Mengawasi Pergaulan Anak

oleh

yusradiYusradi Usman al-Gayoni*

Selama masih sekolah di Takengon (1989-2002), orang tua saya—Usman Umar dan Radiah Tawar— selalu mengawasi proses belajar dan pergaulan saya sehari-hari baik di sekolah maupun dalam lingkungan tempatan. Dalam seminggu,  orang tua saya terutama bapak menyempatkan diri ke sekolah. Di sana, beliau menanyakan sekolah saya kepada pihak sekolah. Biasanya, bapak juga sharing soal pendidikan dengan para guru. Memang, bapak aktif sebagai komite sekolah di SMK Negeri 1 Takengon, SMA Negeri 2 Takengon (sekarang: SMA Negeri 4 Takengon), dan SMP Negeri 2 Bebesen (sekarang: SLTP Negeri 10 Takengon) sejak tahun 1996 sampai sekarang.

Ketika saya ngaji ke rumah Tengku Imem Kampung Bebesen, TQA/TPA Quba Bebesen atau belajar lagu ngaji ke Dewal—nama dusun di Kampung Bebesen (1995-1999), bapak atau mamak mengecek langsung kehadiran saya. Juga, soal progress ngaji al-Quran saya. Demikian halnya saat saya punya kegiatan ekstrakulikuler di SMP Negeri 2 Bebesen), mereka selalu memastikan keikutsertaaan saya di sekolah. Termasuk, saat les bahasa Inggris di Golden English Course (1996-1997), sebelah utara Kodim 0106 Aceh Tengah, mereka selalu menanyakan kehadiran dan perkembangan belajar saya kepada pimpinannya, Drs. M. Syahri. Kebetulan, beliau tinggal berdekatan dengan kami, di dusun Ujung Ujung Bebulon Bebesen. Tambah, les bahasa Inggris di Prima English Course Pinangan Takengon (2000-2002).

Contoh lainnya, saat kerja kelompok atau belajar bersama. Mereka biasanya mendatangi rumah tempat berlangsungnya kerja kelompok atau belajar bersama tersebut. Saat bersamaan, mereka bersilaturrahmi dengan orang tua teman saya.

Di sisi lain, saya betul-betul “diserahkan” secara adat Gayo ke tengku guru atau pihak sekolah pada saat pendaftaran ngaji atau pendaftaran sekolah. “Saya serahkan anak saya kepada tengku (bapak atau ibu guru). Didiklah dia dengan baik dan anggap seperti anak tengku (bapak atau ibu sendiri). Biar dia jadi anak pandai, saleh, berakhlak, jadi dan bermanfaat buat orang. Kalau salah, ingatkan dia. Kalau nakal, pukul saja (fisik). Nggak apa-apa,” minta bapak saat saya diserahkan ke tengku, bapak atau ibu guru sambil menyalami mereka.

Kebiasaan itu masih berlangsung saat saya kuliah. Dengan cara yang sama, saya diserahkan ke ibu kos. Mereka (induk semang) jadi pengganti orang tua saya di kampung. Namun, orang tua saya meminta saya untuk membantu pekerjaan mereka. “Ringen tulen, korong tuke (tulang ringan, perut pun kenyang),” sebutnya. Maknanya, kalau kita bisa mengambil hati bapak/ibu kos, rajin, dan mau membantu,  mereka pun akan memberikan perhatian lebih dan mau membantu kita juga. Petuah tersebut betul-betul saya amalkan dan memang terbukti.

Pengawasan dan penyerahan seperti itu tidak hanya berlaku buat saya melainkan buat seluruh saudara saya. Di luar itu, mereka jarang sekali memberikan izin kepada saya untuk tidur di rumah teman. Bahkan, di rumah saudara. Kecuali, untuk urusan ngaji dan belajar. Lagi-lagi, mereka akan mengecek langsung.

