Oleh : Win Wan Nur

Beberapa waktu belakangan ini kita orang Gayo dibuat bangga dengan ditemukannya aksara Gayo. Sebuah aksara yang unik, berbeda dengan aksara-aksara yang sudah dikenal.
Kegairahan atas ditemukannya aksara ini kemudian ditindaklanjuti dengan diadakannya seminar yang didukung oleh Pemkab Aceh Tengah. Sampai sejauh ini, semua terlihat baik-baik saja.
Tapi sayangnya, makin ke sini perkembangan cerita aksara Gayo yang diikuti dengan euphoria ini terlihat jadi mengkhawatirkan.
Kenapa saya katakan mengkhawatirkan? Itu karena makin ke sini saya lihat antusiasme kita dalam menyikapi penemuan aksara Gayo ini mulai membuat kita kehilangan sikap kritis dan objektivitas. Mulai muncul spekulasi kalau aksara ini adalah aksara Gayo bagian dari tulisan yang berkembang pada zaman Yunani Kuno. Bahkan lebih liar lagi, mulai ada cocokologi yang mengaitkan penemuan ini dengan hasil penelitian Dr. Ketut Wiradnyana selaku ketua tim peneliti Ceruk Mendale dan Ujung Karang dan mengambil asumsi kelewat berani bahwa peradaban Gayo yang sudah berusia 7000-8000 tahun membuat terbuka kemungkinan bahwa aksara ini adalah aksara tertua di dunia.
Kalau hal ini terus dibiarkan liar tanpa adanya sikap kritis dari kita orang Gayo sendiri secara internal. Soal aksara ini bisa membuat kita orang Gayo menjadi bahan tertawaan dan persoalan aksara ini digunakan oleh pihak-pihak yang ingin mengecilkan Gayo sebagai alat propaganda untuk meragukan penemuan-penemuan lain seperti penelitian Ceruk Mendale yang jelas menunjukkan Gayo sebagai peradaban tertua di ujung barat Sumatera.
Memang ketika kalau argumen seperti yang selama ini kita baca di media (termasuk media ini) disampaikan kepada kita yang sesama awam, semua argumen itu terlihat begitu kokoh dan gagak, sehingga tak perlu heran kalau banyak dari kita langsung menyambutnya dengan gegap gempita dan menganggapnya sebagai kemungkinan yang sangat logis dan seolah ilmiah. Itu terjadi karena apa? Karena sebagai awam, pengetahuan dan kemampuan sebuah hipotesa ilmiah memang tidak memadai.
Tapi ada satu hal penting yang tampaknya kita lupa. Untuk bisa diakui secara luas di dunia, sebuah fakta baru bisa diterima sebagai kebenaran umum, kalau fakta itu sudah terbukti secara ilmiah.
Dan di sinilah letak masalahnya, dunia ilmiah itu isinya bukan orang-orang awam yang tidak kritis seperti kita. Di dunia ilmiah, sebuah hipotesa baru bisa diterima sebagai sebuah kebenaran, kalau hipotesa itu sudah terbukti secara empiris melalui observasi yang ditandai dengan lolosnya pembahasan itu dari saringan oleh kolega sesama pakar/ahli dalam bidang yang dibahas. Istilah kerennya “Peer”
Contoh terdekat dari metode ini adalah penelitian Ketut Wiradyana di Ceruk Mendale. Hasil penelitian itu tidak begitu saja diterima di dunia ilmiah. Sebelum hasil penelitian itu diakui, Ketut harus menghadapi berbagai pertanyaan kritis oleh sesama kolega arkeolog. Hanya karena berbagai pertanyaan kritis sesama koleganya itu bisa dijawab tuntas oleh Ketut lah, hasil penemuan di Ceruk Mendale itu, hari ini bisa diterima sebagai kebenaran ilmiah.
Lalu bagaimana dengan penemuan aksara Gayo?
Kalau kita mau jujur dan sedikit saja bersikap kritis. Kita akan melihat banyak sekali celah kelemahan bahkan bolong besar dalam argumen yang menyatakan bahwa aksara Gayo ini adalah aksara yang sudah sangat tua.
Salah satu celah besar yang membuat argumen bahwa aksara Gayo ini sangat tua ini terlihat konyol adalah absennya pertanyaan kritis tentang bagaimana sebuah aksara terbentuk. Dalam hiruk pikuk penemuan aksara Gayo ini kita seperti sengaja melupakan fakta bahwa aksara tidak muncul begitu saja dari ruang hampa, melainkan ada alasan pembentuknya. Dan seperti temuan manusia apapun, di mana-mana dalam sejarahnya aksara dibuat orang sebagai solusi permasalahan yang dihadapi manusia pada masanya.
