[Cerpen] Pak Harto

oleh

Vitra Fhill Ardy*

AKU masih ingat tamparan yang kau daratkan di pipi kiriku. Setelah itu aku mengerang kesakitan. Memang, awalnya aku kesal sekali karena kau bertingkah semena-mena sebelumnya, seolah-olah kau penguasa. Saat itu aku marah dan mengumpat, kataku, “Dasar guru sialan!”
Dan kau bertambah marah sehingga menyeretku dengan tanganmu yang memegang kerah baju belakangku. Lalu kau menulis surat panggilan untuk orang tuaku agar mereka datang ke sekolah. “Berikan surat ini kepada orang tuamu. Dan kau, bapak skors 3 hari,” kau berkata. Tapi surat itu tak pernah aku berikan kepada orang tuaku. Dan meski diskors, aku tetap berangkat ke sekolah.
Perihal surat yang tak kuberikan ke orang tuaku, aku memang takut karena aku pernah diusir oleh ayah. Ketika malam minggu, aku yang meminta izin untuk bermain dan janji tak akan pulang larut, malah ketahuan oleh ayah sedang teler di bawah pohon beringin yang ada di belakang komplek perumahan.

Waktu itu, aku belum pulang juga meski hari sudah larut. Ayah yang memang menunggu sedari awal, akhirnya mencari keberadaanku. Sial juga, ayah berhasil menemuiku dan ia membopongku karena aku sudah tak kuat berjalan. Kalaupun kuat berjalan, pastilah jalanku terhuyung-huyung. Dan ketika sampai di rumah, murkalah ayah. Aku tak ingat banyak apa yang diucapkan ayah ketika itu, sudah pening kepala ini. Kira-kira ucapan ayah begini, “Hebat, ya! Sudah berani-beraninya mabuk-mabukan. Mau jadi apa kamu? Sampah? Hah?” Kemudian ayah menampar pipi kananku dengan punggung lengan kanannya. Tapi aku tak merasa kesakitan. Lalu ayah berbicara lagi, “Kakak-kakakmu sudah jadi orang, kamu malah seperti ini. Ayah tidak mau lihat kamu di rumah ini! Sekarang kamu pergi!”

Lalu aku pergi lagi dan bingung kenapa ayah membopongku tapi kemudian malah mengusirku. Aku kembali ke pohon beringin dengan jalan yang terhuyung, minum lagi, dan tertidur hingga pagi di pohon itu. Selama beberapa hari aku menginap di rumah teman-temanku, hingga ketika uang di sakuku telah habis, aku pulang lagi ke rumah dan ayah menerima kepulanganku. Tapi aku tak tahan melihat ibu menangis.

Dan perihal kau yang menamparku hingga kau memberiku skorsing, aku akui kalau aku salah. Sebelumnya juga kau telah memberikanku peringatan kalau di lingkungan sekolah tidak boleh merokok. Akunya saja yang ngeyel, dengan pongah aku berjalan ke kantin, lalu duduk dengan teman-teman di salah satu kursi panjang yang masih kosong. Kukeluarkan sebungkus rokokMarlboro dan aku menawarkan rokok itu kepada teman-teman, tapi mereka menolak. Memang, saat itu aku menantang kau. Dan benar saja, kau datang ke kantin dan ketika melihatku sedang mengisap rokok, kau langsung menamparku. Keadaan di kantin tampak mencekam dan teman-temanku yang sedang makan sontak kaget. Dan ketika kau tahu surat itu tak kuberikan kepada orang tuaku, kau marah dan menelepon orang tuaku.

Selain merokok di kantin dan mabuk, bolos sekolah hingga satu bulan tanpa diketahui oleh orang tuaku kecuali saat bagi rapot, pernah kulakukan. Atau membaca buku-buku porno ketika pelajaran Sosiologi yang gurunya menyebalkan dan merancap di WC sekolah ketika pelajaran Matematika, adalah hal yang lumrah kulakukan. Dan jika teman-teman mengajakku menenggak pil koplo saat ingin senam ketika Penjaskes, aku siap saja. Dan berkali-kali, selalu saja kau menasihatiku agar aku tak melakukan hal itu lagi.

Aku tahu kalau orang tuaku sudah pasrah terhadapku. Apalagi ketika orang tuaku tahu kalau aku kini pemakai putaw, setelah ia menemukan serbuk kristal putih di saku jeans-ku. Sebenarnya aku sudah cukup lama memakai narkoba itu. Dan aku mendengar semua percakapan ayah dengan kau melalui telepon pagi itu, meski aku baru setengah sadar. Kata ayah, “Saya sudah tidak tahan lagi mengurusnya, Pak. Apa bapak bisa membantu saya? Mungkin dengan tinggal beberapa waktu bersama bapak, bisa membuat perangainya berubah.” Seketika kesadaranku langsung penuh.

“Saya siap saja. Apalagi kalau bapak memang mengizinkan,” kata kau.

“Esok hari bapak ke rumah kami saja. Saya pastikan anak saya ada di rumah,” kata ayah. Aku dongkol mendengar percakapan mereka berdua.
Keesokannya, kau datang ke rumahku dengan sepeda motor legenda bututmu. Kau turun dari sepeda motor, lalu melepas helm dan menaruhnya di kaca spion kanan. Lalu kau berjalan hingga ke depan pintu rumahku. Mengetuk tiga kali dan mengucapkan, “Assalamu’alaikum.” Ayah bergegas menuju ke depan dan mengucapkan wa’alaikumsalam sebelum membuka pintu.

“Silakan masuk,” kata ayah, mempersilakan kau duduk di kursi ruang tamu.