Waktu itu, saya berpikir bahwa mereka terlalu membatasi pergaulan saya. Namun, mereka pasti punya alasan di balik itu. Pastinya, mereka ingin yang terbaik buat saya. Pentingnya pengawasan itu betul-betul baru saya sadari setelah saya kuliah (2002-2006 dan 2008-2010). Lebih-lebih, saat saya sendiri sudah jadi seorang tua/bapak (Juni 2011). Kalau tidak disiplin, penguatan nilai-nilai moral serta reliji, dan pola tersebut tidak berjalan, barangkali saya pun akan bernasib sama dengan sebagian teman seangkatan saya.

Kenapa bapak dan mamak sampai demikian? Jawabannya, tidak terlepas dari lingkungan sosial yang tidak sehat, pada masa itu. Mereka khawatir, saya—tambah, saudara saya yang lain—ikut terpengaruh dan terjerumus pergaulan yang tidak benar. Sebab, ada teman-teman saya yang sudah mulai merokok dan menghisap ganja. Di tempat lain, bahkan ada yang sudah nyabu dan terlibat “pergaulan bebas” (meski tidak separah sekarang). Alasan itulah yang menjadi kekhawatiran orang tua saya. Didorong juga oleh besarnya kasih sayang dan cinta mereka kepada kami (anak-anaknya) dan menjalankan tanggungjawab mereka sebagai orang tua.

Disamping itu, ada keinginan besar dari bapak dan mamak, agar anak-anaknya bisa lebih dari mereka. Terutama, soal pendidikan. Karena, bapak hanya tamatan SMA dan mamak tamat Sekolah Rakyat (sekarang: Sekolah Dasar). Itupun tidak berijazah. Karena, susahnya keadaan ekonomi kakek dan nenek, saat itu. Buat pendidikan anak-anaknya, bapak dan mamak berpripnsip, “atu pe ipecah (batu pun dipecah).Dengan kata lain, mereka ikhlas memecah batu, jadi tukang, dan kuli sekalipun. Bagi mereka, seperti Paulo Preire—tokoh pendidikan Brasil, pendidikan bisa membebaskan praktik kebodohan, kemiskinan, keterbelengguan, kepicikan, kekerdilan, dan ketamakan. Pada akhirnya, bisa munahmakan (menangkat derajat dan martabat) mereka dan keluarga.

Alasan yang lebih prinsip, dari tujuh bersaudara (dua meninggal muda), tinggal bapak dan kakaknya Asiyah (alm) yang “tidak jadi orang.” Tiga saudaranya “jadi orang.” Kakak sulungnya (Halimah Umar) (alm) jadi Kepala TK di Aceh Tengah, abangnya (Drs. Tgk. M. Isa Umar) jadi Anggota DPRD Aceh Tengah dua periode (1987-1992 dan 1992-1997) dan adik laki-lakinya (Drs. M. Yusuf Umar) (alm) sempat jadi Kepala KUA dan penghulu terbaik di DKI Jakarta, sebelum pensiun. Karenanya, membesarkan anak-anaknya jadi motivasi terbesarnya. Salah satunya, dengan menguatkan pendidikan dan pengawasan pergaulan anak-anaknya.

Belajar dari pengalaman tersebut, kita (orang tua—khususnya, saya) memang harus terlibat langsung dalam pendidikan dan pengawasan anak. Terlebih lagi, di tengah perkembangan informasi dan teknologi seperti sekarang. Tak hanya itu, kita pun harus update dengan perkembangan tersebut. Jangan sampai, kita “tidak berilmu” (mengasuh anak) dan kalah perkembangan dengan anak-anak kita. Jadi, kita tahu persoalan dan pergaulan anak-anak. Pada akhirnya, kita bisa mengantisifasi dan menyiasati sekiranya pergaulan anak-anak kita mengarah kepada pergaulan yang tidak sehat.

*Pemerhati Pendidikan, tinggal di Takengon, Anak bungsu dari duabelas bersaudara/bapak satu anak

Comments

comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.