Takengon “surga” cafe. Layakkah kota dingin itu digelar dengan sebutan tersebut? Kenapa tidak, perkembangan cafe di kota Takengon bagai jamur dimusim hujan. “Demam” cafe benar-benar sedang melanda ibukota Kabupaten Aceh Tengah itu. Kini, disetiap sudut kota dapat ditemukan cafe yang buka sampai larut malam.
Tercatat, lebih dari 24 cafe yang sudah buka di kota Takengon. Dampaknya, pelanggan warung kopi tradisional pelan-pelan mulai beralih menikmati kopi arabika yang disediakan cafe-cafe itu.
Warung kopi tradisional yang bertahan dengan menu biasa, memang masih mendapat kunjungan pelanggan setianya. Namun, mereka mulai menyesuaikan menu sajiannya seperti layaknya cafe yang sedang tumbuh pesat di kota Takengon.
Pasalnya, para coffee holic yang sudah pernah mencoba citarasa dan aroma kopi arabika Gayo, pasti akan kembali lagi. Selain citarasa arabika Gayo yang terus melekat di lidah mereka, harga secangkir espresso di Takengon relatif murah, hanya Rp. 6 ribu per cangkir.
Jangan bayangkan pelanggan yang “nongkrong” di cafe itu adalah kalangan “the have” alias orang berada. Mereka tidak lebih warga biasa yang mulai bisa menikmati kopi yang mereka tanam. Sepertinya, mereka mulai dapat menikmati citarasa kopi arabika yang selama ini sepenuhnya diekspor ke luar negeri.
Demikian pula dengan pemilik cafe, mereka juga bukan dari kelompok “the have.” Sebagian besar adalah para coffee holic yang terlanjur jatuh cinta kepada aroma kopi arabika Gayo. Prinsip mereka sederhana. Seandainya menu kopi itu laku, alhamdulillah. Bila belum ada pembeli, tentu untuk diminum sendiri.
Lihat saja, semangat wirausaha beberapa mahasiswa Universitas Gajah Putih Takengon. Hanya bermodalkan sebuah coffee maker dan ruang saji sederhana, mereka berani membuka PMW Cafe di kawasan Kebayakan.
Buktinya, mereka masih tetap bertahan sampai hari ini. Pelanggannya tidak berkurang, malah bertambah. Apalagi bahan baku berupa coffee roasted di Takengon dapat diperoleh dengan mudah. Malah sebagian besar bahan baku kopi green bean berasal dari ladang sendiri.
Tak terkecuali Win Ruhdi Bathin WRB, pionir cafe di kota Takengon, mulai mengembangkan sayap. Selama ini, dia membuka pojok kopi di Kantin Batas Kota. Keberaniannya membuka cafe lima tahun lalu, ternyata menjadi trigger bagi anak muda lainnya untuk membuka cafe.
Sebagai pionir, dia ingin tantangan baru ditengah menjamurnya cafe di kota dingin Takengon. Makanya, dia tampil dengan semboyan: Bukan Sekedar Kopi. Semboyan itu berangkat dari pemikiran WRB bahwa kopi adalah warisan budaya.
Oleh karena itu, kopi perlu dikelola dengan pendekatan budaya. Dia ingin mengajak coffee holic, selain menikmati citarasa kopi arabika, juga merasakan dalamnya nilai-nilai budaya yang dimiliki daerah itu.
Jangan terkejut jika melihat dinding cafe WRB dipenuhi dengan foto budaya, aneka jenis kopi, dan aktivitas keseharian warga. Secara tidak langsung, sebenarnya WRB ingin bercerita kepada coffee holic yang mampir ke cafenya, inilah aktivitas budaya di Tanoh Gayo.
Dalam pandangan WRB, cafe diibaratkan sebagai fungsi lepo tempo doeloe. Lepo adalah sejenis teras yang terdapat dalam bagian Umah Pitu Ruang. Di lepo itu, orang duduk berbincang-bincang tentang berbagai aktivitas kehidupan. Sembari bercerita, biasanya secangkir kopi panas terhidang di depan mereka.
Sekarang, WRB memposisikan dirinya sebagai tuan rumah disebuah lepo. Dia siap sedia menjadi pendengar yang baik disebuah lepo modern, yang dikenal sebagai cafe. Dia mempersilahkan pelanggannya untuk bercerita, bertanya atau sharing permasalahan apa saja. Dia siap mendengarnya dengan sabar.
Barangkali para coffee holic ingin bertanya tentang kisah dibalik foto-foto yang terpajang di dinding cafenya, dengan senang hati akan dijelaskannya. Ingin menuliskan kisah-kisah itu, dia juga membuka diri sebagai nara sumber.
Ingin belajar menulis, dia siap sedia menjadi gurunya. Ingin belajar meracik dan me-roasting kopi, sejak dari awal sudah menjadi komitmennya untuk mendukung tumbuhynya usaha cafe di Takengon. Ingin belajar cara budidaya kopi, dia sangat siap berbagi ilmu. Inilah yang dimaksudnya “Bukan Sekedar Kopi.”
Cafe itu diberinya nama WRB Cafe. Letaknya di Jalan Yos Sudarso Takengon, didepan Cold Storage. Ruangan cafenya tidak terlalu luas, hanya 4×4 meter. Persis seperti ukuran sebuah lepo.
Melalui Facebook, WRB mengundang coffee holic agar berkenan mampir ke cafenya, Minggu (6/4/2014). Acaranya adalah soft opening WRB Cafe, “Bukan Sekedar Kopi.”