Nah semua aksara yang ada di dunia muncul karena adanya persoalan dalam masalah perdagangan. Sebelum ada aksara orang hanya berkomitmen dengan ucapan dan yang namanya ucapan, sangat sering orang lupa dengan ucapannya. Lalu supaya tidak lupa orang mulai membuat goresan di tanah liat dengan menggunakan simbol-simbol yang diambil dari bentuk-bentuk yang ada di sekitar. Contohnya alphabet latin yang kita kenal, itu akarnya adalah hiroglif Mesir, lalu oleh orang Phoenicia disederhanakan. Huruf “A” oleh orang Phoenicia disebut “Aleph” yang artinya “Sapi” (pada awalnya huruf “A” itu bentuknya terbalik, kakinya itu ada di atas dan itu adalah penggambaran tanduk sapi dan ada dua titik di bagian tengahnya yang merupakan mata)
Di bawah ini bisa dilihat bagaimana evolusi huruf A, mulai dari hiroglif Mesir pada 3000 tahun sebelum masehi menjadi huruf A yang kita kenal sekarang pada tahun 114 Hijriah.

Dari catatan ini dapat kita lihat, untuk bisa mencapai bentuk yang kita kenal sekarang, huruf “A” memerlukan waktu lebih dari 30 Abad.
Dan sekali lagi, evolusi perubahan bentuk huruf itu tak terjadi di ruang hampa melainkan dalam dinamika kehidupan dan interaksi antar masyarakat yang semakin hari semakin kompleks.
Dari evolusi huruf A ini, kita bisa melihat bagaimana perubahan bentuk huruf mengikuti perubahan pola komunikasi dan interaksi antar manusia yang seiiring perkembangan zaman menjadi lebih kompleks. Pada 3000 tahun sebelum masehi, ketika pola komunikasi antar masyarakat masih sederhana. Huruf hiroglif Mesir kuno mampu menjawab kebutuhan komunikasi yang dibutuhkan pada masa itu. Tapi pada 12 abad kemudian, huruf hiroglif sudah tidak memadai, begitu terus sampai ke tahun 114 masehi.
Nah kembali ke aksara Gayo, kalau memang aksara Gayo berasal dari peradaban yang lebih tua. Kebutuhan komunikasi apa dan komunikasi dengan siapa yang membuat orang Gayo sampai perlu menciptakan aksara?
Kalau pertanyaan seperti ini ditanyakan dalam sebuah forum para ahli, maka jawaban yang paling mungkin dan diterima oleh banyak orang atas pertanyaan ini terletak pada “tempat” tulisan Gayo ini ditemukan pertama kali yaitu pada — catatan rapalan dowa —
Seperti kita ketahui dowa adalah rapalan ilmu kebatinan yang bersifat rahasia. Di Gayo dowa sangat dirahasiakan karena rawan disalah gunakan. Untuk itu hanya orang-orang tertentu saja yang diperkenankan untuk membacanya.
Maka dalam hipotesa saya, kalau kita konsisten untuk melihat aksara bukan muncul dari ruang hampa, melainkan untuk menjawab kebutuhan komunikasi bagi sekelompok orang di masa tertentu. Kita akan mudah memahami kalau, kemunculan aksara Gayo ini adalah untuk menjawab tuntutan komunikasi antar para perapal dowa yang bersifat rahasia.
Dengan hipotesa seperti ini, jadi mudah pula bagi kita untuk memahami banyaknya kemiripan antara aksara/rasi Gayo ini dengan pola-pola pembacaan huruf Latin dan huruf Arab. Yang mana ini menunjukkan bahwa pencipta huruf Gayo ini terpengaruh oleh pola komunikasi huruf Arab dan huruf Latin yang baru dikenal di Gayo pada abad ke-20.
Ini artinya apa? Kalau hipotesa ini benar, maka bisa disimpulkan bahwa Huruf/Rasi Gayo diciptakan pada abad ke-20.
Tapi yang namanya hipotesa tentu saja sangat mungkin salah. Dan bagaimana cara membuktikan hipotesa saya ini salah? Mudah saja, temukan saja catatan yang menunjukkan kalau aksara/rasi Gayo ini sudah ada pada catatan yang dibuat sebelum abad ke-20.