Sampah Takengon, Saat Saya dan Anda Butuh ‘Begen’

oleh
foto : cucucicitmbah.wordpress.com

Catatan Khalisuddin*

SEPERTI orang gerieten (kebelet ingin buang hajat-red), begitulah kondisi sampah warga Takengon saat ini. Sialnya tempat buang hajat alias kamar kecil tidak tersedia, bisa dibayangkan jika ini terjadi pada kita. Naasnya lagi, sudah kebelet malah dilarang masuk persis di depan pintu begen (wc) yang ada.

Insiden puncak akibat gerieten sampah Takengon yang butuh begen ini terjadi Kamis 28 April 2016, insiden di 2 tempat, pertama di Bur Lintang Kecamatan Linge, sebanyak 11 unit truk pengangkut sampah jadi sasaran massa warga Isaq yang menolak kawasan tersebut dijadikan tempat pembuangan sampah setidaknya untuk sementara menunggu proses negosiasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Uwer Tetemi yang diblokir warga.

Diceritakan, ratusan warga yang beringas menghadang supir truk untuk tidak membuang sampah di Bur Lintang, sang supir yang saban harinya bergelut dengan bau untuk sesuap nasi ini kebingungan dan tunggang langgang berlari menyelamatkan diri di tengah kegelapan malam di hutan yang konon dihuni harimau dan binatang buas lainnya tersebut. Truk yang ditinggalkan pun digelandang ke Isaq dan semula diamankan di lapangan bola setempat. Massa tidak puas dan menghakimi kaca 6 truk hingga hancur. Beruntung, aparat kepolisian bertindak dan mengamankannya ke Polsek hingga terhindar dari ancaman lebih buruk terhadap aset daerah yang terbilang vital tersebut.

Sampah Bur Lintang. (LGco_Khalis)

Sampah terus menumpuk di seputar kota Takengon, warga protes karena sudah mulai menyebar bau dan tidak sedap dipandang mata. Unsur pimpinan daerah menggelar rapat penting dan memutuskan mengantarkan sampah yang dikumpulkan hingga siang tersebut sebanyak 7 truk dengan truk yang biasa mengangkut material batu, tanah dan pasir.

Sampah yang dipungut dari danau Lut Tawar diangkut dan dibuang ke tong sampah di kota Takengon oleh Gayo Datsun Club (GDC) yang akan dibuang ke TPA Bur Lintang. (ist)
Sampah yang dipungut dari danau Lut Tawar diangkut dan dibuang ke tong sampah di kota Takengon oleh Gayo Datsun Club (GDC) yang akan dibuang ke TPA. (ist)

Dengan pengawalan ratusan aparat keamanan baik dari TNI, Polri dan Satpol PP, sekira pukul 15.00 Wib truk-truk tersebut dikawal menuju Uwer Tetemi Silihnara, begitu informasi yang saya terima di Kampung Mulie Jadi. Sejak pukul 13.00 Wib saya sudah berada di lokasi tersebut karena mendengar informasi massa dari beberapa kampung sekitar TPA Uwer Tetemi sudah berkumpul memblokir badan jalan, menolak truk sampah masuk ke Uwer Tetemi.

Alasan warga, sejak sampah dibuang ke Uwer Tetemi kehidupan mereka sangat terganggu, selain bau yang ditebarkan saat truk sampah melintas juga kehadiran lalat biru (mamuk ijo-Gayo:red) yang dikatakan menjadi tamu tak diundang saat mereka masak, makan, tidur dan aktivitas lainnya. Mamok ijo juga mengganggu tanaman seperti cabe dan lain-lain. Bahkan dilaporkan menjadi pemicu penyakit diare sejumlah warga, terutama anak-anak.

Truk yang ditunggu tidak kunjung hadir, massa dari seluruh lapisan masyarakat termasuk ibu-ibu dan anak-anak ini membubarkan diri. Namun sekira pukul 15.00 Wib saat ada pengumuman dari pengeras suara dari 2 menasah bahwa truk sampah sudah berangkat dari Paya Ilang Takengon, massa kembali berkumpul, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.

