Gayo sehingga orang Gayo menjadi gamang dan di tahun 1980-an kemudian banyak yang menganggap berbahasa Indonesia sebagai sesuatu yang keren dan modern. Sementara yang berbahasa Gayo identik dengan sikap kolot. Dan macam-macam hal lagi, seperti sistem sarak opat, belah, kuru, kekeberen asal mula urang Gayo, kenapa Isak menjadi otonomi yang tidak tunduk kepada Linge. Tentang  Kal Pitu Mata,  ritual turun mani, ritual doa kejurun belang, sampai bermacam-macam doa, mulai dari rajah untuk pengobatan, ‘doa kebel’ sampai ‘doa ni besi’ dan banyak lagi.

Karena itulah, buku ini seharusnya menjadi bacaan wajib bagi kita generasi Gayo sekarang. Generasi Gayo yang pernah dicabut dari akarnya dan sekarang sedang kebingungan untuk menemukan jati diri kita yang sebenarnya.

*Penulis adalah anggota Dewan Adat Gayo

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.