Catatan Feri Yanto*
Kopi Arabika merupakan tanaman perkebunan yang ditanam dan merupakan sumber pendapatan hampir seluruh masyarakat di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah serta sebagian masyarakat di Kabupaten Gayo Lues, sebagaimana diketahui bahwa kopi Arabika hanya dapat tumbuh dengan baik di daerah tertentu yaitu di daerah dataran tinggi antara 800 – 1600 mdpl, oleh karena itu tiga kabupaten di atas merupakan daerah yang cocok menjadi tempat tumbuhnya kopi Arabika.
Menurut beberapa catatan yang saya baca Kopi Arabika mulai di budidayakan di dataran Tinggi Gayo sekitar tahun 1924 yang dibawa oleh Belanda, Kopi Arabika pertamakali di tanam di daerah Paya Tumpi, kemudian menyebar ke daerah Belang Gele, Burni Bius, Redines, Bergendal dan Bandar Lampahan, dan pada saat itu perkebunan kopi Arabika hanya dapat di lakukan oleh penjajah belanda, sementara masyarakat lokal hanya sebagai pekerja dalam perkebunan saja tanpa diijinkan untuk menanam di kebun masyarakat lokal yang kemudian baru di budidayakan secara luas oleh masyarakat Gayo setelah Indonesia merdeka.
Pun telah dapat dibudidayakan secara luas oleh masyarakat Gayo bukan berarti masyarakat Gayo telah berhasil meraih segalanya dari tangan Belanda, karena Belanda masih memegang pasar kopi Arabika Gayo dengan merk dagang yaitu Gayo Mountain Coffee milik perusahaan Holland Coffee, dengan merk dagang yang dimiliki Holland Coffee masyarakat Gayo tidak dapat menjulal produksinya sendiri dengan membawa nama gayonya sendiri, alangkah sangat disayangkannya.
Pada 28 April 2010 Masyarakat perlindungan Kopi Gayo (MPKG) berhasil mendapatkan Indikasi Geografis (IG) sehingga kopi merk Arabika Gayo itu dapat dimiliki oleh masyarakat Gayo tanpa harus di ekori oleh baunya Belanda, namun pun demikian bukan berarti semua sudah berhasil dan Gayo Mountain Coffee telah berakhir, karena masyarakat Eropa umumnya masih lebih memilih Gayo Mountain coffee dibandingkan Arabika Gayo yang memang merupakan produk masyarakat Gayo, walaupun sebenarnya Belanda sendiri mengimpor kopi dari Gayo sementara IG hanya masih dapat menembus pasar Asia, sementara pasar kopi terbesar adalah Eropa yang dimana konsumsi kopi perkapitanya sudah mencapai 5-10 Kg/thn/kapita.
Oleh karena itu saya pikir semua kalangan harus mendorong dan mendukung MPKG yang saat ini sudah menjadi Yayasan MPKG sebagai lembaga yang tetap menjaga eksistensi kopi Arabika Gayo, sebagaimana Rapat Koordinasi Forum Kopi Aceh (FKA) Penguatan MPKG, dan tindak lanjut pendaftaran IG ke Uni Eropa yang dilaksankan di Gedung Opsroom Setdakab Aceh Tengah, Kamis (22/10/2015).
Mendaftarkan IG ke Uni Eropa adalah sebuah rencana yang sangat perlu dorongan dan didukung oleh semua pihak, terutama Pemerintah Daerah, karena apa yang menjadi permasalahan di atas adalah sebuah permasalahan yang menyangkut hajat hidup masyarakat Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues, dimana pasar merupakan bagian terpenting dalam penentuan harga kopi Arabika Gayo.
Salain itu juga untuk menjaga dan melindungi kopi Arabika harus dibentuk Qanun tentang kopi sehingga perlindungan terhadap kopi Arabika menjadi lebih baik, baik dalam budidaya, pasca panen maupun pemasarannya, dengan demikian kopi Arabika Gayo dapat terselamatkan dari berbagai ancaman keberlangsungan kopi Arabika, seperti perubahan Iklim yang ekstrem yang sangat mengancaman tanaman kopi Arabika, sebagai contoh terjadinya embun frost yang beberapa waktu lalu menggosongkan tanaman kopi di daerah Wih Ilang, kemudian Hujan Es di Belang Gele dan Atu Lintang, serta penyebaran hama Penggerek Buah Kopi (Pbko) yang semakin meluas, bukannya hanya berdiam diri di ketinggian 800 Mdpl bahkan sudah berada di daerah ketinggian 1400 Mdpl.
Tentu kondisi seperti ini perlu perhatian serius dan harus melakukan langkah-langkah antisipatif dalam menyelamatkan kopi Arabika Gayo.[]
*Mahasiswa Universitas Gajah Putih Takengon