Mereka segera menyusun barisan dengan barisan terdepan para ibu-ibu dengan dilengkapi selembar spanduk penolakan sampah dibuang ke TPA Uwer Tetemi.

kegiatan-siswa-lagi-menimbang-sampah-yang---terkumpulSuasana segera memanas saat rombongan truk tiba, massa dengan cepat memenuhi badan jalan dan langsung menghentikan konvoi yang posisi depan mobil pickup dengan penumpang sejmlah aparat Satpol PP. Massa berteriak-teriak menolak sampah, aparat segera membuat blokade dan aksi dorong-dorongan tak terelakkan. Kapolres Aceh Tengah, Dodi Rahmawan dan Dandim 0106 Ferry Ismail mencoba membujuk massa namun tidak berhasil.

Dengan pengeras suara, keduanya secara bergantian berusaha membujuk warga agar bersedia membuka jalan ke TPA Uwer Tetemi yang berjarak sekira 2 kilometer dari tempat tersebut. Tidak sesuai harapan, massa bersikeras menolak dan meneriakkan “tutup” TPA Uwer Tetemi.

Rupanya, Bupati Aceh Tengah Ir. H. Nasaruddin, MM yang sebelumnya dikabarkan tidak ikut ke lokasi karena pertimbangan keamanan, beberapa saat sudah berada bersama massa dan langsung berusaha meyakinkan warga jika keluhan-keluhan seperti bau dan lalat akan diantisipasi dengan berbagai cara. Upaya ini tidak membuahkan hasil, warga tetap menolak.

Menjelang maghrib, hujan mulai turun namun massa tidak bergeming. Pak Nas, nama akrab Bupati ini mengajak perwakilan warga yang terdiri dari Reje (Kepala Kampung) dan aparat kampung lainnya menunaikan shalat Maghrib di Menasah terdekat dan dilanjutkan dengan dialog.

HMI Takengon bersihkan sampah Takengon
HMI Takengon bersihkan sampah Takengon

Disisi lain, warga mulai memobilisasi tikar untuk tempat duduk di badan jalan dan karena hujan mereka mendirikan 2 teratak. Massa duduk dan sesekali bersorak sorai menolak beroperasinya Uwer Tetemi sebagai TPA.

Dialog di Menasah berlangsung sangat alot, para perwakilan warga tetap menolak berdalih tidak mampu meyakinkan warga untuk menerima kebijakan dibukanya TPA yang baru diresmikan tidak kurang dari 2 bulan tersebut.

Jelang tengah malam, dialog yang tanpa dihadiri seluruh unsur Forkopimda terutama DPRK dan MPU itu belum menemukan titik temu, dan akhirnya menemui jalan buntu. Diputuskan, truk sampah diparkir di komplek kantor Camat Silihnara sementara menunggu proses hasil sosialisasi yang dilanjutkan Jum’at 29 April 2016 di Setdakab Aceh Tengah.

Beberapa catatan penulis dari serangkaian insiden ini, sikap warga Isaq dan Silihnara sangat dimaklumi, siapa yang merasa nyaman berkutat dengan sampah. Penulis sendiri mesti mengantarkan sampah rumah tangga hingga 7 kilometer ke tong sampah. Wajar jika warga menolak sampah di buang ke Uwer Tetemi karena dianggap begen walau secara peraturan perundang-undangan Uwer Tetemi sebenarnya sudah layak dan legal, tentunya lengkap dengan dokumen Amdal.

Warga Seputaran uwer Tetemi hadang truck pengangkut Sampah
Warga Seputaran uwer Tetemi hadang truck pengangkut Sampah

“Arih-arih”, kata Pak Nas yang berarti “pelan-pelan” menanggapi pertanyaan bagaimana ini pak?. Tampak kematangan dan kesabaran sosok ini menangani persoalan yang bersinggungan langsung dengan rakyatnya.

