Politik Santun ala Pak Nas

oleh

Catatan Iranda Novandi

Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin,MM
Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin,MM

ALAM demokrasi yang semakin sehat dan percaturan politik yang dinamis akan melahirkan negarawan yang berkualitas. Para pemimpin yang lahir dari alam demokrasi yang sehat di tengah percaturan politik yang dinamis, akan mampu memberikan pembelajaran, hakekat dari sebuah demokrasi.

Para pemimpin ini, akan memberi makna, kalau demokrasi itu tidak semua dipenuhi dengan intrik kegilaan, seperti banyak pelesetan yang kit abaca dan dengan bahwa demokrasi itu demo crazy. Demokrasi itu tidah harus saling menyakiti, mencaci, memfitnah dan sederetan istilah miring lainnya.

Hal itulah yang dinamakan politik santun. Selain mampu memberikan pembelajaran bagi rakyatnya akan hakekat demokrasi, juga sekaligus menjadi alam demokrasi dalam dinamika yang senantiasa sehat dan terkontrol.

Lalu, adakah para politisi yang sakarang bisa dikatakan santun? Ini tentunya pertanyaan yang sulit dijawab. Meskipun demikian, saya yakin hal itu bisa tercipta bila alam demokrasi dan dinamika politik di negeri ini bisa berjalan di atas rel kedewasaan berpikir, bertindak, berbuat serta beretika tentunya.

Bila para politikus di negeri ini bisa berpolitik secara santun, maka bisa dijamin — meski tidak ada garansi 100 persen – intrik politik negatif tidak banyak muncul dan dinamika pembangunan bisa berjalan dengan baik. Bukankah, hakekat dari demokrasi dakan kancah perpolitikan itu tujuan akhirnya ingin mensejahterakan rakyat.

Disisi lain, tentunya tidak semua orang akan senang atau terpuaskan dengan politik santun ini. Sebab, banyak kalangan menilai, jika politik tanpa intrik bukan politik namanya dan demokrasi tidak akan hidup.

Hanya yang perlu dicatat, bahwa stabilitas politik yang dinamis, tanpa banyak intrik yang saling mengorbankan, akan melahirkan dinamika politik yang sehat dan denyut pembangunan keberlanjutan bisa dirasakan oleh rakyat. Sebab, untuk apa demokrasi dan politik tumbuh dinamis, bila para pemimpin dan politikus terus saling bertikai, hingga roda pembangunan berhenti atau tidak punya arah pembangunan yang jelas.

Dengan begitu, akan muncul pertanyaan lagi. Apakah ada politikus atau pemimpin di negeri kita ini yang berpolitik secara santun? Tentunya, ini bisa kita rasakan sendiri dan punyak sosok sendiri. Bagi penulis, ini bisa kita lihat sosok negarawan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke 6. Sosok presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pada level kepala negara, bisa juga kita lihat sosok BJ Habibie – meskipun dia bukan politisi murni – serta sosok KH Abdurrahman “Dus Dur” Wahid.  Kedua sosok ini, meskipun bukan dipilih langsung oleh rakyat, namun telah menunjukan jiwa seorang negarawan yang santun.

Sedangkan untuk sosok Presiden RI ke 7 saat ini, Joko Widodo (Jokowi), masih terus dalam uji coba yang penilaiannya sepenuhnya di tangan rakyat Indonesia. Meskipun, banyak dinamika yang muncul, sejauh ini Jokowi dinilai mampu mengatasinya. Hanya saja, waktu akan menjawab semua itu.

Itulah pandangan pribadi penulis, dalam melihat dinamika politik dan demokrasi Indonesia saat ini yang terus bergerak dinamis dan terkadang muncul kesan sedang mencari indentitas diri bangsa dalam demokrasi yang lebih baik dan maju.

Lalu, dalam tataran perpolitikan daerah siapa yang dinilai memiliki etika politik santun? Dalam tataran politik di daerah untuk tingkat provinsi atau kabupaten/kota, tentunya ajang pembuktian dan penilaiannya itu yakni Pemilu legislatif dan Pemilihan Kepala Deerah (Pilkada).

Sejauh ini, tanpa bermaksud mengenyampingkan sosok lain, sosok yang menjalankan politik santun itu ada pada Ir Nasaruddin MM, Bupati Aceh Tengah saat ini yang sudah memimpin daerah selama dua priode.

Ada beberapa catatan yang terekam oleh penulis, dalam melihat sosok Pak Nas – sapaan akrab Nasaruddin – dalam menghadapi Pilkada Aceh 2017 mendatang. Semua catatan itu berdasarkan penilaian yang sedang berjalan.

Pertama, dengan segala kapasitas dan segala kelebihan dan kekurangannya, Pak Nas jauh sebelum gonjang ganjing Pilkada dimulai, ia sudah menyatakan, akan siap maju menjadi Aceh 2 (Wakil Gubernur). Tanpa terbesit menunjukan nafsu politik untuk maju menjadi Aceh 1 (Gubernur). Meskipun, kesempatan itu sebenarnya terbuka lebar.

