Refleksi Sebulan Gempa Gayo

oleh
seorang korban gempa warga Simpang Juli Ketol, melintasi tenda pengungsian.(LGco-aman ZaiZa)

Gempa Gayo (bagian 7)

Catatan: Aman ZaiZa

seorang korban gempa warga Simpang Juli Ketol, melintasi tenda pengungsian.(LGco-aman ZaiZa)
seorang korban gempa warga Simpang Juli Ketol, melintasi tenda pengungsian.(LGco-aman ZaiZa)

SEORANG warga Aceh Tengah dalam group “Info Gempa Gayo” pada jejaring sosial facebook Zulfikar Ahmad menulis, saat mengantar bantuan ke kampung Cang Duri Kecamatan Ketol, jalur ditempuh via Angkup Kecamatan Silih Nara,Kabupaten Aceh Tengah dan kembali via Simpang Balik Balek kecamatan Weih Pesam Kabupate Bener Meriah.

Beberapa kampung yang porak poranda dilanda Gempa beberapa waktu lalu mulai dibersihkan oleh warga. Orang yang lalu lalang mulai sepi demikian pula dengan para relawan, tidak terlihat lagi relawan yang mendampingi para pengungsi. Sejauh amatan tinggal 2 relawan lagi yang masih ada dilokasi pengungsian.

Para korban gempa perlahan-lahan kembali dalam kesunyiannya, trauma masih tergambar diwajah-wajah warga. Hari Raya…? “Kami tidak lagi berfikir bagaimana hari raya nanti, bisa menyambung hidup saja kami sudah sangat bersyukur saat ini,” kata warga yang mulai mencoba membuat gula kembali.

Prolog diatas menunjukan, bahwa saat ini kondisi Gayo, setelah sebulan berlalu mulai dihinggapi berbanyak realitas hidup yang semakin sulit dan rumit. Belum lagi banyak anak-anak dan warga pengungsian yang mulai terserang berbagai penyakit, mulai dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas (Ispa), trauma, stress dan berbagai permasalah lainnyayang terus menghinggapi para korban gempa ini.

Kondisi ini juga membuktikan mereka sebenarnya bukan saja sangat butuh akan bantuan berupa sembako yang disalurkan para dermawan. Namun mereka juga membutuhkan trauma healing yang berkelanjutan. Sehingga bisa mengikis meski tidak menghilangkan secara total rasa trauma akan gempa tersebut.

Berbagai pihak yang telah dan masih melakukan pengobatan secara trauma healing harus bisa dilakukan secara berkelanjutan. Dan tentunya pemerintah daerah juga tidak bisa tinggal diam membiarkan para relawan tersbut bekerja sendiri. Sebab rasa trauma itu akan kembali muncul, jika mereka melihat kembali sekeliling rumah mereka yang sudah porak-poranda akibat gempa.

Untuk itu, pemerintah harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman untuk mereka tetap hidup dalam lingkungan mereka meski dalam kondisi yang masih sangat belum menguntungkan.

Apa yang dilakukan untuk memberi rasa nyaman dan aman tersebut, yakni kepastian mereka untuk bisa hidup layak kembali. Salah satunya terbangunnya rumah mereka dengan segera. Meskipun tidak bisa permanen, namun bisa juga yang sifatnya sementara. Seperti halnya banyak pihak juga membangun rumah ibadah berupa masjid atau mersah sementara bagi mereka.

Meskipun rumah yang disedianya itu sifatnya sementara, seperti usulan dari kalangan Unsyiah untuk membuat cetak rumah jadi bagi mereka. Hal ini kiranya perlu segera dipikirkan, sebab pemerintah sendiri sudah menyatakan tidak ada penyediaan hunias sementara (Huntara) bagi korban gempa Gayo. sekiranya cetakan rumah jadi ini bisa sedikit mengobati luka tersebut.

Dengan mengelontorkan uang yang ada, bisa ratusan rumah siap dalam sepekan, karena rumah cetak jadi ini, jika melihat pengalaman gempa dan tsunami Aceh terbuat dari baja yang dirangkai dengan dinding jadi juga. Dan pengerjaannya tak butuh waktu lama.

