Oleh. Jamhuri Ungel, MA*
Dasar hukum dari pelaksanaan berkurban dalam Islam sangat kuat, yakni disebutkan secara langsung dan dalam bentuk perintah di dalam al-Qur’an, dikuatkan lagi perintah berkurban ini beriringan dengan perintah shalat. Dalam surat al-kautsar ayat 2 Allah berfirman.
فصل لربك وانحر
Maka kerjakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah, dan Dekatkanlah dirimu kepada Allah.
Tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang wajibnya melaksanakan shalat bahkan shalat dikelompokkan kedalam rukun Islam, artinya seseorang yang mengaku dirinya Muslim belum dapat kita terima apabila tidak melaksanakan shalat.
Sedangkan tentang hukum menyembelih kurban dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama mengatakan wajib karena perintahnya beriringan dengan perintah shalat, walaupun wajibnya itu sekali seumur hidup.
Tetapi juga ada ulama yang mengatakan behwa menyembelih kurban itu hukumnya sunat muakkad, alasannya karena penyembelihan kurban dikaitkan dengan kemampuan seorang muslim.
Makna dari kata kurban adalah adlhiyyah (untuk hewan kurbannya) yang berarti upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan diri kepada Allah dengan berkurban telah dicontohkan oleh Nabi Allah Ibrahim, dimana beliau setiap tahunnya menyembelih kurban.
Sampai satu hari orang-orang berkata kepada Ibrahim untuk apa setiap tahun berkurban, sehingga Nabi Ibrahim menjawab, bila nanti satu,saat saya mempunyai anak maka saya akan kurbankan juga. Lalu sampai pada masanya Allah menagih janji Ibrahim dan karena ketaatannya kepada Allah maka beliau memenuhi janjinya. Allah membuktikan kuasa-Nya menggantikan putra Ibrahim (Ismail) dengan seekor kibas (bayangkan bila Allah tidak menggantinya dengan seekor kibas).
Untuk berkurban Syariat Allah untuk Nabi Ibrahimlah yang kita lestarikan menjadi ibadah sampai sekarang ini.
Bila kita lihat dari sisi potensi harta yang dimiliki oleh manusia, maka semua harta dapat dijadikan sebagai sarana ibadah. Makanan pokok seperti padi, gandum, jagung dan lain-lain diperintah oleh Allah untuk beribadah dengan membanyak zakatnya, juga hewan ternak apabila telah sampai nisab dan aulnya maka wajib dikeluarkan zakatnya, demikian juga dengan penghasilan-penghasilan yang lain.
Beribadah juga tidah hanya melihat dari sisi harta tetapi juga bisa dilihat dari sisi waktu, sebagai mana zakat tadi yaitu adanya ‘aul yang menunjukkan kepada waktu setahun.
Artinya kalaupun kita mempunyai harta yang berlimpah dan kalau mau seharusnya bisa setiap hari mengeluarkan zakat, tetapi karena Allah tidak mensyariatkan maka harta yang kita keluarkan bukan zakat namanya, boleh jadi infak, sadaqad, hibah atau karena seseorang melakukan pembunuhan karena tersalah maka diat namanya.
Hewan yang disembelih juga sangat erat kaitannya dengan waktu, pada hari ketujuh kelahiran seorang anak maka hewan yang disembelih aqiqah namanya, tetapi kalau pada hari raya ‘Idul adha kurban namanya. Dan ada juga kewajiban yang tidak terikat dengan waktu dan kapan saja boleh dilakukan seperti halnya sedekah, infak dan hadiah.
Kemampuan seseorang mengetahui momen untuk melakukan pekerjaan dijadikan sebagai syarat kemukallafan. Menyembelih hewan pada hari raya ‘idul adha karena waktunya maka secara otomatis hewan tersebut menjadi kurban kecuali diniatkan untuk yang lain karena tidak anjuran syar’i menyembelih hewan untuk yang lain pada hari hari tersebut, sama dengan memotong hewan pada hari ketujuh kelahiran anak maka itu pasti aqiqah kecuali diniatkan untuk yang lain.
Ibadah yang berhubungan dengan harta tidak hanya melihat pada diri si pemilik harta, karenanya mereka yang beribadah dengan harta adalah orang yang pandang lebih mampu dari orang lain, seperti halnya zakat harta.
Zakat harta yang diwajibkan adalah harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, harta makanan pokok maka zakatnya adalah makanan pokok karena diharapkan mereka yang menerima zakat tidak kekurangan makanan pokok, karena setan dar kesejahteraan orang miskin adalah terpenuhinya makanan pokok.
Demikian juga dengan kurban, kenapa harus yang dikurbankan adalah hewan, tidak ikan (yang mungkin harganya lebih mahal), atau sayur-sayuran (yang mungkin gizinya lebih baik) atau uang (mungkin bisa dimanfaatkan untuk yang lain), jawabannya satu saat mungkin tetapi untuk saat ini belum.
Saya masih teringat dua tahun lalu ketika saya memotong kurban 2 ekor kambin di kampung dan saya tidak pulang, pada hari keduanya saya telphon adik, tentang bagaimana kabar di kampung. Pada saat,itu adik menjawab, untuk ada kurban dua ekor kambing karena keadaan masyarakat sangat sulit secara ekonomi.
Karena sulitnya masyarakat dalam menghadapi hari raya ‘idul adha bukan karena tida ada beras dan tidak ada baju lebaran tetapi karena tidak ada daging yang mau dimasa.
Kasuistik makan daging setahun sekali tidak hanya terjadi di Gayo tetapi kasus ini menjadi umum secara nasional, dalam catatan bahwa orang Indonesia makan daging rata-rata hanya 17 ons atau 1,7 kg pertahun, sedangkan kebutuhan seharusnya adalah 5 sampai 6’ons perhari.
Itu problema protein yang dihadapi oleh orang Indonesia pada saat ini, karenanya menyembelih kurban pada saat ini merupakan keharusan, paling kurang untuk mengisi sedikit kekosongan protein masyarakat Indonesia. Terlebih lagi masyarakat Gayo.