Kedua, dalam dinamika menuju Aceh 2 ini, Pak Nas, terlihat tidak “menjual diri”, kepada para kandidat calon gubernur tertentu, untuk meminangnya. Sebut saja sederetan nama yang hadir dan besua dengan Pak Nas akhir-akhir ini, seperti Irwandi Yusuf yang berulang kali ketemu di bandara dan kesempatan yang lain.

Lalu ada juga, dr Zaini Abdullah, yang juga berulang kali datang dan disambut tetap layaknya seorang bupati menyambut gubernur, begitu juga dengan Muzakir Manaf yang berulang kali ketemu. Ada juga Farhan Hamid yang ketemu saat acara Partai Amanat Nasional (PAN) di Aceh Tengah termasuk kehadiran sejumlah anggota legislatif dari DPR RI maupun DPD RI.

Hampir semua politikus bahkan calon gubernur yang hadir ke Takengon disambutnya dengan rasa terbuka. Dan saya yakin, dalam banyak pertemuan dengan tokoh dan politikus tersebut, tidak fokus membahas tentang keinginannya menjadi Aceh 2.

Kenyakinan tidak ada pembahasan menyangkut Aceh 2 ini, terlihat saat kesempatan penulis menjelang ulang tahun Tabloid LintasGayo ke 2 sekaligus peluncuran buku “Gayo 6,2 SR” di Pendopo Bupati Aceh Tengah pada Februari 2016 lalu. Dimana, saat itu, anggota DPR RI Rafly Kande, bersama penulis dan seorang tokoh Aceh Tengah duduk semeja untuk makan malam bersama.

Dari perbincangan yang terekam, Pak Nas tidak ada sedikitpun berbicara menyangkut tentang keinginannya untuk maju sebagai Aceh 2. Namun, pembicaraan lebih pada membicarakan potensi Gayo dan Aceh secara umum, yang bisa dikembangkan. Termasuk diantaranya upaya percepatan pembangunan PLTA di Silih Nara, guna mengatasi krisis listrik Aceh yang terus berlarut hingga saat ini.

Ketiga, melihat dinamikan yang terus berkembang, terutama jelang Pilkada. Pak Nas secara elegan menyatakan mundur dari Partai Golkar, yang selama ini menjadi kenderaan politik dan pernah memimpin Partai berlambang Pohon Beringin tersebut untuk Aceh Tengah.

Yang tersirat dan tertangkap oleh penulis, bahwa Pak Nas tak mau mengganggu kondusifitas Partai Golkar, yang dalam Pilkada Aceh 2017 mengusung ketuanya TM Nurlief sebagai calon gubernur.

Langkah santun ini, tidak menimbulkan polemik dan kegaduhan politik di tubuh Golkar sendiri. Bahkan, Golkar memberi apresiasi pada kadernya yang telah ikut membesarkan dan menjaga konsistensi Partai Golkar sebagai partai pilihan masyarakat di Aceh Tengah.

Ke-empat, ini tentunya yang teraktual. Dimana, Pak Nas dalam memanfaatkan momen Idulfitri 1437 H, mohon pamit kepada masyarakat Gayo secara umum dan Aceh Tengah, khususnya, bahwa ia akan maju sebagai calon wakil gubernur dalam Pilkada mendatang.

Sebagai tokoh publik dan pemerintahan, langkah terbuka ini terasa belum ada yang melakukannya. Terutama dalam poin ke empat dan ke lima. Ini selayaknya, bisa ditiru oleh para pemimpin lain yang akan ikut kembali dalam pertarungan Pilkada 2017.Pak-Nas-disalami

Kelima, meskipun Pak Nas sudah bertekad untuk maju dalam Pilkada 2017, sebagai calon wakil gubernur, namun tugasnya sebagai kepala daerah tidak ditinggalkan begitu saja. Fungsi pemerintahan, yang notabene sebagai bupati tetap berjalan normal. Bahkan, yang ter anyer, atas nama Bupati Aceh Tengah, Pak Nas menjalin kerjasama dengan perusahaan penerbangan dan Direktur Angkutan Udara Kementerian Perhubungan, Maryati Karma, membahas percepatan proses izin terbang Pesawat Wing Air rute Kualanamu-Rembele.

Bila tidak ada halangan, perusahaan penerbangan Wing Air yang merupakan Group Lion Air ini, akan meramaikan penerbangan ke Gayo pada 1 Agustus mendatang. Tentunya, ini makin membuka Gayo.

Ke-enam, dalam menata Aceh masa depan, sangat dibutuhkan seorang birokrat handal guna memenej Aceh bisa lebih baik. Dan itu dimiliki oleh Pak Nas. Sebagai birokrat, ia sudah menjalaninya dari level bawah paling bawah, sebagai penyulus pertanian, kepala dinas, sekda, Pj bupati dan bupati.

Kapabilitas dan elektabiltas, seorang pemimpin akan terus diuji dan masyarakat menjadi tim penilai terbaik. Dengan politik santun itu pulaha, daya ukur akan bisa dilihat dan dibaca orang. Hal itulah yang ditunjukan Pak Nas, sebagai refresentatif masyarakat Gayo.[]

Penulis, penulis buku “Gayo 6,2 SR”

Comments

comments

No More Posts Available.

No more pages to load.