“Terima kasih,” kau membalas. Lalu kau menghempaskan tubuh di kursi.

Sebelum ke topik pembicaraan, ayah memanggilku yang sedari pagi dilarang ke luar rumah. “Rey, sini ke luar.” Aku keluar dan ibu juga sudah duduk menunggu.

“Kita langsung saja, ya, Pak,” kata ayah.
“Silakan, Pak,” kata kau.
“Jadi begini, Rey,” ayah memulai, “mulai besok, kamu akan tinggal di rumah Pak Harto hingga ujian kelulusan selesai. Setelah itu kamu akan kembali lagi. Oh, iya, kamu juga tetap bisa pulang ke rumah, tetapi hanya di hari minggu.”
Hati kecilku menolak, kesal juga, tapi aku mengangguk, “Iya, Yah,” kataku.
“Bagaimana, Rey? Kau sudah mengerti?” Kau bertanya.
Aku mengangguk dan ibu yang duduk di sampingku mengelus-ngelus rambutku. Lalu kau pulang dan berjanji akan menjemputku besok.

***

Ibu mengemas barang-barang bawaanku. Dan ia memberi wejangan-wejangan. Katanya, kalau sudah di sana, jangan menyusahkan Pak Harto dan ibu berharap kalau aku bisa berubah. Kemudian kau datang menjemputku. Aku menggendong tas besar dan ayah dan ibu melepas kepergianku.
Di jalan, kau diam saja dan tak mengajakku berbicara. Tak lama sampai juga di rumah kau. Rumah yang lumayan luas dan rupa-rupanya kau masih bujangan. Pantas saja kadang kau meledak-ledak. Sial, belum selesai aku membereskan barang bawaan, kau sudah mengajakku sembahyang dzuhur. Saat ashar kau juga mengajakku sembahyang. Lalu setelah maghrib mengajarkanku mengaji dari awal lagi, yaitu Iqra 1. Dan setelah isya kau mengajarkanku pelajaran yang besok akan kupelajari. Malas betul sebenarnya. Selain itu, mulutku asam karena sejak pagi belum merokok. Kukatakan pada kau kalau aku ingin merokok, dan kau membolehkan. Pagi-pagi betul kau sudah membangunkanku dan mengajakku shalat subuh ke masjid. Lalu kau memboncengku sampai sekolah. Begitu terus setiap hari, kata kau, “Agar jadi kebiasaan.”
Seminggu sudah berlalu dan kau mengizinkanku pulang ke rumah. Ibu dan ayah bilang kalau mereka bangga kepadaku. Sikapku telah banyak berubah. Lebih-lebih aku sekarang rajin shalat. Sebenarnya aku pun malas shalat, tetapi bagaimana pun juga, harus kupaksa.
Dua minggu berlalu, tiga minggu, dan sampai ujian kelulusan hingga akhirnya aku lulus dan bisa pulang ke rumah. Jujur, banyak perubahan drastis pada diriku. Aku mencoba mengaji setiap hari dan semakin merasa takut kalau sekali saja tak menunaikan lima kewajiban yang harus dijalani dalam sehari.

Tapi sial, kau tak kenal satuan waktu. Aku sudah mencoba melepaskan hal-hal itu. Tapi akhirnya aku tak sanggup, tulang dan sendiku terasa sangat ngilu dan tubuhku menjadi mudah kedinginan. Hingga akhirnya, minggu lalu aku mencoba menyuntikkan putaw lagi. Dan kini, sakau itu datang lagi. Aku tak kuat dan mencoba mencari-cari sisa-sisa putaw yang kutaruh di lemari. Kuacak-acak lemari. Tak lupa kukunci pintu kamar. Kukeluarkan semua baju-baju. Dan, ya, putaw itu ada di pojok. Kuambil putaw itu dan menyiapkan alat suntik dan lainnya yang kusembunyikan di tempat yang tak akan dijangkau oleh ibu.

Aku semakin tak sabar menyuntikkannya. Saat semua sudah siap, kusuntikkan putaw itu di lenganku. Semakin lama, semakin lemas saja tubuhku. Kesadaranku menurun, perutku mual, kemudian aku tergeletak di lantai tak sadarkan diri. Overdosis. Tak ada yang tahu hingga nyawaku tak tertolong.

Saat itu mungkin ayah merasa aneh karena aku tak ke luar kamar. Hingga akhirnya ia mencoba masuk ke kamarku tapi terkunci, lalu mendobrak kamarku, tapi tak bisa. Ayah lalu ke luar rumah dan melihat jendela kamarku tak ditutup. Ayah masuk melalui jendela itu dan kaget ketika melihatku sudah tak bernyawa. Ayah lalu membuka pintu kamar dan ibu histeris melihatku.

***

Aku melihat ayah, ibu, dan kedua kakakku menangis mengantar kepergianku untuk yang terakhir kalinya. Dan kau juga datang ke pemakamanku dan tampak berkaca-kaca. Aku juga merasakan raut wajah kecewa yang kau perlihatkan. Apalagi, setelah nyawaku melayang karena hal bodoh yang kuperbuat.
Sengaja kutuliskan cerita ini sambil menunggu siksaan datang kepadaku. Entah kau bisa membacanya atau tidak. Anggaplah ini ucapan terima kasih dariku untuk kau, yang ketika di dunia, aku belum pernah menyampaikan ini secara langsung. Terima kasih atas semua usaha yang kau lakukan hingga bisa membuat diriku menjadi pribadi yang lebih baik.
Cilegon, 03 Desember 2016

*Penulis bernama Vitra Fhill Ardy. Lahir di Tangerang, 08 April 1997. Kini ia berdomisili di Cilegon untuk menimba ilmu.

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.