Yang penulis agak heran, kenapa jajaran Pemkab Aceh Tengah seperti tidak bersinerji dengan maksimal. Padahal ini masalah besar, mesti diselesaikan secara bersama. Jangan hanya bisa unjuk muka dan cari cara saat mensukseskan pacuan kuda di Belang Bebangka. Jika Dinas A tangani soal A, Dinas B urus soal B, Dinas C tangani soal C dan seterusnya berusaha meyakinkan 1-2 orang, tentu hasilnya akan beda. Ya layak dipertanyakan ada apa dengan mereka? Seharusnyalah mereka malu kepada sosok Kapolres dan Dandim yang sosoknya belum banyak dikenal luas, bisa saja keduanya kena bogem ditengah kerumunan massa.

Satu hal lain, patut diherankan kemana anggota perwakilan rakyat, kenapa tidak bergabung menyelesaikan persoalan yang bukan hanya persoalan pemerintah namun lebih menjadi masalah bagi rakyat yang diwakilinya. Harusnya, para wakil rakyat turut berada di garis terdepan, kenapa tidak? apa mereka disibukkan dengan pencalonan Bupati? Sangat disayangkan, mungkin inilah buah dari politik uang yang dipraktikkan saat Pemilu, harga satu suara untuk 5 tahun sudah selesai dengan kisaran Rp.250 ribu per pemilih. Setelahnya tidak ada urusan.

Sebagai akibat penolakan sampah ini tentunya akan berakibat munculnya persoalan lain, sampah akan menumpuk di Takengon dan akan segera menuai protes. Kita berharap warga Takengon nge-rem dulu membuang sampah ke tempat biasa, tangani dulu secara swadaya agar persoalan ini segera dituntaskan. Jangan justru menambah rumit.

Bank sampah kampung Lot Kala Kebayakan
Bank sampah kampung Lot Kala Kebayakan

Dalam proses ini sosok yang paling merasa tertekan dan musibah adalah Kepala Badan Kebersihan Pertamanan dan Lingkungan Hidup Aceh Tengah, Ir. Zikriadi dan jajaran. 

Dalam catatan kami, Badan ini sudah sangat getol menjalankan Tugas Pokok dan Fungsinya, bahkan terbangunnya TPA Uwer Tetemi adalah sebuah prestasi luar biasa yang sangat patut diapresiasi. Tentu kita faham, tidak mudah membangun TPA namun mereka berhasil mewujudkannya. Bahkan kota Takengon dilirik sebagai kandidat peraih Adipura d tahun 2016 ini.

Sayang sekali, gara-gara Mamok Ijo, lelah siang malam tersebut buyar seketika. Pang-pang Gayo urusan sampah layaknya ayam jantan yang kalah sabung, berlarian di tengah hutan Bur Lintang takut diamuk massa, tidak pede menyapu jalan di pagi buta, bahkan was-was menatap muka warga. Pantaskah mereka dicaci maki?

TPA Uwer Tetemi
TPA Uwer Tetemi

Menyedihkan sikap warga dataran tinggi Gayo kekinian, segelintir saja yang mampu dan mau memahami orang lain, kebanyakan cuma bisa mengritik, menyalahkan, mencibir dan lain sebagainya. Nyaris hilang sikap berat berbantu, yang ada justru mencari dan memanfaatkan kesalahan orang lain untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Menyedihkan!.

Syukurlah masih ada sosok seperti Kurnia Gading Gecik kampung Lot Kala Kebayakan yang bekerja siang malam tanpa pamrih dengan menjadikan sampah sebagai sahabat. Ada Mahyuddin di Pepalang Pegasing yang menjadikan pohon sebagai istri kedua. Masih ada mahasiswa seperti HMI Cabang Takengon yang tidak ambil bagian mengritik namun menawarkan solusi, dan ada Medan Bekas di Kayu Kul Pegasing yang kaya raya karena beli jual sampah.

Ayolah Urang Gayo, mari saling berbagi senang dan susah, mari kita merenung sejenak dan membayangkan diri sendiri dan orang lain sedang dilanda gerieten yang butuh begen (kamar kecil). Saat orang lain merasa bertanggungjawab kepada kita, begitu juga sebaliknya. Gerieten seperti halnya sampah, suka tidak suka adalah tanggungjawab kita bersama!.[]

*warga Takengon

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.