
Catatan Perjalanan: Muhammad Syukri
Langit diatas wilayah Kabupaten Aceh Tengah berwarna biru, begitu cerah untuk sebuah kawasan penghujan. Hanya terlihat awan tipis menutupi beberapa bagian langit. Pantulan sinar matahari dari balik awan tipis itu menimbulkan hawa panas. Angin yang masuk melalui jendela mobil double cabin yang kami tumpangi sudah terasa panas. Lebih-lebih ketika memasuki wilayah Blang Mancung, udara makin panas.
Setelah satu jam lebih menelusuri jalanan sepanjang 35 Km menembus ladang kopi dan ladang tebu warga pada hari Kamis (27/6/2013), akhirnya tepat pukul 10.45 WIB, tibalah kami di Kampung Kekuyang Kecamatan Ketol, sebuah desa sepi yang terletak disisi Barat Sungai Peusangan. Pusat Kampung Kekuyang itu terletak di sebuah pertigaan. Salah satu jalan arah ke Selatan dari pertigaan itu menuju ke Semelit, sebuah kampung tua yang ditinggalkan penghuninya akibat ekses konflik DI-TII.

Lima tahun yang lalu, Kampung Kekuyang juga merupakan sebuah desa terpencil yang cukup sulit ditembus. Saat itu, untuk mencapai Kampung Kekuyang harus melewati jembatan gantung yang melintasi Sungai Peusangan. Sekarang, prasarana penyeberangan menuju Kampung Kekuyang cukup mudah, sudah ada jembatan rangka baja Berawang Gajah. Sedangkan jembatan gantung yang dahulu merupakan satu-satunya sebagai prasarana penyeberangan, kini sudah rusak dan dihanyutkan air.
Setelah melewati jembatan rangka baja Berawang Gajah itu, terlihat beberapa alat berat sedang beroperasi melakukan perkerasan badan jalan untuk proses pengaspalan. Badan jalan yang sedang dikerjakan itu panjangnya sekitar 1,3 Km dari ujung jembatan rangka baja tersebut. Pengaspalan dan peningkatan jalan tersebut membuktikan bahwa Kampung Kekuyang sudah keluar dari isolasi.

Walaupun kampung terpencil bernama Kekuyang yang dihuni oleh 718 jiwa itu sudah keluar dari isolasi, namun nuansa terisolir masih sangat terasa. Pusat Kampung Kekuyang itu cukup sepi, hanya ada beberapa warga yang duduk-duduk di depan dua buah kedai yang menjual kebutuhan pokok. Meskipun hanya sebuah kampung kecil yang jauh dari pusat kota, warganya cukup ramah dan terbuka jika diajak ngobrol.
Penduduk Kampung Kekuyang umumnya bekerja disektor pertanian. Lahannya cukup subur, sumber air melimpah. Tidak ada lahan yang tidak ditumbuhi oleh tanaman. Penghasilan utama mereka berasal dari kopi robusta dan durian. “Hampir setiap harinya, sekitar 3 ton kopi robusta diangkut keluar dari Kekuyang,” sebut Maimun SE, Sekcam Ketol yang baru dilantik beberapa bulan lalu.

Hari itu, kami berencana akan menerobos belantara menuju ke Semelit, bekas lumbung pangan yang telah lama ditinggalkan warga. Dari Kampung Kekuyang ke Semelit jaraknya mencapai 21 Km melalui jalan tanah yang sangat parah. Beberapa warga yang ditanyai, mereka mengaku belum pernah sampai ke Semelit sehingga mereka tidak bisa menceritakan kawasan itu secara detil.
Warga yang ada disana menyarankan kami untuk bertanya kepada Abdurrahman Aman As (73), mantan Kepala Kampung Kekuyang. Lelaki berkulit sawo matang yang terlihat lebih muda dari usianya mengaku bahwa dia lahir di Semelit sekitar tahun 1940. Dia tidak tahu, kapan pertama sekali kawasan itu dibuka (dirukah-bhs Gayo). Menurut cerita kakeknya, jelas Abdurrahman Aman As, Kampung Semelit itu sudah ada sebelum Belanda masuk ke Aceh.
Di masa kecilnya, lanjut Aman As, sejauh mata memandang yang terlihat di Semelit hanya hamparan sawah yang dibelah oleh sebuah sungai berair jernih. Waktu itu, sebanyak 70 kepala keluarga yang tinggal di Semelit tergolong surplus pangan. Malah, kata Aman As, warga Blang Mancung membeli beras secara barter ke Semelit. “Mereka jalan kaki selama sehari semalam, pulangnya memikul beras melewati hutan belantara itu,” ungkap Aman As.

