Ruang Publik Bebas Alat Peraga Kampaye

oleh

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

YusradiKOMISI Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampaye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tanggal 22 Agustus 2013 lalu. Melalui penetapan ini, diharapkan akan ada fairness dan keadilan. Pastinya, tidak didominasi calon-calon petahana, calon bermodal atau yang berafiliasi dengan para bosisme lokal (meminjam istilah Boni Hargens). Tak hanya itu, pemberlakuan peraturan ini akan mengurangi pengotoran ruang publik. Bahkan, ikut menyelamatkan pengguna jalan dan tidak menganggu pengguna tempat-tempat publik lainnya.

Pasal 17 ayat 1 tentang pemasangan alat peraga di tempat umum, huruf (a), misalnya,  disebutkan, alat peraga kampaye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung milih pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.

Sementara itu, ketentuan prihal pemasangan alat peraga diatur dalam huruf (b), yaitu: (1). baleho atau papan reklame (billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi, misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan Calon Anggota DPR dan DPRD; (2) Calon Anggota DPD dapat memasang baleho atau papan reklame (billboard) 1 (satu) unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya; (3). Bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh Partai Politik dan calong Anggota DPD pada zona atau wilayah yang ditetapkan KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah; (4). Spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5 x 7 meter hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau KPU/KIP Kabupaten/Kota.

Yang jadi permasalahan, apakah peraturan ini dapat berjalan dengan baik, benar, dan sesuai seperti yang diundangkan (mulai berlaku sejak tanggal 27 September 2013)? Bukan rahasia umum lagi, di Indonesia, pelbagai undang-undang, peraturan, dan ketentuan seringkali dibuat untuk dilanggar. Namun, willing dan upaya perbaikan pelaksanaan pemilu dari KPU mesti dihargai. Disamping itu, kita mesti tetap optimis terkait pelaksanaan peraturan ini.

Berkenaan dengan pelaksanaan peraturan ini, khususnya di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, pertama: Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah harus segera mensosialisasikan peraturan itu kepada partai politik, caleg, seluruh jajarannya, dan semua pihak terkait.  Alhasil, semua pihak bisa tahu dan terlibat langsung dalam pengawasannya. Sebagai akibatnya, kalau ada pelanggaran, serta merta bisa dilaporkan dan segera diselesaikan.

Kedua, KIP Aceh Tengah, Panitia Pemilih Kecamatan (PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus segera berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah, pemerintah kecamatan, dan pemerintah kampung (desa)/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan alat peraga tersebut. Walhasil, pelaksanaannya bisa berjalan dengan cepat. Apalagi, sudah mulai diberlakukan. Di pihak lain, caleg pun bisa sesegera mungkin memasang alat peraganya—walaupun jauh hari ada yang sudah memasangnya. Meski bukan satu-satu sarana pengenalan diri, masyarakat diharapkan dapat mengenal calon wakil-wakil rakyatnya dengan baik. Terutama, rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Lebih khusus lagi, program yang akan dijalankannya saat duduk di kursi parlemen.

 

Peran Panwaslu?

Di lain pihak, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Aceh Tengah harus benar-benar mengawasi keberjalanan peraturan ini. Oleh karena itu, diperlukan willing yang kuat, inisiatif, keaktifan, dan progresivitas kerja Panwaslu di lapangan. Panwaslu diharapkan tidak menunggu pelbagai laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, langsung turun dan menindak caleg-caleg pelanggar “menjembut bola.”

Lebih khusus lagi, secepatnya merekomendasikan Pemkab Aceh Tengah dan aparat keamanan untuk segera membersihkan ruang publik dan seluruh kampung di Takengon dari alat peraga ini (spanduk dan baleho). Pasalnya—seperti disinggung, peraturan ini sudah mulai diberlakukan. Hasilnya, bisa berjalan efektif dan maksimal.

Selain Panwaslu, pengawasan dari semua pihak menjadi keharusan. Apalagi, dari media, akademisi, tokoh agama/masyarakat, mahasiswa, LSM, dan elemen sipil lainnya. Dengan begitu, proses pileg di Takengon dapat berjalan dengan baik, benar, lancar, dan sesuai aturan

Yang tidak kalah penting adalah penegakan sanksi, yaitu berupa pencabutan atau pemindahan atribut caleg. Mestinya, pemberian sanksi ini “lebih keras” lagi. Dengan begitu, caleg—calon presiden/wakil presiden dan calon kepala daerah—“tidak sesuka hati,” bisa disipin, dan menunjukkan suri tauladan yang baik.

Karena sudah diberlakukan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan aparat keamanan—dengan rekomendasi Panwaslu—dapat dengan segara mencabut alat peraga yang bertebaran di perbagai tempat di Takengon. Bahkan, upaya pembersihan itu bisa langsung dilakukan masyarakat itu sendiri.

Seperti disebutkan, spanduk dan baleho itu bukan hanya mengotori ruang publik, merusak lingkungan, melainkan mengganggu kenyamaman dan keselamatan pengguna jalan dan penikmat ruang publik di Takengon. Lagi-lagi, terlepas dari kekurangan peraturan tersebut dan lemahnya sanksi yang diberikan, diperlukan willing serta upaya nyata dan sungguh-sungguh dari semua pihak, khususnya pihak-pihak terkait.

*Penggagas Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.