Disisi lain, perlu segera dilakukan lokasi-lokasi reruntuhan yang ada diperkampungan. Sehingga mereka warga pengungsi tidak berlarut-larut dalam kesedihan melihat puing-puing rumah mereka yang telah hancur.

Begitu juga serakan reruntuhan longsor juga segara dibersihkan dengan segera dan cepat, agar tidak membangkitkan rasa duka yang berlarut, akan sanak keluarga mereka yang telah tiada bersama amblasnya tanah perkampungan mereka.

Langkah selanjutnya, perlakukan mereka layaknya masyarakat yang hidup dalam kondisi normal. Bukan memperlakukan mereka sebagai objek atau semata-mata sebagai korban gempa yang selalu senantiasa mengharapkan rasa iba dari orang lain.

Bagi kalangan pemerintahan atau pejabat yang berwenang penanganan gempa ini harus memiliki benar-benar sense of belonging akan gempa itu sendiri. sense of belonging tersebut adalah rasa dimiliki, artinya seseorang merasa dirinya diterima dalam dan diakui sebagai bagian dari suatu komunitas hidup. Arti luasnya bahwa pemerintah dan pejabat berwenang yang mengurusi gempa itu harus menjadi bagian dari komunitas hidup sebagai korban gempa.

Jika ini dimiliki dan bisa diserap dan diimplementasikan baik secara hati dan perbuatan, maka tidak akan pernah lagi kita dengan adanya penyunatan atau pemotongan bantuan bagi masyarakat korban gempa.

Dan yang terakhir, peran ulama dan pemuka agama harus bisa dimainkan secara intens untuk memberikan siraman rohani yang bisa membangkitkan semangat masyarakat untuk segera bangkit dan menghilangkan rasa berdosa yang berlebihan.

Maaf, mengapa ini saya katakan. Karena pengalaman sendiri dalam mendengar ceramah atau tausiah dari berbagai ustads atau ulama, bahwa bencana ini adalah azab, kutukan dan laknat dari Allah. Jikapun itu memang benar, tapi tidak menjustifikasi bahwa seakan semua masyarakat Gayo itu seakan telah di kutuk dan dilaknat Allah sehingga diturunkan azab.

Jika ini terus disampaikan, maka sangat ber efek terhadap masyarakat korban gempa itu, dan akhirnya bisa berdampak pada mempermudah pihak-pihak tertentu untuk melakukan pendangkalan aqidah (lebih lanjut soal ini kita bahas pada catatan gempa Gayo bagian selanjutnya).

Saya yakin, kalangan ulama kita mempunyai cara yang lebih elegan dalam menyampaikan soal bencana ini, sehingga berujung pada membangkitkan semangat masyarakat untuk segera kuluar dari keterkungkungan akan bencana itu sendiri dan menimbulkan rasa optimis untuk segera bangkit.

Sekali lagi saya yakini, ulama punya cara tersendiri menanamkan rasa taudhid dan menjadikan masyarakat selalu ingat akan Allah, dari musibah yang menimpa mereka. Sebab Allah pun tidak akan memberikan satu ujian kepada hambanya jika memang hambanya itu tidak siap atau tidak sanggup menerimanya.

Kita  berharap, dalam sebulan pascagema ini, masyarakat bisa segera bangkit (meski sekarang sebagian sudah mulai melakukannya). Sehingga mereka bisa kembali menata kehidupan mereka kearah yang lebih baik sejak 2 Juli lalu. Cerita pahit 6,2 SR secara berlahan bisa segera hilang dari benak mereka dan menjadikan itu sebagai pembelajaran yang berharga.

Yang terakhir, jadikanlah korban gempa ini sebagai layaknya manusia lain yang hidup normal, bukan sebagi objek penderitaan yang selalu menjadi tontonan untuk terus dikasihani. Sekali lagi, mereka bukan tontonan yang minta selalu dikasihani.bersambung…

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.