Saat konflik Aceh tahun 1956, lasykar DI-TII sering mampir ke Kampung Semelit. Terkadang, mereka tinggal cukup lama disana, terutama karena bahan pangan yang cukup ditambah banyaknya ikan jurong dalam sungai yang membelah Kampung Semelit. “Semelit itu pertemuan beberapa jalan setapak, bisa tembus ke Pameu, Karang Ampar, Kekuyang, bahkan ke Peudada-Bireuen, makanya daerah itu diberi nama Semelit (semacam hulu jalan),” jelas Aman As.
Usai shalat dhuhur, semua rombongan “off-road” yang akan menuju Semelit sudah berkumpul di Kampung Kekuyang. Setelah semua perbekalan siap, kami mulai memacu kenderaan melalui jalan tanah yang ditengahnya ditumbuhi rerumputan. Laju kenderaan cukup rendah karena permukaan jalan tidak rata. Kami berpikir, perjalanan itu dapat ditempuh dalam waktu setengah jam.
Dibelakang kami, Aman As bersama Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin dan rombongan yang lain menyusul. Sekitar lima kilometer meninggalkan Kampung Kekuyang, kami mulai memasuki hutan hujan tropis yang belum tersentuh tangan manusia. Pohon-pohon super besar masih tegak dengan kokohnya menyambut raungan mobil four wheel drive. Beruntung, melintasi hutan hujan tropis yang lembab itu tidak turun hujan sehingga perjalanan siang itu cukup lancar, meskipun waktu tempuhnya diluar prediksi.
Hampir dua jam mesin mobil meraung-raung memecah kesunyian hutan hujan tropis itu, tidak ditemukan tanda-tanda permukiman. Tepat pukul 15.10 WIB, dari kejauhan terlihat hamparan hutan sekunder yang dipenuhi pohon kayu bernama kuwel. Setelah melewati hutan sekunder itu, nampaklah hamparan petak-petak sawah yang baru dikerjakan dengan alat berat. Kita sudah sampai, bisik sopir yang mengemudikan mobil double cabin itu.

Sebelum memasuki areal pencetakan sawah baru itu, Aman As memberi kode untuk membelok ke arah kiri. Kami yang sudah terlanjur maju ke depan, akhirnya memutar kenderaan mengikuti arah yang ditunjuk Aman As yang semobil dengan Bupati Nasaruddin. Ternyata, Aman As membawa kami ke lokasi perkuburan tempat kakeknya dimakamkan.
Disitu terlihat tiga buah kuburan yang ditandai dengan tumpukan batu. Salah satu kuburan disana sudah disemen yang bertulis Ismail. Dan, itulah kuburan kakek Aman As, salah seorang tokoh yang membuka (merukah) Kampung Semelit. “Cetak sawah ini bukan buka lahan baru, tetapi revitalisasi lahan yang sudah ada. Ini kampung lama yang ditinggalkan penduduk karena terbakar dalam konflik Aceh tahun 1950-an,” tegas Aman As.
Penulis mencoba meraba dan mencium bau tanah yang ada disana. Sungguh, tanahnya berwarna hitam dan gembur. Baunya seharum tanah-tanah subur ditempat yang lain. Ini benar-benar tanah subur yang sangat menjanjikan. Kalaulah nantinya 241 hektar sawah baru yang direncanakan akan diolah oleh 7 kelompok tani itu dikelola dengan sungguh-sungguh, kemakmuran akan menanti mereka. Penulis berpikir, Semelit akan menjadi sebuah kawasan yang maju dan ramai.
Untuk menaikkan air ke areal pencetakan sawah baru, Bupati Nasaruddin melakukan rapat terbatas dengan sejumlah kepala SKPK yang ikut rombongan itu. Hasil rapat itu menyimpulkan untuk membangun beronjong di hulu sungai, dan menyediakan bibit padi untuk 7 kelompok tani itu. “Lahan ini harus segera diairi dan ditanami, kalau tidak, lahan ini akan ditumbuhi hutan sekunder (tamas mude) kembali,” ujar Nasaruddin.
Menindaklanjuti hasil rapat itu, menurut informasi dari Maimun SE, Sekcam Ketol, pada hari ini (Jumat, 28/6/2013) sudah berangkat dua orang petugas survey dari Dinas PU dan Dinas Pertanian untuk menentukan titik dan lokasi pembangunan beronjong penahan air (irigasi). “Mereka berangkat dari Kampung Kekuyang menggunakan sepeda motor, moga besok hasil surveynya sudah diketahui,” pungkasnya.