[Naskah Teater] Dagelan

oleh

Karya: Teuku Afifuddin

 

Bulan sabit. Lelaki itu memakukan diri di dinding. Entah apa yang bersarang di benaknya.

(Berteriak):

Awalnya aku berfikir bahwa sesuatu akan kutemukan disini. Dimana banyak orang mengagungkan tentang apa yang mereka dapat, bahkan dengan pongahnya mereka menyalahkan apa yang orang dapat disana. Sesuatu yang aku nilai berharga itu ternyata tidak ada disini. Aku terjerebab dalam egosentris para empu yang miskin. Disini aku merasakan pertikaian yang tidak indah, tidak bernilai seni, busuk bagai sampah.

Suatu masa aku dipaksa harus mengikuti egosentris kebodohan beberapa empu. Mereka bersedekah dengan bertikai di antaranya. Miris rasanya melihat dagelan mereka di depan. Ada yang berkisah tentang kejayaannya yang tak terdokumentasi. Ada yang bercerita tentang luasnya kebun jengkol di kampung halamannya, dan semua cerita itu tidak ada yang mengikat dengan apa yang harus mereka dermakan kepada kami.

Bagiku dagelan mereka itu adalah iklan layanan masyarakat yang terpaksa ku tonton di sela film dokumenter yang sedang ku simak di televisi. Tapi bagi sebagian besar lain yang ditakdirkan bersama terdaftar pada lembaga ini, akan berfikir bahwa dagelan tersebut termasuk dalam sequence film dokumenter yang sedang kami saksikan.

Jujur, sebenarnya aku ingin sekali berontak, tapi saat kulihat gambar mereka yang tersenyum untukku dan saat merekam gambar wanita yang melahirkan ku, jiwa kombatan ini terhenti. Darah yang berdegup menjadi datar, membunuh nafsu akan kemerdekaan. Ya! Kemerdekaan dalam menentukan jalan menuju pulang. Kemerdekaan dalam menentukan pilihan masa ke depan, dan kemerdekaan untuk ikut atau tidak dalam menyaksikan dagelan itu.

Mereka yang di sekitar ku tertawa pulas saat menyaksikan dagelan tersebut, seakan tak ada beban hari esok yang akan menambah pikulannya. Saat ini mereka memang tak sama dengan ku, pikulan yang sedang bertahta di pundak ku, jauh sekali dengan pikulan mereka. Bahkan ada diantara mereka yang tidak memikul apapun. Hal tersebut membuat betapa polosnya mereka tertawa menyaksikan dagelan tersebut.

“Kali ini harus selesai”

Kalimat dari mulut ibu saat melepasku menaiki tangga pesawat, menghujam jantung, menusuk ke hulu hati. Matanya tak berkedip saat mengucapkan kalimat itu. Bening-bening air mata melapisi mata yang sudah menggunakan bingkai. Ini kali ke sekian aku memberi kesempatan pada ibu, wanita yang melahirkan dan membesarkanku setelah Ayah pergi.

Sepuluh tahun yang lalu, untuk kali pertama aku memberi harapan kepada Ibu menggapai citanya membingkai foto, bersama seorang anak laki-laki berbaju toga, namun aku menggantikannya dengan baju Adat pengantin laki-laki. Itulah aku, lelaki yang dilahirkan dari rahim seorang pendidik. Besar bersama mimpi, dan hidup ditemani pahit.

(Membacakan puisi seperti W.S Rendra masa muda)

Aku,
Menggadai waktu
Membenam mau
Membunuh malu
Untuk tetap
Jadi mahasiswa !

(Lemas. Terduduk. Keringat bercucuran. Mata mengawang di udara)

Belum seberapa, panas yang menyengat kulitku. Diantara kehendak dan mau tubuh yang terus berlawanan. Di depan ada penantian, harapan banyak orang, bahkan tipuan menanti disimpang menuju rumah. Aku belum merasakan empuknya kasur sampai embun membasahi dahi.

Aku masih belum bisa memejamkan mata dan tak pun beranjak dari depan layar yang menghantui kesehatan mataku. Seperti hari yang telah berlalu, tak banyak yang berubah dariku, selain sebuah masa yang berganti, dari pertikaian yang bersahabat sampai bencana yang menggugat.

(Sedih)

Kepahitan yang semakin nyata dan kenyataan yang semakin pahit membuat aku terpenjara dalam risau. Tak percaya rasanya, aku yang dulu tidak mengenal rasa menyesal, ini hari harus tersentil oleh sedikit penyesalan. Dulu aku paling benci dengan pertanyaan “apakah engkau tidak akan menyesal nanti?” itu bagiku sebuah penghinaan atas keputusan. Seseorang yang telah mengambil keputusan pastilah sudah memikirkan yang namanya penyesalan. Tidak akan datang suatu penyesalan bila kita berpikir sebelum berjalan.

Status di KTP memang telah berubah, tapi namaku belum ada tambahan di belakang kecuali aku iseng nambah sendiri. Teman-teman dan junior di kampus banyak yang sudah menggapai cita, baik cita nya atau pun cita dari orang tuanya.

Mereka semakin tampak gagah dengan toga atau seragam coklat nya. Aku sadar, bagi orang tua hanya dua foto yang ingin di gantung di dinding rumah untuk  di tatap dimasa tua atau membiarkan orang yang datang menatapnya lalu dengan bangga mereka berucap “ itu saat si polan wisuda dan yang sebelahnya saat dia menikah” Ah!

Aku belum mampu ibu! Ini kali aku baru mampu menghadiahkan mu foto bersama saat pernikahan ku dengan wanita yang ku kenal selama lebih kurang empat tahun. Sementara, foto bersama saat pakai toga mungkin harus tertunda dulu ya bu, aku berucap dalam hati kala ku lihat salah satu album foto teman seangkatan ku di kampus, bersama orang tuanya saat memakai toga. Tanpa sengaja terlihat di halaman facebooknya.

Di sebuah kedai samping lorong menuju rumah, sudah hampir 4 jam aku disana. Mencoba menikmati apa yang telah orang fikir dan buat. sambil sesekali melirik keluar, berharap sepeda motor kreditku masih tersangga di tempatnya.  Pendar  warna-warni mulai tampak dari balik celah pintu kedai yang tidak tertutup rapat.  Perlahan suara-suara menusuk telinga. Riuh Musik dan merdunya suara mesin kendaraan yang sedang mengabdi mengantarkan tuannya ke tempat tujuan.

Di atas bahan dari plastik yang berkaki empat aku bertahta. Mencoba tuk terus memacu serum ke otakku, agar dapat masih bekerja, walau kutahu kapasitas energinya yang sudah mulai menipis untuk menjalankannya namun aku tetap berharap untuk tidak tidur dulu, karena sepertinya hari itu begitu indah.

Kini usiaku memasuki kepala tiga, tidak mudah bagi seorang lelaki yang telah beristri untuk menempuh perjalanan ini,  perjalanan yang pernah terhenti. Aku tidak menyalahkan siapapun terhadap pemberhentian itu. Bukan salah ibu, atau wanita yang memikatku sampai pelaminan. Ini murni kesalahanku, kesalahan seorang lelaki.

 Laki-laki
Yang mengusung matahari
Dipundaknya. Mengeringkan bunga dengan kepanasan
Kepalanya-Ini aku sedang berbagi agar bulan
Berumah di hati tak sekedar mimpi di jiwa.

(Usai baca puisi terpaku di sudut pentas) [SY]

*             *              *

 TAMAT

 Teuku Afifuddin dikenal dengan Teuku Afeed, Sineas, Dramaturg dan pengkaji tradisi lisan.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.